Qonitah
Qonitah

ar-raja’ (harapan), tonggak bangunan amalan ibadah

10 tahun yang lalu
baca 7 menit
Ar-Raja’ (Harapan), Tonggak Bangunan Amalan Ibadah

pilar-14Al-Ustadz Syafi’i bin Shalih al-Idrus

Saudariku fillah, di antara macam-macam ibadah yang berikutnya adalah ar-raja’ (harapan). Pada edisi ini, insya Allah, kita akan mempelajari sedikit masalah ini.

Ar-Raja’

Ar-Raja’ merupakan amalan ibadah yang sangat agung di antara amalan-amalan hati. Banyak sekali dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang menjelaskan amalan ini.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ ٱللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ ٱللَّهِ لَأٓتٖۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ٥

“Barang siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Allah, sesungguhnya waktu (yang dijanjikan Allah itu) pasti datang. Dan Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (al-‘Ankabut: 5)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Janganlah salah seorang di antara kalian mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah .” (HR. Muslim dari hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu)

Macam-macam Raja’

Dilihat dari sisi terjadinya raja’ pada diri seseorang, raja’ terbagi menjadi tiga macam.

  • Pertama, raja’ seorang mukmin yang beramal saleh dengan penuh keikhlasan kepada Allah. Dia berharap mendapatkan pahala dengan amalannya tersebut.
  • Kedua, raja’ seorang mukmin yang bermaksiat kepada Allah kemudian bertobat dari kemaksiatannya. Dia berharap mendapatkan ampunan, belas kasih, kelembutan, dan rahmat-Nya.

Dua macam raja’ ini sangat terpuji.

  • Ketiga, raja’ seseorang yang terus-menerus dalam kemaksiatan dan dosa kepada Allah. Dia berharap mendapatkan luasnya rahmat Allah tanpa beramal saleh. Raja’ semacam ini sangat tercela, dan inilah yang disebut tamanni (angan-angan kosong).

Berkata asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Ketahuilah bahwa raja’ yang terpuji itu tidaklah terjadi melainkan pada orang yang beramal ketaatan kepada Allah dan mengharapkan pahala-Nya, atau bertobat dari kemaksiatan dan berharap diterima tobatnya. Adapun semata-mata raja’ tanpa amal hanyalah sesuatu yang menipu dan angan-angan yang tercela.” (Syarh Tsalatsatil Ushul)

Perbedaan Antara Tamanni dan Raja’

Perbedaan antara keduanya sangatlah jelas. Tamanni adalah mengharapkan sesuatu tanpa menempuh sebab-sebabnya. Adapun raja’ adalah mengharapkan sesuatu dengan menempuh sebab-sebabnya dan menyerahkan urusannya kepada Allah.

Permisalan keduanya adalah seperti dua orang yang masing-masing memiliki sawah ladang yang luas. Orang pertama berangan-angan bahwa sawah ladangnya tersebut akan menghasilkan panenan yang melimpah. Akan tetapi, dia hanya melempar benih tanpa berusaha merawatnya, dan semata-mata bersandar pada luasnya tanah tersebut. Adapun orang kedua membajak tanahnya, mengairinya, memupuknya, merawat benihnya, mencabuti rumputnya, dst. Kemudian, dia berharap akan mendapatkan hasil yang memuaskan dengan usahanya tersebut. Dengan contoh ini jelaslah bagi kita perbedaan antara keduanya.

Para ulama telah sepakat bahwa raja’ tidak teranggap jika tidak diikuti amalan. Orang yang terus-menerus dalam lumpur dosa dan kemaksiatan, tidak mau beramal saleh, dan semata-mata bersandar pada luasnya rahmat Allah serta berbaik sangka kepada-Nya tidaklah melakukan raja’ sedikit pun. Bahkan, perbuatan seperti ini merupakan kebodohan, kedunguan, dan ketertipuan oleh angan-angan. Sebab, rahmat Allah itu dekat kepada orang-orang yang berbuat ihsan (beramal saleh), bukan kepada orang yang hanya berangan-angan dan terus-menerus dalam dosa dan pelanggaran.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Manusia jenis ini hanya berpegang pada dalil-dalil yang menyebutkan harapan. Jika diingatkan akan kesalahan-kesalahannya dan terus-menerusnya dia di dalamnya, dia akan menyebutkan seluruh dalil—yang dia hafal—tentang luasnya rahmat Allah dan ampunan-Nya serta dalil-dalil tentang raja’.” (al-Jawabul Kafi)

Sebagai contoh, sebagian orang tertipu oleh pemahaman mereka yang keliru terhadap beberapa dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah, yang kemudian mereka berpegang teguh padanya. Di antaranya adalah firman Allah,

وَلَسَوۡفَ يُعۡطِيكَ رَبُّكَ فَتَرۡضَىٰٓ ٥

“Dan kelak Rabbmu memberikan karunia-Nya kepadamu, maka engkau pun menjadi ridha.” (adh-Dhuha: 5)

Mereka mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam jelas tidak akan mungkin ridha ada salah satu dari umat beliau yang masuk ke neraka.” Ini pemahaman yang sangat jelas kekeliruannya. Kita katakan kepada mereka, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pasti ridha dengan sesuatu yang diridhai oleh Allah, sedangkan Allah ridha untuk memberikan hukuman kepada orang-orang yang berbuat dosa dan pelanggaran, sesuai dengan keadilan-Nya. Mustahil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam ridha terhadap sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah.”

