Seorang wanita mengeluarkan darah nifas setelah dia berihram haji qiran. Nifasnya berlangsung selama 40 hari, artinya nifasnya tidak berakhir kecuali di bulan Muharam. Dia melakukan seluruh amal haji selain tawaf dan sa`i. Setelah itu dia terpaksa kembali ke negaranya Mesir, karena kondisi jadwal bekerja suaminya yang berihram bersamanya.
Setelah habis nifas sebagian imam masjid menasehatkan agar dia memperbarui niat berihram, karena dia telah melewati miqat. Dia pun memperbarui ihramnya dan pergi ke Mekah untuk melakukan tawaf dan sa`i untuk haji dan umrah, kemudian melakukan tawaf ifadah. Itu dilakukannya pada bulan Muharam. Apakah hajinya tersebut sah atau apakah dia dikenakan kewajiban?
Seorang wanita juga melakukan hal yang serupa, namun dia pergi ke Jizan tempat tinggalnya. Nifasnya berakhir di bulan Dzulhijjah. Dia melakukan tawaf, sa`i, dan juga tawaf ifadah pada bulan Dzulhijjah. Kondisi-kondisi lain yang terjadi pada wanita pertama juga dialami oleh wanita kedua. Apakah ibadah hajinya sah atau adakah dia dikenakan kewajiban?
Apabila tawaf dan sa`i haji yang dilakukan oleh kedua wanita tersebut setelah suci dari nifas dan mereka tidak digauli (jimak) oleh suami mereka maka tawaf mereka sah dan mereka tidak dikenakan kewajiban apa pun. Dan apabila terjadi hubungan intim sebelum tawaf maka dia wajib membayar kafarat, yaitu satu ekor kambing yang cukup umur untuk hewan kurban yang disembelih di Mekah dan dibagikan kepada para fakir miskin di Tanah Suci.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.