Apakah Aku Sudah Balig?
Oleh: Al-Ustadzah Ummu Muhammad
Pembaca muslimah, pada edisi lalu telah dibahas wajibnya wanita menuntut ilmu. Ilmu dapat dituntut dari anggota keluarga terdekat. Misalnya, apabila seorang wanita memiliki ayah, saudara laki-laki, suami, atau mahram lainnya yang dapat mengajarinya berbagai kewajiban berikut cara melaksanakannya, hal itu cukup baginya.
Apabila dia tidak memiliki mahram yang dapat mengajarinya, tetapi ada pengajar wanita yang berilmu tentang al-Qur’an dan as-Sunnah, belajar atau berguru kepadanya adalah hal yang baik, baik perorangan maupun di sebuah lembaga pendidikan. Apabila tidak ada pengajar wanita, dia bisa belajar kepada ustadz atau syaikh dengan memerhatikan aturan syariat, yaitu tidak berduaan, aman dari fitnah, dan harus ada tabir pemisah.
Dia harus bersemangat menuntut ilmu dan tidak malu bertanya tentang agamanya. Rasa malu yang sangat dominan pada wanita tidak boleh menghalanginya dari menuntut ilmu.
Al-Imam Mujahid rahimahullah berkata,
لَا يَطْلُبُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلَا مُسْتَكْبِرٍ
“Tidak akan menuntut ilmu orang yang malu dan juga orang yang sombong.”
Hal ini seperti telah dicontohkan oleh shahabiyyah (sahabat dari kalangan wanita). Mereka tidak malu menanyakan urusan agama mereka kepada Rasulullah `. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ، لَمْ يَكُنْ يَمْنَعْهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ
“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk mempelajari agama.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Shahabiyyah Anshar tersebut di antaranya:
Dahulu Ummu Sulaim pernah bertetangga dengan Ummu Salamah, istri Nabi `. Suatu ketika, Ummu Sulaim mengunjungi Ummu Salamah, lalu masuklah Nabi `. Ummu Sulaim pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apa pendapat Anda jika seorang wanita bermimpi digauli oleh suaminya, apakah dia wajib mandi?”
Ummu Salamah berkata, “Celaka tanganmu[1], wahai Ummu Sulaim. Engkau mempermalukan wanita di hadapan Rasulullah `.”
Ummu Sulaim menyahut, “Sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Bertanya kepada Nabi ` tentang masalah yang sulit bagi kami adalah lebih baik daripada kami dalam keadaan buta.”
Nabi ` bersabda kepada Ummu Salamah d, “Justru engkau yang celaka tanganmu. ‘Benar, Ummu Sulaim. Wanita itu wajib mandi apabila keluar mani.’” (HR. Ahmad. Hadits ini hasan dengan beberapa penguat lain)
Sebagaimana dikabarkan oleh Aisyah d, Asma’ pernah bertanya kepada Nabi ` tentang tata cara mandi haid. Nabi ` bersabda, “Salah seorang dari kalian mengambil air dan daun bidara, lalu bersuci dan membaguskan bersucinya. Kemudian, ia tuangkan air ke kepalanya. Ia gosok kepalanya dengan kuat sehingga air sampai ke akar-akar rambutnya. Setelah itu, ia tuangkan air ke atasnya. Ia ambil secarik kain yang diberi misik, lalu ia bersuci dengannya.”
Asma’ bertanya, “Bagaimana saya bersuci dengannya?”
Nabi ` menjawab, “Subhanallah, bersucilah dengannya.”
Aisyah berkata, “Aku pun menarik Asma’ ke dekatku, lalu kukatakan kepadanya, ‘Ikutilah bekas darah dengan kain tersebut’.” (Shahih, HR. al-Bukhari no. 314—315 dan Muslim no. 60)
Salah satu hal yang wajib diketahui dan dipelajari oleh wanita adalah tanda-tanda balig. Sebab, balig adalah awal terbebaninya seseorang dengan kewajiban-kewajiban agama (hukum syariat).
Hukum balig telah tetap dengan munculnya salah satu tanda berikut.
