Agar Ananda Tumbuh Dalam Takwa
Al-Ustadz Abu Bakar Abdurrahman
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n قَالَ: إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ. (رَوَاهُ أَحْمَدُ فِيْ مُسْنَدِهِ 2/372، وَمُسْلِمٌ 4232، وَأَبُوْ دَاوُدَ 2880، وَالتِّرْمِذِيُّ 1376، وَالنَّسَائِيُّ 3651، وَابْنُ مَاجَهْ 241)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Apabila seseorang telah meninggal dunia, terputuslah amalan-amalannya, kecuali tiga amalan: sedekah jariyah (sedekah yang terus mengalir pahalanya), ilmu yang bisa diambil manfaatnya, atau anak saleh yang mendoakan kebaikan untuknya (orang tuanya).” (HR. Ahmad dalam Musnadnya 2/372, Muslim no. 4232, Abu Dawud no. 2880, at-Tirmidzi no. 1376, an–Nasa’i no. 3651, dan Ibnu Majah no. 241)
Pembaca Qonitah yang dimuliakan Allah, telah kita maklumi bersama bahwa anak adalah dambaan setiap insan. Salah satu tujuan disyariatkannya menikah adalah untuk memperoleh keturunan. Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda bahwa seseorang yang ingin menikah hendaknya memilih wanita yang subur peranakannya supaya dia mendapatkan anak yang banyak sehingga kelak, pada hari kiamat, Nabi kita akan bangga dengan banyaknya umat Islam.[1]
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَٱلۡـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ
“Maka sekarang campurilah mereka (istri-istri kalian) dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kalian.” (al–Baqarah: 187)
Makna atau tafsir “apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kalian” adalah anak, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, dan Anas bin Malik.[2] Maksudnya, dengan jima’ tersebut, niatkanlah untuk mendapatkan anak.
Tidak dimungkiri bahwa syariat Islam menganjurkan umatnya untuk memperbanyak anak. Hal ini berbeda dengan slogan yang berbunyi “Dua anak cukup”. Sebenarnya, program tersebut adalah makar orang-orang kafir untuk menekan populasi kaum muslimin.
Sebagaimana Islam memerhatikan kuantitas umatnya, syariat yang mulia ini juga memerhatikan kualitas umat. Bagaimanapun juga, kuantitas yang banyak tanpa kualitas yang baik ibarat buih yang tidak ada gunanya. Oleh karena itu, kualitas umat ini sangat dituntut dalam agama kita ini.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
يُوْشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُم كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا. فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةِ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيْرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَلَيَنْزِعَنَّ اللهُ مِنْ صُدُوْرِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ، وَلَيَقْذِفَنَّ اللهُ فِيْ قُلُوْبِكُمُ الْوَهْنَ. فَقَالَ قَائِلٌ: يَارَسُوْلَ اللهِ، وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ: حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ. (رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ 4297، وَصَحَّحَهُ الْأَلْبَانِيُّ. انْظُرْ الصَّحِيْحَةَ 569)
“Hampir-hampir umat non–Islam mengeroyok kalian sebagaimana sekelompok orang beramai-ramai mengeroyok makanan pada satu nampan.” Berkatalah seseorang, “Apakah karena sedikitnya kami pada waktu itu?” Beliau berkata, “Justru kalian ketika itu banyak. Akan tetapi, kalian ibarat buih di tepian banjir. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari dada-dada musuh kalian, dan Allah akan menimpakan wahn di hati kalian.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu wahn?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud no. 4297, dinyatakan shahih oleh al-Albani. Lihat ash–Shahihah no. 956)
Kalau kita cermati, kondisi kaum muslimin sekarang ini persis seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Mereka mayoritas, tetapi dijajah, dizalimi, dan dicabik-cabik oleh musuh-musuh Islam, baik secara moril maupun materiil. Kepada Allah kita mengeluh dan mengadu dengan selalu berupaya mencari jalan keluar.
Ketika kembali kepada Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, kita dapati bahwa di antara jalan keluar dari kenistaan ini adalah menciptakan generasi yang saleh dan salihah. Berikut kami paparkan beberapa kiat mewujudkan generasi saleh dan salihah.
