Qonitah
Qonitah

al-inabah, kunci meraih kebahagiaan hakiki

10 tahun yang lalu
baca 7 menit
Al-Inabah, Kunci Meraih Kebahagiaan Hakiki

pilar-16Al-Inabah, Kunci Meraih Kebahagiaan Hakiki

Al-Ustadz Syafi’i bin Shalih al-Idrus

Saudariku fillah, pada edisi ini insya Allah kita akan mempelajari salah satu ibadah yang sangat agung. Bahasan ini masih terkait dengan bahasan sebelumnya, yaitu masalah tawakal. Ya, kita akan mempelajari masalah inabah. Apa kaitan antara tawakal dan inabah?

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan tawakal mendahului kedudukan inabah.” Maksudnya, seseorang mesti lurus dan benar tawakalnya terlebih dahulu untuk bisa melakukan inabah. Jika seseorang tidak benar tawakalnya, selama-lamanya dia tidak akan bisa beribadah dengan inabah. Jadi, tawakal adalah wasilah (sarana), sedangkan inabah adalah ghayah (tujuan). (Lihat Madarijus Salikin)

Definisi Inabah

Secara bahasa, inabah artinya kembali. Dikatakan أَنَابَ فُلَانٌ إِلَى بَلَدِهِ, artinya orang itu kembali ke negerinya. Adapun inabah ilallah artinya kembali kepada Allah dengan bertobat. Ar-Raghib al-Ashfahani berkata, “Inabah kepada Allah artinya kembali kepada-Nya dengan bertobat dan mengikhlaskan amal.” (Lihat al-Mufradat fi Gharibil Quran)

Adapun secara istilah, definisi inabah adalah seperti yang disebutkan Ibnul Qayyim, “Inabah adalah bersegera menuju keridhaan Allah, kembali kepada-Nya pada setiap waktu, dan mengikhlaskan amal hanya untuk-Nya.” (Lihat Madarijus Salikin)

Jadi, makna inabah adalah mengonsentrasikan hati secara penuh untuk senantiasa mengagungkan Allah, mengingat-Nya, dan mencintai-Nya; mengonsentrasikan anggota badan untuk menaati-Nya, mengikhlaskan amal hanya untuk-Nya, dan selalu mengikuti sunnah Nabi-Nya. (Lihat al-Fawa’id, Ibnul Qayyim)

Perbedaan Inabah dengan Taubah

Inabah mirip dengan taubah. Hanya saja, inabah lebih tinggi derajatnya daripada taubah. Sebagaimana kita ketahui, taubah adalah berhenti dari melakukan dosa, menyesalinya, dan bertekad untuk tidak mengulanginya pada masa yang akan datang. Ketahuilah bahwasanya makna ini masuk pula dalam definisi inabah. Apabila seseorang melakukan taubah dalam keadaan tetap berada pada ibadah yang biasa dia lakukan, dia disebut ta’ib (orang yang bertobat). Adapun jika dia melakukan taubah kemudian meningkatkan kadar ketaatannya kepada Allah dengan memperbanyak amal saleh, seperti membaca al-Qur’an, menegakkan shalat malam, berpuasa sunnah, berinfak, dst., orang ini dikatakan munib (orang yang kembali kepada Allah).

Untuk lebih jelasnya, penulis berikan contoh. Seorang muslimah rajin mengerjakan shalat lima waktu dan berpuasa pada bulan Ramadhan. Namun, dia memiliki kebiasaan sering berdusta dan menggunjing saudaranya. Setelah mendapat nasihat dari saudarinya sesama muslimah tentang bahaya berdusta dan ghibah serta ancaman keras bagi para pelakunya, dia pun berhenti dari kebiasaannya tersebut, menyesalinya, dan bertekad tidak akan mengulanginya. Jika dia tetap pada ibadah yang biasa dia lakukan sebagai muslimah tanpa meningkatkan kadar ibadahnya, kita katakan dia ta’ibah (wanita yang bertobat). Akan tetapi, jika kemudian dia meningkatkan keseriusannya dalam ibadah, sering beristighfar kepada Allah, senantiasa basah bibirnya dengan zikir kepada Allah, dst., dia seorang munibah (wanita yang kembali kepada Allah).

