Al-Ustadz Syafi’i bin Shalih al-Idrus
Pada edisi sebelumnya kita telah mempelajari dua dari macam-macam ibadah, yaitu doa, yang merupakan intisari ibadah, bahkan merupakan ibadah itu sendiri, dan mahabbah (rasa cinta), yang merupakan rukun pertama dalam ibadah. Telah diketahui bahwa rukun kedua dalam ibadah adalah al-khauf (rasa takut), maka pada edisi ini, insya Allah, kita akan mempelajari sedikit tentang permasalahan ini.
Al-Khauf (Rasa Takut)
Ketahuilah, Saudariku fillah (di jalan Allah), sesungguhnya al-khauf memiliki kedudukan yang sangat agung dalam ibadah dan sangat besar manfaatnya. Hukum al-khauf adalah fardhu ‘ain atas setiap hamba.
Allah berfirman,
فَلَا تَخَافُوهُمۡ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ١٧٥
“… maka janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah hanya kepada-Ku jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Ali ‘Imran: 175)
Berkata Abu Hafsh ‘Umar bin Maslamah al-Haddad an-Naisaburi, “Al-Khauf merupakan pelita dalam hati. Dengannya tampak kebaikan dan kejelekan yang ada dalam hati. Segala sesuatu yang kamu takuti pasti kamu berusaha lari darinya, kecuali Allah. Jika kamu takut kepada-Nya, justru kamu berlari mendekat kepada-Nya.”
Berkata Abu Sulaiman, “Tidak ada satu hati pun yang lepas dari al-khauf melainkan pasti akan rusak.”
Berkata Ibrahim bin Sufyan, “Apabila al-khauf bersemayam dalam hati, dia akan membakar tempat-tempat syahwat dalam hati tersebut dan mengusir (kesenangan) dunia darinya.”
Berkata Dzun Nun, “Manusia senantiasa berada di atas jalan (yang lurus) selama al-khauf belum lenyap dari diri mereka. Jika al-khauf hilang, mereka pun tersesat.” (Lihat Rasa’il asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd fil ‘Aqidah, melalui asy-Syamilah)
Macam-macam al-khauf
Al-Khauf ath-thabi’i adalah rasa takut yang merupakan tabiat bawaan setiap orang, seperti takut pada binatang buas, musuh, gunung meletus, tanah longsor, banjir, tenggelam, dan hal-hal lain yang bahayanya nyata. Rasa takut ini tidaklah tercela. Rasa takut ini pulalah yang diberitakan oleh Allah tentang Musa dalam firman-Nya,
فَخَرَجَ مِنۡهَا خَآئِفٗا يَتَرَقَّبُۖ
“Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut penuh kewaspadaan.” (al-Qashash: 21)
فَأَوۡجَسَ فِي نَفۡسِهِۦ خِيفَةٗ مُّوسَىٰ ٦٧
“Maka Musa pun merasa takut dalam dirinya.” (Thaha: 67)
Pada asalnya khauf jenis ini hukumnya mubah. Akan tetapi, apabila rasa takut ini menyebabkan seseorang melakukan kewajiban atau meninggalkan keharaman, hukumnya menjadi wajib. Apabila rasa takut ini menyebabkan seseorang melakukan amalan sunnah atau meninggalkan perkara yang makruh, hukumnya sunnah. Rasa takut yang seperti ini disebut al-khauf al-mahmud (rasa takut yang terpuji).
Sebaliknya, apabila rasa takut ini menyebabkan seseorang meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman, hukumnya haram. Apabila rasa takut ini menyebabkan seseorang meninggalkan amalan sunnah atau melakukan perkara yang makruh, hukumnya makruh. Rasa takut yang seperti ini disebut al-khauf al-madzmum (rasa takut yang tercela).
Misalnya, seseorang merasa takut karena hendak bertemu dengan musuh, atau hendak menyampaikan nasihat kepada saudaranya. Apabila rasa takut tersebut menyebabkannya mempersiapkan diri untuk menghadapi perkara tersebut, ini adalah al-khauf al-mahmud. Akan tetapi, apabila rasa takut tersebut justru menyebabkannya lari dari medan jihad atau mengurungkan niat dari memberikan nasihat kepada saudaranya, ini adalah al-khauf al-madzmum.
Berkata Ibnul Qayyim, “Saya mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah—semoga Allah menyucikan ruhnya—berkata, ‘Al-Khauf al-mahmud adalah rasa takut yang menghalangi seseorang melakukan apa saja yang diharamkan oleh Allah.’ Abu ‘Utsman berkata, ‘Rasa takut yang sebenarnya itu tercermin pada kehati-hatian seseorang dari perbuatan dosa, baik yang tampak maupun yang tersembunyi’.” (Lihat Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah)
Al-Khauf as-sirri adalah rasa takut yang disertai perendahan, penghambaan, dan pendekatan diri kepada zat yang ditakuti. Rasa takut ini menyebabkan seseorang menjauhkan diri dari segala tindakan pelanggaran (maksiat) terhadap zat yang ditakutinya itu. Ia khawatir bahwa zat yang ditakutinya tersebut akan menimpakan malapetaka pada dirinya, entah berupa kemiskinan, penyakit, kematian, dicabutnya kenikmatan, dan hal-hal lain yang diyakini sebagai kekuasaan zat tersebut.