Kiat pertama, berdoa kepada Allah agar diberi keturunan yang saleh. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam,
رَبِّ هَبۡ لِي مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ١٠٠
“Wahai Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.” (ash–Shaffat: 100)
Tindakan serupa juga dilakukan oleh Nabi Zakariya ‘alaihissalam,
وَإِنِّي خِفۡتُ ٱلۡمَوَٰلِيَ مِن وَرَآءِي وَكَانَتِ ٱمۡرَأَتِي عَاقِرٗا فَهَبۡ لِي مِن لَّدُنكَ وَلِيّٗا ٥ يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنۡ ءَالِ يَعۡقُوبَۖ وَٱجۡعَلۡهُ رَبِّ رَضِيّٗا ٦
“Dan sungguh aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal istriku seorang yang mandul. Maka anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu, yang akan mewarisiku dan mewarisi dari keluarga Ya’qub, dan jadikanlah dia, ya Rabbku, seseorang yang diridhai.” (Maryam: 5—6)
Kiat kedua, berdoa sebelum jima’ dengan doa
بِسْمِ اللهِ، اللّٰهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَارَزَقْتَنَا
“Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezekikan kepada kami.”
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan bahwa orang yang berdoa dengan doa ini kemudian mendapatkan anak, setan tidak akan memudaratkan anak tersebut.
Kedua sebab di atas sering dianggap remeh dan dilupakan oleh sebagian orang, padahal hakikat hidayah itu di tangan Allah. Sudah semestinya seorang hamba selalu meminta kepada Allah hidayah untuk dirinya dan anak keturunannya.
Kiat ketiga, memperbaiki diri pribadi orang tua itu sendiri. Orang tua adalah cermin bagi anak-anaknya. Orang tua yang saleh merupakan salah satu sebab terbesar terjaganya anak dari keburukan.
Contohnya terdapat dalam surat al-Kahfi ayat 82 tentang kisah Nabi Musa bersama Nabi Khidhir ketika keduanya mendapati tembok yang hampir runtuh. Nabi Khidhir pun menegakkannya kembali karena di bawah tembok tersebut tertimbun harta dua anak yatim yang orang tua mereka adalah orang saleh.
‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan ayat tersebut, yaitu ayat
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَٰلِحٗا
“Dan ayah kedua anak yatim itu adalah orang saleh.” (al–Kahfi: 82)
Kata ‘Abdullah bin ‘Abbas, “Kedua anak yatim itu dijaga oleh Allah disebabkan kesalehan ayah mereka.” Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam kitab al-‘Iyal (360), bab فِيْ حِفْظِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ الْمُؤْمِنَ فِيْ ذُرِّيَّتِهِ مِنْ بَعْدِهِ (Penjagaan Allah terhadap keturunan seorang mukmin sepeninggalnya).
Atsar lain yang berkaitan dengan masalah ini diriwayatkan dari Hisyam bin Hassan, Sa’id bin Jubair berkata, “Sungguh aku akan memperbanyak melakukan shalat disebabkan oleh anakku ini.” Maksud beliau, “dengan harapan anakku mendapat penjagaan dari Allah”.
Perhatikanlah, Pembaca Qonitah yang dimuliakan Allah. Jika Anda ingin mendapatkan generasi yang saleh dan salihah, mulailah dari diri Anda terlebih dahulu.
Kiat keempat, berbakti kepada orang tua. Jika Anda bercita-cita memiliki putra-putri yang saleh dan salihah, tentu orang tua Anda juga mempunyai harapan yang sama. Anda akan memperoleh balasan sesuai dengan perbuatan Anda. Peribahasa Arab mengatakan,
الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ
“Balasan yang diperoleh seseorang tergantung pada perbuatannya.”
Ada sebuah ayat yang semakna dengan kaidah ini, yaitu firman Allah dalam ar-Rahman: 60,
هَلۡ جَزَآءُ ٱلۡإِحۡسَٰنِ إِلَّا ٱلۡإِحۡسَٰنُ ٦٠
“Dan tidaklah balasan amal kebaikan itu kecuali kebaikan juga.”
