Para ulama rahimahumullah menyebutkan bahwa orang yang hilang tidak lepas dari dua kondisi.
Pertama: hilang dalam kondisi yang kemungkinan besar dia telah meninggal dunia, seperti hilang dalam peperangan, di tengah laut, di tempat yang berbahaya atau sejenisnya.
Pendapat mazhab yang kami ambil, orang tersebut ditunggu selama empat tahun, setelah itu statusnya ditetapkan sebagai orang yang telah meninggal dunia, dan berlaku padanya hukum-hukum orang yang meninggal.
Kedua: hilang dalam kondisi yang kemungkinan besar dia selamat, seperti hilang di negerinya, ketika berdagang atau sejenisnya. Pendapat mazhab yang kami ambil, dia ditunggu selama sembilan puluh tahun dari sejak kelahirannya.
Jika tidak kunjung kembali, maka statusnya ditetapkan sebagai orang yang telah meninggal, lalu diberlakukan padanya hukum-hukum orang yang telah meninggal dunia.
Mengingat orang yang disebutkan dalam pertanyaan hilang di negerinya sendiri, maka dalam kondisi tersebut kemungkinan besar dia selamat. Sehingga, status hukum bagiannya dari harta peninggalan ayahnya tetap menjadi miliknya hingga berlalu sembilan puluh tahun.
Namun jika dia tidak kembali dalam kurun waktu sembilan puluh tahun tersebut, maka dia diputuskan telah meninggal dunia dan bagian warisannya dari ayahnya masuk dalam harta peninggalannya.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.