Berdasarkan keterangan di atas, disebutkan bahwa orang yang meminta fatwa telah menjatuhkan talak satu di awal bulan Muharram tahun 1392 H. Lalu tatkala dia mengetahui keputusan hakim tentang ketidakabsahan pernyataan talak tertulis itu, akhirnya dia menjatuhkan talak kedua karena mengira talak pertamanya tidak jatuh. Kemudian pada tanggal 12/2/1392 H dia melakukan rujuk dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
Di samping itu, orang yang bertanya juga menyebutkan bahwa istrinya masih berada dalam masa idah saat dia merujuknya, dimana sebelumnya dia belum pernah menjatuhkan talak, demikian pula setelahnya. Berdasarkan semua keterangan di atas, maka talak yang dinilai sah adalah yang pertama, sedangkan yang kedua tidak dianggap jatuh. Karena, suami mengira bahwa talak pertamanya itu tidak sah, padahal sebenarnya itulah yang sah.
Pernyataan hakim bahwa talak melalui tulisan itu tidak sesuai syariat sejatinya tidak tertuju pada hakikat talak itu sendiri, atau pada talak yang diniatkan oleh lelaki yang mengajukannya. Keputusan hakim itu tertuju pada cara suami dalam menyampaikan talak kepada wali istrinya, sekaligus menjelaskan bahwa cara penyampaiannya itu tidak syar’i.
Artinya, talak yang kedua itu muncul lantaran suatu hal yang diperkirakan dapat terjadi ternyata berbeda dari asumsi awal. Selanjutnya, mengenai suami yang merujuk istrinya pada masa idah dan disaksikan oleh dua orang, maka itu dianggap sah tanpa harus menunggu kerelaan istri atau melaksanakan akad baru.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.