Kiat kelima, mencari istri yang salihah. Ini kiat yang tidak kalah pentingnya dalam mendidik generasi yang saleh/salihah. Diwasiatkan oleh Nabi kita, Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا ، وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Seorang wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena mulianya keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Pilihlah wanita yang berpegang teguh pada agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. al-Bukhari no. 5090)
Abul Aswad berkata kepada putra-putrinya, “Aku telah berbuat baik kepada kalian ketika kalian dewasa dan semenjak kalian masih kecil, bahkan sebelum kalian dilahirkan.” Putra-putrinya bertanya, “Bagaimana Ayah berbuat baik kepada kami sebelum kami dilahirkan?” Abul Aswad menjawab, “Aku tidak meletakkan kalian di tempat yang mempermalukan kalian.” Dalam suatu lafadz, “Aku pilihkan untuk kalian ibu yang menyebabkan kalian tidak dihina orang.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam at–Tarikh al–Kabir 4/273, no. 2783)
Pembaca Qonitah yang dimuliakan Allah, tentu seorang wanita juga dituntut untuk selektif dalam mencari pasangan.
Kiat ketujuh, selain memilih calon pasangan dari kalangan orang yang memiliki komitmen terhadap agamanya, hendaknya Anda juga memerhatikan keadaan orang tua dan saudara-saudaranya. Sebab, anak-anak kita akan hidup bergaul dengan mereka. Selain itu, watak, tabiat, kecerdasan, dan banyak hal lainnya, tidak jarang menurun dengan izin Allah. Maka dari itu, perihal calon pasangan yang saleh dan salihah yang memiliki keluarga yang saleh dan salihah pula sangatlah penting. Jika kita bisa mendapatkannya, tentu hal itu lebih baik, insya Allah, setelah taufik dari-Nya.
Abu Sufyan al-Himyari menceritakan bahwa ‘Abdullah bin az-Zubair bin al-‘Awwam radhiyallahu ‘anhuma putra Asma’ bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhum, sedang berbicara, sedangkan az-Zubair ikut mendengarkan. Az-Zubair pun berkata, “Putraku, gaya bicaramu masih seperti kakekmu (yaitu Abu Bakr ash-Shiddiq). Sampai-sampai aku menyangka bahwa Abu Bakr ash-Shiddiq datang ke sini.”
Selanjutnya, az-Zubair bin al-‘Awwam pun berpetuah, “Barang siapa yang hendak menikah, hendaknya dia memerhatikan siapa ayah dan saudara calon istrinya. Sebab, seorang wanita akan melahirkan putra-putri yang tidak jauh berbeda dari ayah/ibunya atau saudara/saudarinya.”(Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam al-Isyraf fi Manazilil Asyraf 277)
Kiat kedelapan, mengajak anak-anak menemui orang-orang saleh yang berkomitmen tinggi terhadap Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, dan meminta agar mereka mendoakan anak-anak supaya mendapatkan berkah, hidayah, dan taufik-Nya, dan supaya menjadi anak-anak yang saleh dan salihah.
Para sahabat dahulu membawa anak-anak mereka kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam agar mendapatkan berkah. Demikian pula sebagian tabi’in membawa anak-anaknya ke sebagian sahabat dan meminta doa dari mereka, seperti ketika al-Hasan al-Bashri masih bayi.
Kemudian, kiat terakhir (kiat kesembilan) yang bisa saya paparkan di sini adalah memilihkan untuk anak-anak kita pengajar dan pendidik yang saleh. Selain itu, bapak dan ibu harus membentengi anak-anak dari hal-hal yang akan merusak agama mereka. Cara yang bisa ditempuh adalah menghindarkan anak-anak tersebut dari lingkungan yang jelek, pergaulan yang jelek, dan tetangga yang jelek pula.
Kami berharap agar tulisan yang sederhana ini bisa memberikan sumbangsih dalam usaha Anda menciptakan generasi saleh/salihah. Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Lihat Musnad Ahmad (3/158). Hadits hasan.
[2] Lihat Tafsir Ibnu Katsir.