Dalil Inabah

Di antara dalil yang menunjukkan bahwasanya inabah merupakan ibadah adalah perintah Allah dalam Kitab-Nya,

وَأَنِيبُوٓاْ إِلَىٰ رَبِّكُمۡ وَأَسۡلِمُواْ لَهُۥ مِن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَكُمُ ٱلۡعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ ٥٤

“Dan kembalilah kalian kepada Rabb kalian dan berserahdirilah kepada-Nya sebelum datang kepada kalian azab kemudian kalian tidak dapat ditolong. (az-Zumar: 54)

Inabah Merupakan Sifat Para Rasul

Inabah merupakan perangai terpuji yang menjadi ciri khas para nabi dan rasul Allah. Allah memberitakan tentang Nabi-Nya, Dawud ‘alaihissalam

وَظَنَّ دَاوُۥدُ أَنَّمَا فَتَنَّٰهُ فَٱسۡتَغۡفَرَ رَبَّهُۥ وَخَرَّۤ رَاكِعٗاۤ وَأَنَابَ۩ ٢٤

“Dan Dawud menduga bahwa Kami mengujinya, maka dia memohon ampunan kepada Rabbnya lalu tersungkur sujud dan berinabah (kembali kepada-Nya).” (Shad: 24)

Allah juga memberitakan tentang Nabi-Nya, Sulaiman ‘alaihissalam

وَلَقَدۡ فَتَنَّا سُلَيۡمَٰنَ وَأَلۡقَيۡنَا عَلَىٰ كُرۡسِيِّهِۦ جَسَدٗا ثُمَّ أَنَابَ ٣٤

“Dan sungguh Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan di atas kursinya suatu jasad, kemudian dia pun kembali (kepada-Nya).” (Shad: 34)

Allah memberitakan ucapan Nabi-Nya, Syu’aib ‘alaihissalam

وَمَا تَوۡفِيقِيٓ إِلَّا بِٱللَّهِۚ عَلَيۡهِ تَوَكَّلۡتُ وَإِلَيۡهِ أُنِيبُ ٨٨

“... dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku kembali. (Hud: 88)

Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata sebagaimana diberitakan oleh Allah dalam firman-Nya,

ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبِّي عَلَيۡهِ تَوَكَّلۡتُ وَإِلَيۡهِ أُنِيبُ ١٠

Itulah Allah, Rabbku. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku kembali. (asy-Syura: 10)

Allah memuji Khalil-Nya, Ibrahim ‘alaihissalam karena sifatnya yang selalu kembali kepada-Nya. Allah berfirman,

إِنَّ إِبۡرَٰهِيمَ لَحَلِيمٌ أَوَّٰهٞ مُّنِيبٞ ٧٥

“Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun, lemah lembut, dan seorang yang munib (selalu kembali kepada Allah). (Hud: 75)

Kedudukan Inabah

Inabah memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak penjelasan Ibnul Qayyim berikut.

“Barang siapa telah menempati kedudukan tobat dan telah berdiri pada kedudukan tersebut, berarti dia telah menduduki seluruh kedudukan Islam. Apabila telapak kakinya telah kokoh pada kedudukan tersebut, selanjutnya dia akan menduduki kedudukan inabah. Allah benar-benar telah memerintahkan inabah dalam Kitab-Nya dan memuji Khalil-Nya (Ibrahim) dengan sifat tersebut. Allah berfirman, Dan kembalilah kalian kepada Rabb kalian. (az-Zumar: 54)

Allah juga berfirman, Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun, lemah lembut, dan seorang yang munib (selalu kembali kepada Allah).’ (Hud: 75)

Allah juga memberitakan bahwa yang bisa mengambil pelajaran dan peringatan dari ayat-ayat-Nya hanyalah hamba-hamba-Nya yang memiliki sifat inabah. Allah berfirman, Maka tidakkah mereka memerhatikan langit yang ada di atas mereka, bagaimana cara Kami membangunnya dan menghiasinya?’ hingga firman-Nya, ... sebagai pelajaran dan peringatan bagi setiap hamba Allah yang munib.’ (Qaf: 6—8)

