Fatwa Ulama
Fatwa Ulama oleh al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'

seorang suami mengucapkan kata talak tiga kali dengan maksud memahamkan dan menguatkan bukan bermaksud talak tiga

2 tahun yang lalu
baca 2 menit
Seorang Suami Mengucapkan Kata Talak Tiga Kali Dengan Maksud Memahamkan Dan Menguatkan Bukan Bermaksud Talak Tiga

Pertanyaan

Seorang suami menceraikan istrinya dengan talak satu di bulan Sya'ban. Sang istri pun pergi ke rumah saudaranya. Setelah dua hari istri tadi kembali lagi ke rumah suaminya. Dia kemudian sepakat dengan istrinya untuk tinggal bersamanya dan rujuk kepadanya tanpa ada saksi yang menghadiri proses rujuknya itu semata-mata karena ketidaktahuannya. Istrinya pun tinggal bersamanya dan lelaki itu menikmati kebersamaan dengannya seperti biasanya sebelum terjadi perceraian. Pada tanggal 12-3-1394 H, mereka berdua terlibat pertengkaran dan perdebatan yang menyebabkan sang suami marah besar lalu berkata kepada istrinya "kamu kuceraikan, kamu kuceraikan, kamu kuceraikan". Dia mengulangi kalimat "kamu kuceraikan" lebih dari sekali. Dengan mengulang kalimat itu, dia tidak bermaksud bilangan (tidak bermaksud mengucapkan talak yang kedua dan ketiga, ed) tapi tujuannya hanya untuk menguatkan dan memberi pemahaman. Dia bertanya sebagaimana cerita di atas apakah sang suami ini memilki hak untuk rujuk kembali?

Jawaban

Jika benar demikian kenyataan yang diceritakan bahwa dia menceraikan istrinya pada bulan Sya’ban lalu dia tetap tinggal bersama istrinya di rumahnya setelah peristiwa talak sekitar dua hari setelahnya dengan niat rujuk, maka wanita itupun kembali menjadi istrinya dan keduanya kembali menjalankan kehidupan suami istri meskipun tidak ada yang menjadi saksi rujuknya, jika talak ini bukan akhir talak ketiga, maka hubungan antara lelaki itu dengan istrinya setelah terjadinya perceraian dan di antara bentuk hubungannya itu adalah bersetubuh, dan wanita tadi masih dalam masa idah maka hal itu dianggap rujuk.

Dalam kitab Al-Muqni` disebutkan, “Rujuk bisa terjadi ketika suami menyetubuhi istrinya baik dia niatkan rujuk maupun tidak”. Pengarang kitab mengatakan dalam catatan pinggirnya, “Mazhab ini mutlak”. Mayoritas sahabat berpendapat serupa, dan juga pendapat Said bin al-Musayyab, al-Hasan, Ibnu Sirin, `Atha’, Thawus, az- Zuhri, ats-Tsauri, al-Awza`i, Ibnu Abu Laila dan para ahli ilmu. Diriwayatkan juga bahwa rujuk tidak serta merta terjadi hanya dengan suami menyetubuhi mantan istrinya jika tidak disertai niat rujuk.

Pendapat ini yang dipilih oleh Syekh Taqiyuddin, juga merupakan pendapat Malik dan Ishaq. Demikian kutipan dari kitab Al-Muqni`. Ketiadaan saksi ketika rujuk tidaklah menjadi syarat sahnya rujuk, karena menurut satu mazhab bahwa keberadaan saksi tidaklah wajib dalam rujuk. Dalam kitab Al-Muqni` dikatakan, “Apakah disyaratkan saksi dalam rujuk?” Ada dua riwayat dalam hasyiyah (catatan pinggir) dikatakan, yang pertama: tidak disyaratkan, dan ini adalah pendapat mazhab, hal itu dinyatakan dalam riwayat Ibnu Manshur dan merupakan pendapat mayoritas sahabat.

Itu merupakan pendapat Malik dan Abu Hanifah karena rujuk tidak membutuhkan qabul, maka ia tidak butuh saksi sebagaimana hak-hak pernikahan lainnya. Semua yang tidak mengharuskan adanya wali maka tidak juga mengharuskan adanya saksi seperti jual beli. Pensyarah Al-Muqni` berkata, “Pendapat ini lebih utama insya Allah”. Demikian kutipan dari kitab al-Muqni`.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa lelaki tadi menceraikan istrinya pada tanggal 13/3/1394 H, dengan ucapannya, “kamu kuceraikan, kamu kuceraikan, kamu kuceraikan”, dengan mengulang ucapannya itu lebih dari sekali dengan niat menguatkan dan memahamkan, maka talak ini dianggap talak lain. Jika talak ini bukan talak tiga yang terakhir, maka dia masih boleh merujuk istrinya selama dalam masa idah. Jika dia merujuk istrinya, dia wajib melakukan akad nikah baru dan istrinya tetap dalam hitungan talak satu.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.