1. Ihtilam
Ihtilam atau hulm adalah keluarnya mani, baik ketika seseorang terjaga maupun ketika tidur (karena mimpi). Dalilnya antara lain:
a. Firman Allah l,
ﮋ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﮊ
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (pria dan wanita) yang kalian miliki dan orang-orang yang belum mencapai hulm (usia balig) di antara kalian meminta izin kepada kalian tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat subuh, ketika kalian menanggalkan pakaian (luar) kalian di tengah hari, dan sesudah shalat isya. (Itulah) tiga aurat bagi kalian.” (an-Nur: 58)
b. Hadits dari Ali bin Abi Thalib a, Nabi ` bersabda,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَفِيقَ
“Pena diangkat dari tiga orang (tidak terkena kewajiban), yaitu anak kecil hingga ihtilam, orang yang tidur hingga bangun, dan orang gila hingga sadar (kembali akalnya).” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 4403)
c. Hadits dari Ali bin Abi Thalib a, dari Nabi `, beliau bersabda,
لَا يُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ وَلَا صُمَاتَ يَوْمٍ إِلَى اللَّيْلِ
“Tidak (dianggap) yatim setelah (seorang anak) ihtilam, dan tidak disyariatkan diam dari pagi sampai malam.” (Shahih, HR. Abu Dawud, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Abu Dawud)
d. Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri a, bahwa Nabi ` bersabda,
غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
“Mandi pada hari Jumat (sebelum melaksanakan shalat Jumat) adalah kewajiban bagi setiap orang yang telah ihtilam.” (HR. al-Bukhari no. 2665 dan Muslim no. 846—847)
2. Genap berusia lima belas tahun
Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Umar h, ia berkata,
عُرِضْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً فَلَمْ يُجِزْنِي، وَعُرِضْتُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْخَنْدَقِ وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فَأَجَازَنِي
“Ketika berusia empat belas tahun, aku diajukan kepada Nabi ` untuk ikut serta dalam Perang Uhud, tetapi beliau tidak mengizinkanku. Ketika berumur lima belas tahun, aku diajukan kembali kepada beliau untuk ikut serta dalam Perang Khandaq, maka beliau mengizinkanku.” (HR. al-Jama’ah)
Ketika Khalifah Umar bin Abdil Aziz v mendengar hadits ini, beliau menulis surat perintah kepada pegawai beliau agar tidak mewajibkan perang selain atas orang yang telah mencapai usia lima belas tahun.
3. Tumbuh rambut di sekitar kemaluan
Yang dimaksud rambut di sini adalah rambut yang hitam dan kaku di sekitar kemaluan, bukan semata-mata rambut atau bulu. Sebab, semata-mata rambut sudah ada pada anak kecil. Dalilnya antara lain hadits dari ‘Athiyyah d, ia berkata,
عُرِضْنَا عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ قُرَيْظَةَ، فَكَانَ مَنْ أَنْبَتَ قُتِلَ، وَمَنْ لَمْ يُنْبِتْ خُلِّيَ سَبِيلُهُ، وَكُنْتُ مِمَّنْ لَمْ يُنْبِتْ فَخُلِّيَ سَبِيلِي
“Kami dihadapkan kepada Nabi ` pada Hari Quraizhah (peristiwa pengkhianatan Bani Quraizhah). Pada saat itu, orang yang sudah tumbuh rambut kemaluannya dibunuh, sedangkan orang yang belum tumbuh rambut kemaluannya dibiarkan. Aku adalah orang yang belum tumbuh rambut kemaluan, maka aku dibiarkan.” (HR. imam yang lima, dinyatakan shahih oleh al-Imam at-Tirmidzi)
Dalam riwayat lain,
فَمَنْ كَانَ مُحْتَلِمًا أَوْ نَبَتَتْ عَانَتُهُ قُتِلَ، وَمَنْ لَا تُرِكَ
“Barang siapa telah ihtilam atau telah tumbuh rambut kemaluannya, dibunuh; dan barang siapa belum demikian, dibiarkan.” (HR. Ahmad dan an-Nasa’i)
Disebutkan pula dalam hadits dari Samurah a, bahwa Nabi ` bersabda,
اقْتُلُوا شُيُوخَ الْمُشْرِكِينَ وَاسْتَحْيُوا شَرْخَهُمْ
“Bunuhlah orang-orang tua dari kaum musyrikin (Bani Quraizhah), dan biarkan hidup asy-syarkhu mereka.” Asy-Syarkhu adalah anak-anak yang belum tumbuh rambut kemaluannya. (HR. at-Tirmidzi, shahih)
4. Haid
Hukum balig telah tetap dengan adanya salah satu dari tiga tanda di atas. Ketiga tanda tersebut dialami oleh pria dan wanita. Adapun khusus bagi wanita, ada tanda keempat, yaitu haid. Dalil bahwa haid menjadi tanda balig seorang wanita di antaranya adalah hadits dari Ummul Mukminin Aisyah d, Nabi ` bersabda,
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
“Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haid kecuali apabila wanita tersebut shalat memakai kerudung.” (HR. al-Bukhari)
Haid sebagai tanda balig seorang wanita adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama ahli fikih sebagaimana yang dinukilkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar t. Beliau berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa haid adalah tanda balig bagi wanita.” (Fathul Bari 5/277)
Oleh karena itu, apabila salah satu dari empat tanda balig di atas ada pada seorang wanita, pena pembebanan hukum syariat telah berjalan dan hukuman karena meninggalkan kewajiban telah berlaku.
Wallahu a’lam.
[1] Ungkapan yang sudah biasa diucapkan oleh orang Arab yang tidak dimaksudkan untuk mendoakan kejelekan atas saudaranya.