Fatwa Ulama
Fatwa Ulama oleh al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'

puasa lima belas hari, lalu keluar darah yang bukan darah haid

2 tahun yang lalu
baca 2 menit
Puasa Lima Belas Hari, Lalu Keluar Darah Yang Bukan Darah Haid

Pertanyaan

Istri saya sedang hamil bulan kedua saat Ramadan tiba. Setelah puasa lima belas hari muncul darah yang bukan darah haid. Ini berlangsung selama tujuh hari. Namun, istri saya tetap meneruskan shalat dan puasa. Setelah itu kandungannya keguguran dan dia pun tidak puasa di sisa bulan Ramadan. Apakah puasanya sebelum keguguran itu sah sekalipun keluar darah, ataukah dia harus mengqada? Berilah kami fatwa. Semoga Anda semua diberikan ganjaran pahala.

Jawaban

Darah yang keluar dari wanita hamil tersebut adalah darah kotor, tidak dianggap sebagai haid. Istri Anda telah berlaku benar dengan terus berpuasa dan shalat. Puasa dan salatnya sebelum keguguran itu sah dan tidak ada kewajiban mengqada. Terkait hukum setelah keguguran, ada perbedaan hukum menurut perbedaan waktu keguguran itu terjadi berdasarkan salah satu dari empat fase kehamilan sebagai berikut:

Pertama, apabila keguguran kandungan ini terjadi pada dua fase awal, yaitu: fase an-nuthfah (air mani) yang terbentuk dari sperma dan ovum, pada empat puluh hari pertama sejak air sperma menempel pada rahim, dan fase al-`alaqah (segumpal darah) yaitu fase perubahan air mani menjadi darah beku pada empat puluh hari kedua hingga genap delapan puluh hari, maka pada kondisi ini, keguguran air mani atau segumpal darah tidak memiliki konsekuensi hukum. Tidak ada perbedaan (di antara para ulama). Wanita tetap wajib berpuasa dan salat seakan-akan tidak terjadi keguguran.

Kedua, apabila keguguran kandungan pada fase ketiga, fase al-mudhghah, yaitu segumpal daging dalam fase ini sudah mulai nampak anggota tubuh, potret, bentuk, dan rupanya pada usia empat puluh hari yang ketiga, mulai dari hari kedelapan puluh satu hingga genap hari keseratus dua puluh, maka ada dua kondisi:

1. Segumpal daging ini belum menampakkan bentuk manusia, baik secara jelas maupun samar, atau tidak ada keterangan resmi yang menganggap janin bentuk awal manusia, maka hukum keguguran segumpal daging ini seperti dua fase awal, tidak ada konsekuensi hukumnya.

2. Segumpal daging ini telah menunjukkan kesempurnaan rupa manusia, atau menampakkan gambaran konkrit dari penciptaan manusia, berupa tangan, kaki, dan lain-lain, atau secara samar, atau keterangan resmi yang menganggapnya sebagai bentuk manusia, maka hukum keguguran segumpal darah ini adalah nifas dan iddah melahirkan.

Ketiga, apabila keguguran kandungan terjadi pada fase keempat, yakni setelah peniupan ruh, sejak awal bulan kelima dari seratus dua puluh satu hari usia kandungan dan seterusnya maka pada fase ini ada dua kondisi:

1. Bayi lahir tidak menangis. Hukumnya berlaku seperti kondisi kedua dari fase segumpal daging di atas. Berlaku pula tambahan konsekuensi hukum seperti memandikan, mengafani, menyalati, memberi nama, dan melaksanakan akikah untuknya.

2. Bayi lahir menangis. Hukumnya sama seperti bayi normal. Semua yang ada pada poin pertama berlaku, ditambah hukum wasiat dan warisan. Artinya, dia dapat mewarisi, diwarisi, dan lain-lain.
Wallahu A`lam.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Oleh:
al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'