Problematika Umat
Problematika Umat oleh Abu Ismail Rijal

mana lebih utama, menuntut ilmu atau kerja

5 tahun yang lalu
baca 3 menit

Mana Lebih Utama, Menuntut ilmu atau Kerja

Pertanyaan:

Lebih utama mana mencari ilmu dengan mencari maisyah (penghidupan) alias dagang?

Jawaban:

Pertanyaannya sungguh menakjubkan.
Ilmu tidak bisa dibandingkan dengan dunia dan seluruh isinya. Itulah ilmu (Al Kitab dan As Sunnah).

Tentunya kamu harus bisa membagi waktu kalau kamu memang berkewajiban mencari maisyah (penghidupan) untuk keluargamu, ilmu jangan ditinggalkan.

Kalau tanya mana yang lebih mulia ? jangan ditanyakan itu ! Sudah terlalu jelas, ilmu lebih utama.

Dalam perintah-perintah Alloh (dan itu adalah ilmu) ada kewajiban memberikan maisyah kepada keluarga. Maka jangan kamu mempertentangkan antara keduanya. Itu kalau bertentangan, Nyatanya tidak.

Kamu bisa berhenti dagang waktu ta’lim, kamu bisa meninggalkan pekerjaan ketika ada acara pengajian misalnya, dan kamu bisa nyempatkan waktu untuk mendengarkan kaset, membaca buku, sehingga jangan anggap bahwa dua perkara itu bertentangan. Sehingga harus dipilih lebih mulia mana ustadz, nyari ilmu atau maisyah? Itu kalau bertentangan.
Dua-duanya harus ! Dan yang lebih utama.. lebih utama.. lebih utama.. adalah ilmu ya.. ilmu..!

Sehingga ada seorang dari kalangan salaf yang dikisahkan oleh al-Ajury dalam Ghuroba’ minal mu’minin, seorang yang bekerja nukang cuma hari sabtu saja dengan bayaran 7 danik.

1 danik dia bisa pakai untuk makan 1 hari. Sehari bekerja, enam hari dia belajar di ulama’ sampai habis 7 danik ini dan kemudian hari ke-tujuh-nya hari sabtu ia duduk lagi ya, atau dia kerja lagi di tempat tadi. Kerja harian ya. Seperti itulah sang pemuda membagi waktunya. Yang ternyata dia adalah anak kholifah.

Berikut ini kisah yang diriwayatkan oleh Al Ajurri. Berkata dari yang mengisahkan kisah ini: “Suatu hari saya datang ke pasar kemudian saya mencari tukang-tukang untuk kerja harian, dan biasanya di pasar ada orang-orang siap untuk kerja seharian.

Tampak seorang anak muda yang kelihatan lain dari pekerja lainnya. Ya karena tholibul ‘ilmi tentunya bentuknya lain tidak seperti bentuknya tukang.

(Pemberi kerja): Kamu kerja juga?
(Pekerja): Iya.
(Pemberi kerja): Kamu minta bayar berapa?
(Pekerja): Saya minta tidak lebih dari 7 danik.
(Pemberi kerja): Cuma 7 danik?
(Pekerja): Iya.
(Pemberi kerja): Kenapa begitu?
(Pekerja): Karena saya meminta syarat. Tapi minta syarat bahwa saya dibebaskan untuk sholat jamaah setiap waktu sholat.
(Pemberi kerja): Ya.
Karena kebetulan orang ini orang yang sholeh juga. Ya cocok dia. Ini berarti tukang yang baik.

Bekerjalah sang pemuda, ternyata kerjanya rajin maka jadi langganan. Tapi setiap hari tidak ketemu dia. Sampai hari berikutnya hari sabtu yang berikutnya baru ketemu lagi.

(Pemberi kerja): Kenapa kamu tidak ada?
(Pekerja): Saya ta’lim, belajar kepada syaikh, dengan ulama’.

Jadi 7 danik itu dipakai setiap hari untuk hidup 6 hari. ketika habis kerja lagi nukang kemudian untuk hidup lagi 6 hari. Ya, yang penting bisa ngaji. Akhirnya setiap hari sabtu orang ini mencari mana anak muda itu, panggil, kerja di rumahnya. Hari sabtu panggil lagi.

Sampai ketika suatu hari orang itu ga ada. Dicari-cati tanya.. tanya.. tanya.. Ternyata didapati dalam keadaan sedang sakit. Kemudian dia berpesan karena kelihatan sakitnya parah dia berwasiat bahwa ini berikan kalau saya mati berikan ini (berlian) pada kholifah. Kemudian meninggal sang pemuda yang shalih ini.
Ketika iring-iringan kholifah lewat maka dia memanggilnya sambil menunjukkan barangnya. Maka kholifah melihat barang tersebut langsung berhenti. Dari mana kamu dapat ini? Dia ceritakan kejadian seluruhnya, maka kholifah tadi menangis.
(Pemberi kerja): Kenapa kau menangis? Karena orang ini tidak tahu siapa dia.
Maka dijawab oleh kholifah itu adalah anakku.

Ini menunjukkan betapa pentingnya ilmu. Kaum salaf itu sampai bekerja itu sekedar untuk dia bisa hidup ya. Selebihnya belajar mencari ilmu.

(Dijawab oleh Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed, dengan beberapa perubahan Sumber: salafyjakarta.info )

Oleh:
Abu Ismail Rijal