Allah juga berfirman, Dialah yang memperlihatkan tanda-tanda (kekuasaan-Nya) kepada kalian dan menurunkan rezeki dari langit untuk kalian. Dan tidak akan mampu mengambil pelajaran dari itu semua kecuali orang yang kembali (kepada Allah).’ (Ghafir: 13)

Demikian pula Allah memberitakan bahwa pahala dan surga-Nya diperuntukkan bagi orang-orang yang takut dan kembali kepada-Nya. Allah berfirman, Dan surga didekatkan kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tidak jauh (dari mereka). (Dikatakan kepada mereka) Inilah nikmat yang dijanjikan kepada kalian, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu bertobat (kepada Allah) dan memelihara (semua batasan-batasan-Nya). Yaitu orang yang takut kepada ar-Rahman (sang Maha Pengasih) sekalipun dia belum melihat-Nya, dan dia datang dengan hati yang munib (kembali kepada-Nya). Masuklah ke surga dengan aman dan damai.’ (Qaf: 31—34)

Allah juga memberitakan bahwasanya kabar gembira dari-Nya hanyalah diberikan bagi orang-orang yang memiliki sifat inabah. Allah berfirman, Dan orang-orang yang menjauhi thaghut, tidak mengibadahinya, dan kembali kepada Allah, mereka pantas mendapat berita gembira. (az-Zumar: 17).” (Lihat Madarijus Salikin)

Inabah merupakan sebab teraihnya kebahagiaan setiap hamba dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap hamba hanyalah dicipta untuk beribadah kepada-Nya saja. Maka dari itu, kemaslahatan, kesempurnaan, kesenangan, dan kebahagiaan setiap hamba terletak pada ibadah dan inabahnya kepada-Nya.” (Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah)

Karena begitu tingginya kedudukan inabah ini di sisi Allah, setan pun begitu gigih berusaha dalam menghalangi setiap hamba darinya. Setiap kali tebersit dalam diri seorang hamba keinginan untuk kembali kepada Allah, setiap kali itu pula setan akan berbolak-balik kepadanya dan melemahkan keinginannya. Setan juga akan memberikan waswas kepadanya berupa gambaran-gambaran buruk yang bakal menimpa seseorang yang hendak kembali kepada Rabbnya. Fallahul musta’an wa ilaihit tuklan (hanya Allah-lah yang dimintai pertolongan dan hanya kepada-Nya kita bergantung).

Inabah Orang-orang Musyrik

Perlu diketahui, seorang mukmin belum mencapai predikat munib yang sebenar-benarnya hingga terkumpul padanya empat kriteria: senantiasa mencintai Allah dengan kecintaan yang murni, tunduk dan patuh kepada-Nya, menghadapkan dirinya hanya kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya. (Lihat Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim)

Adapun orang yang kembali kepada Allah pada keadaan-keadaan tertentu saja dan meninggalkannya pada keadaan yang lain, itu bukanlah perangai orang yang beriman. Mari kita renungkan bersama firman Allah berikut.

۞وَإِذَا مَسَّ ٱلۡإِنسَٰنَ ضُرّٞ دَعَا رَبَّهُۥ مُنِيبًا إِلَيۡهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُۥ نِعۡمَةٗ مِّنۡهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدۡعُوٓاْ إِلَيۡهِ مِن قَبۡلُ وَجَعَلَ لِلَّهِ أَندَادٗا لِّيُضِلَّ عَن سَبِيلِهِۦۚ قُلۡ تَمَتَّعۡ بِكُفۡرِكَ قَلِيلًا إِنَّكَ مِنۡ أَصۡحَٰبِ ٱلنَّارِ ٨

“Dan apabila manusia ditimpa bencana, dia memohon pertolongan kepada Rabbnya dengan inabah (kembali) kepada-Nya. Akan tetapi, apabila Dia memberikan nikmat kepadanya, dia lupa (akan bencana) yang pernah dia berdoa kepada Allah sebelum itu, dan dia menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan untuk menyesatkan manusia dari jalan-Nya. Katakanlah, ‘Bersenang-senanglah kamu dengan kekafiranmu itu untuk sementara. Sungguh kamu termasuk penghuni neraka’.” (az-Zumar: 8)

Wallahu a’lam.