Fatwa Ulama
Fatwa Ulama oleh al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'

tobat dari perbuatan bid’ah dan maksiat

3 tahun yang lalu
baca 3 menit
Tobat dari Perbuatan Bid’ah dan Maksiat

Pertanyaan

Jawaban

Pertama, tidak diragukan lagi bahwa syirik adalah dosa yang paling besar, bidah yang dibuat-buat adalah kejahatan yang paling buruk, dan zina adalah perbuatan maksiat dan termasuk dosa besar.

Orang yang melakukan dosa-dosa di atas wajib menyingkir, menjauhi, memohon ampun kepada Allah, dan bertobat dari kejahatan-kejahatan yang dilakukannya karena telah melampaui batas. Mudah-mudahan Allah menerima tobatnya.

Apabila dia telah bertobat dan beristigfar kepada Allah, maka kita berharap kepada-Nya untuk menerima tobat, mengampuni dosa, melindunginya di masa depan, dan menggantikan keburukan-keburukannya dengan kebaikan.

Dia juga harus banyak menyesal, bertobat, meminta ampun, dan melakukan amal-amal saleh. Karena sesungguhnya amal-amal kebaikan dapat menghapus keburukan. Dia juga tidak boleh mengikuti jalan-jalan setan, karena ia selalu memerintahkan berbuat sesuatu yang keji dan mungkar. Allah Ta`ala berfirman,

وَالَّذِينَ لاَ يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلاَ يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلاَ يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا إِلا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya). (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Furqan : 68-71)

dan Allah Ta`ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar.” (QS. An-Nur : 21)

Dia harus bersyukur atas taufik yang Allah berikan dengan dibimbing keluar dari kebingungan dan diberikan petunjuk untuk keluar dari kesesatan.

Kedua, dia harus bersungguh-sungguh mengajak keluarga dan kaumnya kepada tauhid yang benar dan membuang perbuatan-perbuatan bidah, takhayul, dan menganjurkan mereka agar berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunah, serta mengamalkannya.

Mudah-mudahan dakwah memberi manfaat untuk mereka, lalu mereka bersedia memenuhinya dan bertobat kepada Allah dari perbuatan syirik dan seluruh bidah. Dengan demikian, mereka juga menjadi kekuatan baginya dalam membantu kelancaran dakwah kepada kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha memberikan pertolongan.

Ketiga, jika realitas yang terjadi pada dirinya dulu seperti, yaitu bahwa dia memiliki jalan hidup layaknya kaum Jahiliyah sebelum Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam diutus, pernah melakukan syirik besar, dan telah menikah dengan seorang wanita di masa sesat, maka tobat itu dianggap sebagai keinginan untuk meninggalkan syirik dan perbuatan dosa, serta dinilai sebagai awal niatnya untuk memulai kehidupan baru yang islami.

Oleh karena itu, pernikahan yang diikatnya dulu saat masih dalam kesesatan itu tetap diakui, jika istrinya juga bertobat dari perbuatan syirik dan maksiat seperti suaminya.

Karena, sesungguhnya Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam mengakui pernikahan orang-orang kafir di masa Jahiliyah yang kemudian masuk Islam, beliau juga tidak menanyakan kepada mereka tentang rincian cara pernikahan dan tidak pula memperbarui akad nikah mereka.

Keturunan mereka yang lahir di masa kafir juga tetap berstatus sebagai anak mereka. Tidak ada kewajiban yang mesti dilakukan oleh lelaki tersebut dan istrinya, kecuali mereka dituntut agar menggantikan kejahatan dengan kebaikan, memperbanyak amal saleh, dan menjauhi perbuatan mungkar yang diharamkan oleh Allah.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Oleh:
al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'