Kewajiban seorang muslim adalah mengikuti Al-Quran dan Sunnah yang telah Allah turunkan kepada Nabi-Nya. Di situ terdapat petunjuk dan cahaya. Seorang muslim juga wajib memahami makna Al-Quran dan Sunnah dengan baik, mengamalkannya serta sabar menanggung resiko dalam berpegang teguh kepada jalan Allah yang lurus seperti halnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat dahulu. Allah Jalla wa `Ala berfirman,
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’aam: 153)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. Al-A’raaf: 3)
Sebenarnya masih banyak ayat-ayat yang senada dalam hal ini. Seorang muslim juga tidak boleh menuruti pelaku bidah, tahayyul, maksiat dan dosa besar yang dijauhkan serta menyimpang dari wahyu. Inilah makna dari firman Allah Subhanahu ,
“Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku” (QS. Luqman: 15)
Maksudnya, jalan orang-orang yang beriman kepada Allah, malaikat, kitab dan Rasul-Nya serta menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Adapun maksud dari mengikuti jalan orang-orang beriman itu adalah mengikuti mereka dalam bertobat kepada Allah dengan cara menarik sanubari dan kemauan menuju Allah, lalu diiringi dengan gerakan badan di jalan yang disukai Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Dari penjelasan ini bisa dipahami bahwa mengikuti orang yang menyimpang dari jalan lurus yang telah diwahyukan, baik itu lewat akidah, ibadah atau pun tingkah laku, adalah kesesatan yang sangat jelas dan berpaling dari jalan yang lurus. Kita meminta keselamatan dan kesehatan kepada Allah untuk kita dan seluruh umat Islam. Maksud dari firman Allah Ta’ala,
“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 255)
Adalah pemberitahuan tentang keluasan ilmu Allah yang mengetahui perkara-perkara masa depan yang tidak berujung dan masa lalu. Tidak ada yang tersembunyi dari ilmu Allah. Para mahluk hanya bisa mengetahui sedikit dari ilmu Allah lewat izin-Nya. Itulah dia ilmu-ilmu tentang perkara syariat dan takdir yang merupakan bagian kecil saja dari ilmu Allah Subhanahu seperti yang pernah diucapkan oleh para rasul dan malaikat sebagai mahluk yang paling berilmu,
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (QS. Al-Baqarah: 32)
Oleh sebab itu, mengaku telah mengetahui perkara gaib yang hanya diketahui Allah itu tindakan kufur. Sebab, hal itu berarti menandingi Allah selaku satu-satunya Pencipta. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.” (QS. Al-An’aam: 59)
Allah juga berfirman,
“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah.” (QS. An-Naml: 65)
Dan firman-Nya,
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.(26) kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al-Jin: 26-27)
Semua ayat ini menunjukkan bahwa hanya Allah yang mengetahui perkara gaib selain dari para rasul yang dikecualikan-Nya, sehingga Allah mewahyukan perkara gaib yang dikehendaki-Nya kepada mereka. Allah juga menjadikan hal itu sebagai mukjizat dan bukti yang valid akan kenabian mereka. Adapun selain para Rasul yang mengaku bisa mengetahui perkara gaib, itu hanyalah bualan dan kebohongan kepada Allah. Kita berlindung kepada Allah dari hal semacam ini.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.