Antara Doa dan Zikir
Oleh: Al-Ustadz Idral Harits
Di dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintah kita agar banyak berzikir. Namun, apakah benar Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak pernah memberikan perintah kepada kita untuk banyak berdoa? Apakah antara doa dan zikir itu tidak ada hubungan sama sekali? Kalau ada, bagaimanakah kedudukan doa di hadapan zikir ini?
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” (al-Ahzab: 41)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ شَرَائِعَ الْإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ، فَأَخْبِرْنِي بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. قَالَ: لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ
“Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam ini sangat banyak (sehingga menyulitkan saya), maka terangkanlah kepada saya sesuatu agar saya berpegang padanya.’
Kata beliau, ‘Hendaknya lisanmu senantiasa basah dengan dzikrullah’.”[1]
Makna “hendaknya lisanmu senantiasa basah dengan dzikrullah” ialah terus-menerus dalam keadaan berzikir.
Dalam hadits ini, dengan tegas Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing sahabat tersebut untuk selalu dalam keadaan berzikir. Artinya, dia hendaknya sering-sering berzikir, bukan berdoa. Benarkah demikian?
Seandainya kita mau memahami agama ini melalui bimbingan al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf (pendahulu) kita yang saleh, akan menjadi jelaslah ke arah mana kita menuju dan di jalan apa kita sedang melangkah. Dari mereka yang mengerti bahasa yang digunakan oleh syariat inilah kita merujuk berbagai persoalan agama yang kita hadapi. Termasuk masalah ini.
Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, pada hakikatnya doa itu sendiri adalah zikir yang ditujukan kepada al-mad’u (yang diseru, yaitu Allah l). Artinya, dalam sebuah doa yang dipanjatkan tersirat adanya permintaan tentang sesuatu sekaligus puji-pujian kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Dengan demikian, doa adalah zikir itu sendiri berikut tambahannya. Begitu pula sebaliknya, zikir dinamakan doa karena mengandung permintaan (yaitu meminta keridhaan Allah dan pahala-Nya, –ed.).[2]
Zikir mempunyai tiga tingkatan, yaitu:
1. Zikir yang bersifat lahiriah, yaitu yang terucap oleh lisan semata.
2. Zikir yang diucapkan oleh lisan dan sejalan dengan yang di dalam kalbu, bukan sekadar ucapan lisan. Sebagai contoh ialah ucapan-ucapan sanjungan atau pujian dan doa.
3. Zikir yang dilakukan oleh kalbu saja (muraqabah).
Dalam bentuk sanjungan, misalnya subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illallahu, wallahu akbar.
Dalam bentuk doa, misalnya,
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Wahai Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak memberikan rahmat kepada kami, pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (al–A’raf: 23)
Contoh zikir dalam bentuk pengawasan adalah ucapan orang yang berzikir, “Allah selalu menyertaiku. Dia melihat dan menyaksikanku” dan sebagainya, yang digunakan untuk menghadirkan kebersamaan Allah.
Oleh sebab itu, zikir-zikir nabawi meliputi tiga hal tersebut. Zikir-zikir yang beliau ajarkan mengandung sanjungan atau pujian kepada Allah, doa, dan secara tegas menunjukkan adab dan kebersamaan dengan Allah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلهِ
“Seutama-utama doa adalah (ucapan) alhamdulillah.”[3]
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa ucapan alhamdulillah (segala puji bagi Allah) adalah doa, padahal kalimat ini murni sebagai pujian. Mengapa demikian? Sebab, kata al-hamdu mengandung cinta (mahabbah) sekaligus pujian, sedangkan cinta adalah jenis permintaan paling tinggi yang ditujukan kepada al–mahbub (sosok yang dicintai).
Oleh sebab itu, orang yang sedang memuji berarti meminta (suatu kebutuhannya) kepada pihak yang dicintainya. Dengan demikian, dialah yang lebih berhak dikatakan sebagai da’i (orang yang berdoa) daripada sa’il (yang meminta) dan thalib (yang menuntut) sesuatu dari Rabb-nya.
Melalui uraian ini, kita mengetahui bahwa inti kalimat alhamdu atau pujian itu mengandung sebuah permintaan yang paling utama. Itulah doa yang sejati dan paling berhak dikatakan sebagai doa daripada permintaan-permintaan lain yang ada di bawahnya.
Masing-masing dari istilah doa dan zikir mempunyai makna yang juga dimiliki oleh yang lain, bahkan masuk ke dalam pengertiannya. Dengan kata lain, istilah doa mengandung pengertian yang terdapat pada kata zikir, bahkan termasuk zikir itu sendiri, begitu pula sebaliknya.
Wallahu a’lam.