Apabila rasa takut ini diberikan hanya kepada Allah, itu merupakan seagung-agung ibadah, bahkan merupakan salah satu rukun ibadah. Orang yang takut kepada Allah dengan rasa takut ini terbilang orang yang mukhlish (ikhlas) lagi muwahhid (bertauhid).
Termasuk dalam rasa takut jenis ini adalah rasa takut seseorang terhadap ancaman-ancaman Allah bagi siapa saja yang bermaksiat kepada-Nya.
Adapun jika rasa takut yang seperti ini diberikan kepada selain Allah, sungguh pelakunya telah terjatuh dalam syirik besar. Hal itu sebagaimana yang terjadi pada orang-orang musyrik yang memiliki keyakinan-keyakinan tersebut pada sembahan mereka. Bahkan, dengan keyakinan-keyakinan tersebut mereka berusaha menakut-nakuti wali-wali Allah dan orang-orang yang beriman.
Perhatikanlah ucapan kaum Nabi Hud kepada beliau sebagaimana yang diberitakan oleh Allah di dalam al-Qur’an,
إِن نَّقُولُ إِلَّا ٱعۡتَرَىٰكَ بَعۡضُ ءَالِهَتِنَا بِسُوٓءٖۗ
“Kami tidaklah mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan (penyakit gila) atasmu.” (Hud: 54)
Demikian pula keadaan para pemuja kubur. Mereka takut kepada para penghuni kubur dari kalangan orang-orang yang saleh (semisal asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani) sebagaimana takut kepada Allah. Bahkan, ketakutan mereka kepadanya jauh lebih besar daripada ketakutan mereka kepada Allah. Terbukti, pada saat salah seorang dari mereka tertimpa musibah atau kezaliman, dia tidak meminta pertolongan selain kepada orang-orang yang telah dikubur tersebut. Demikian pula pada saat salah seorang dari mereka berbuat zalim kepada seseorang, kemudian orang yang dizalimi ini meminta perlindungan kepada Allah, dia tidak akan menghiraukannya. Akan tetapi, jika orang yang dizalimi tersebut meminta perlindungan kepada orang yang sudah mati yang mereka anggap sebagai wali, dia tidak akan berani mengusiknya sedikit pun.
Al-Khauf al-wahmi adalah rasa takut terhadap gambaran-gambaran yang ada dalam pikiran seseorang tanpa sebab yang jelas, seperti rasa takut ketika melewati pohon besar, rumah kosong, kamar mandi, dsb. Rasa takut seperti ini juga tercela dan pelakunya terbilang penakut. Oleh karenanya, Rasulullah berlindung kepada Allah dari perangai ini. Beliau bersabda,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sifat penakut.” (HR. al-Bukhari)
Hal ini menunjukkan bahwa sifat penakut merupakan perangai yang sangat jelek yang tidak sepantasnya dimiliki oleh seorang muslim.
Solusi terbesar dalam menghadapi rasa takut jenis ini adalah keimanan yang sempurna dan tawakal yang penuh kepada Allah, kemudian memenuhi hati dengan keberanian. Maka dari itu, setiap kali keimanan seorang hamba kuat, niscaya sirna dari hatinya rasa takut kepada selain Allah. Sebaliknya, pada saat keimanannya kepada Allah lemah, bertambahlah rasa takutnya kepada selain Allah.
Para sahabat Rasulullah adalah manusia yang paling kuat keimanannya sehingga bagi mereka, perkara-perkara yang menakutkan sekalipun menjadi perkara yang menenteramkan. Itu semua tidak lain karena kekuatan iman dalam dada mereka dan kesempurnaan tawakal mereka. Tiada yang mereka takuti melainkan Allah semata.
Allah berfirman tentang mereka,
ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدۡ جَمَعُواْ لَكُمۡ فَٱخۡشَوۡهُمۡ فَزَادَهُمۡ إِيمَٰنٗا وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ ١٧٣ فَٱنقَلَبُواْ بِنِعۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَفَضۡلٖ لَّمۡ يَمۡسَسۡهُمۡ سُوٓءٞ وَٱتَّبَعُواْ رِضۡوَٰنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ ذُو فَضۡلٍ عَظِيمٍ ١٧٤
“… yaitu orang-orang yang (sebagian) manusia ada yang mengatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya orang-orang telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, maka takutlah kalian kepada mereka.’ Perkataan tersebut justru menambah keimanan mereka, dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah sebagai penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.’ Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah. Mereka tidak tersentuh kejelekan sedikit pun, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Ali ‘Imran: 173—174)
Wallahu a’lam.