Mereka juga berpegang pada firman Allah,

إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ ٥٣

“Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa seluruhnya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (az-Zumar: 53)

Mereka tidak sadar bahwa ayat tersebut berbicara tentang orang-orang yang bertobat dari perbuatan dosa. Apa pun dosa yang telah dilakukan seseorang, Allah pasti akan mengampuninya apabila dia bertobat. Adapun mereka ini berpegang pada ayat tersebut justru dalam rangka membenarkan perbuatan mereka berkubang lumpur dosa.
Masih banyak lagi ayat yang mereka jadikan sandaran untuk melegitimasikan perbuatan mereka melakukan berbagai dosa dan pelanggaran.

Melalui tulisan ini kami mengimbau seluruh pembaca untuk segera bertobat kepada Allah, berhenti dari perbuatan dosa yang masih dilakukan dan menyesalinya dengan sepenuh hati, bertekad untuk tidak melakukan dosa itu kembali, dan mengisi sisa umur dengan amal saleh sampai ajal menjemput kita, insya Allah. Dengan demikian, diharapkan kita bisa berhusnuzh zhan (berbaik sangka) kepada Allah pada saat kematian datang kepada kita.

Penutup

Telah kita ketahui bahwa rukun ibadah adalah al-mahabbah (cinta), al-khauf (takut), dan ar-raja’ (harapan). Ketiga rukun ini wajib ada pada diri setiap hamba pada saat dia beribadah. Allah mengumpulkan ketiganya dalam satu ayat-Nya,

أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ يَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلۡوَسِيلَةَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ وَيَرۡجُونَ رَحۡمَتَهُۥ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُۥٓۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحۡذُورٗا ٥٧

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah (sarana, berupa ibadah) kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat kepada-Nya; dan mereka mengharapkan rahmat-Nya serta takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (al-Isra’: 57)

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah, “Mencari wasilah yang disebutkan dalam ayat ini merupakan mahabbah (kecintaan) kepada Allah, yang mendorong untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya. Setelah itu, Allah menyebutkan raja’ dan khauf.” (Badai’ul Fawaid, oleh Ibnul Qayyim)

Orang yang beribadah kepada Allah semata-mata karena cinta kepada-Nya, ia telah mengikuti jalan orang-orang sufi ekstrem yang mengatakan, “Kami beribadah kepada Allah bukan karena takut akan neraka-Nya, bukan pula karena mengharap surga-Nya. Akan tetapi, kami beribadah kepada-Nya semata-mata karena mencintai-Nya.” Sikap ini akan melahirkan rasa aman dari makar Allah, dan puncaknya adalah kemunafikan.

Orang yang beribadah kepada Allah semata-mata karena takut kepada-Nya, ia telah mengikuti jalan orang-orang Khawarij. Tidak ada kecintaan kepada Allah, tidak pula ada harapan kepada-Nya. Oleh karena itu, mereka tidak merasakan kenikmatan dalam ibadah mereka. Seolah-olah mereka berhadapan dengan penguasa yang begitu bengis lagi zalim. Sikap ini akan melahirkan rasa putus asa terhadap rahmat Allah dan buruk sangka kepada-Nya, yang hal ini menjadi pintu gerbang menuju kekafiran.

Adapun beribadah kepada Allah dengan raja’ saja, ini adalah jalan orang-orang Murjiah. Mereka teperdaya oleh angan-angan, tidak takut terhadap dosa-dosa, dan meremehkan amal saleh. Ini semua sangat berbahaya dan dikhawatirkan akan menjerumuskan seseorang ke jurang kekufuran.

Oleh karena ini semua, para salaf mengatakan, “Barang siapa beribadah kepada Allah dengan mahabbah (cinta) saja, dia adalah zindiq (munafik). Barang siapa beribadah kepada-Nya dengan khauf (takut) saja, dia adalah haruri (Khawarij). Barang siapa beribadah kepada-Nya dengan raja’ (harapan) saja, dia adalah Murjiah. Barang siapa beribadah kepada Allah dengan mahabbah, khauf, dan raja’, dia adalah seorang mukmin.” (Badai’ul Fawaid)

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah, “Hati ini, dalam perjalanannya menuju Allah, ibarat seekor burung yang mahabbah adalah kepalanya, sedangkan khauf dan raja’ adalah kedua sayapnya. Selama kepala dan kedua sayapnya baik, akan baik pula terbangnya (menuju tujuannya). Namun, jika kepalanya putus, burung itu pun pasti mati. Jika salah satu sayapnya patah, keselamatannya terancam oleh setiap pemburu.” (Madarijus Salikin)
Wallahu a’lam bish shawab.