a. Seorang muslim yang ingin mengetahui hukum suatu masalah harus melihat seluruhteks al-Quran dan as-Sunnah –serta dalil-dalil syariat lain yang mengikutinya–yang berkaitan dengan masalah ini. Ini adalah jalan paling lurus dan lebih memberikan petunjuk kepada kebenaran. Tidak boleh mengkaji dalil-dalil ini secara terbatas dari satu sisi saja tanpa sisi yang lain.
Jika tidak maka cara pandangannya akan menjadi kurang serta serupa dengan para pengikut kesesatan dan hawa nafsu yang mengikuti teks-teks yang mutasyabihat (tidak jelas) karena menginginkan terjadinya fitnah dan mencari-cari takwilnya sesuai hawa nafsu. Dalam masalah seperti ini maka ia harus melihat teks-teks al-Quran dan as-Sunnah mengenai kewajiban seorang perempuan untuk menutup auratnya dan keharaman melakukan penglihatan khianat.
Begitu pula, harus melihat maqashid syariah (tujuan-tujuan umum syariah) dalam kewajiban menjaga kehormatan dan nasab serta keharaman merusak dan melanggarnya, serta jalan-jalan yang membawa kepada keharaman itu, seperti berkhalwatnya seorang perempuan dengan selain suami atau mahramnya, membuka auratnya, melakukan perjalanan tanpa ditemani mahram, bercampur dengan para lelaki, masuknya laki-laki kepada laki-laki atau perempuan kepada perempuan dalam satu pakaian, dan lain sebagainya dari hal-hal yang dapat berakhir pada terjadinya tindakan kejahatan yang nista.
Jika telah melihat semua yang disebutkan tersebut maka kita harus mengartikan kisah yang disebutkan dalam hadis Sahl mengenai isteri Abu Usaid yang menyiapkan makanan dan minuman untuk para tamunya lalu menghidangkannya kepada mereka, bahwa ia dalam keadaan menutup aurat, aman dari godaan dan tidak terjadi khalwat ataupun ikhtilat (bercampurnya lelaki dan perempuan). Yang ia lakukan hanyalah sekedar menyiapkan minuman dan menghidangkannya kepada para tamu suaminya tanpa duduk bersama mereka. Dalam hadis itu tidak ada sesuatu yang menunjukkan bahwa ia duduk bersama mereka sebagaimana disebutkan dalam pertanyaan.
b. Berdasarkan atas apa yang disebutkan dalam jawaban bagian pertama maka hal yang sama juga dinyatakan dalam hadis,
“Janganlah sekali-kali seorang lelaki sesudah hariku ini masuk kepada seorang wanita yang tidak ada suaminya melainkan bersama satu atau dua orang lelaki.”
Yaitu bahwa hadis ini diartikan dengan adanya alasan-alasan untuk masuk kepada perempuan tersebut yang suaminya atau mahramnya tidak ada di rumah. Dengan syarat adanya keamanan dari terjadinya godaan dan jauh dari kesepakatan untuk melakukan tindakan nista (zina). Bukan dibolehkan secara mutlak.
Ini bukan bentuk penakwilan dengan akal tetapi berdasarkan pada tujuan syariat yang dipahami dari keseluruhan dalil-dalil tentang menjaga kemaluan dan nasab, keharaman merusak kehormatan dan larangan sarana-sarana yang mengakibatkannya. Di antara dalil tersebut adalah hadis yang disebutkan dalam bagian ini di mana disyaratkan dalam kebolehan masuk kepada perempuan adanya keadaan yang menafikan khalwat guna menjauhkan dari tuduhan (prasangka buruk) dan memastikan adanya keamanan dari godaan.
c. Tidak ada halangan secara syariat bagi seorang perempuan untuk mengajar, memberi ceramah dan berfatwa tetapi harus menjaga pakaian yang sesuai syariat serta aman dari fitnah dan ikhtilat seperti yang dilakukan oleh Aisyah dan ummahatul mukminin lainnya serta para sahabiyat yang lain. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala mengenai para ummahatul mukminin tersebut
“Dan ingatlah ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu) yang dibacakan di rumahmu.” (QS. Al-Ahzab: 34)
Kaum perempuan juga dibolehkan untuk keluar berjihad bersama para mujahid guna memberikan pelayanan bagi mereka, seperti memberi minum, mengobati dan merawat yang terluka, dan lain sebagainya. Tapi dengan syarat perginya mereka itu ditemani oleh suami atau mahram demi menjaga kemaslahatan dan kehormatan mereka.
Itulah yang terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan seperti yang dilakukan oleh negara-negara kafir yang membolehkan mereka keluar tanpa suami atau mahram dengan tujuan memberikan kenyamanan nista bagi pasukan, atau guna menjadikan mereka tentara atau melakukan pertempuran secara langsung, sementara dalam Islam mereka telah dibebaskan dari mengangkat senjata.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.