Fatwa Ulama
Fatwa Ulama oleh al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'

pihak yang paling berhak mengasuh anak kecil jika ayahnya kafir

2 tahun yang lalu
baca 1 menit
Pihak Yang Paling Berhak Mengasuh Anak Kecil Jika Ayahnya Kafir

Pertanyaan

Saya adalah seorang muslimah dari Swedia. Saya ingin menceritakan kepada Anda masalah sulit yang sedang saya hadapi. Sebelum masuk Islam, saya pernah menikah dengan seorang lelaki non-Muslim. Kami dikaruniai seorang anak lelaki yang saya beri nama Musthafa. Kemudian, kami bercerai. Namun, ayah Musthafa ingin mendapatkan hak asuhnya. Saya khawatir dia akan menggunakan isu agama untuk kepentingannya. Akhirnya, saya mengusulkan agar saya dan ayah Musthafa membuat kesepakatan bersama tanpa campur tangan pemerintah. Isi kesepakatan tersebut sebagai berikut: 1. Ayah Musthafa memiliki hak untuk bertemu dengan anaknya pada waktu tertentu setiap tahunnya. 2. Ayah Musthafa harus menghormati ajaran-ajaran Islam dan tidak menentang perintah ibu Musthafa berkaitan dengan makanan dan minuman. Berikut ini akan saya paparkan masalah yang terjadi kepada Anda. Izinkan saya bercerita dari awal sehingga Anda dapat memahami masalah yang saya hadapi dengan baik. Ketika saya memutuskan memeluk Islam, ibu saya tidak rela. Dia tetap berharap saya dapat melupakannya setelah beberapa waktu. Namun, beberapa bulan kemudian, saya menikah dengan seorang Muslim yang taat. Akibatnya, ibu menjadi histeris lalu menculik Musthafa dan menelpon ayahnya. Dia juga menghubungi polisi dan keamanan sosial, lalu melaporkan berbagai berita bohong tentang saya dan suami saya. Dia menyewa seorang pengacara dan berusaha mengusir kami dari apartemen yang kami tempati. Dia menulis surat kepada pengacara ayah Musthafa dan mengatakan berbagai kebohongan. Dia memberikan kesan bahwa bagaimananpun saya tidak mampu mengurus Musthafa. Bahkan, dia mengatakan saya telah gila. Di Swedia, sebenarnya seseorang memiliki kebebasan untuk memeluk agama yang dikehendaki, tapi sudah lumrah bahwa undang-undang tidak akan berpihak kepada seorang Muslim. Oleh karenanya, saya takut akan kehilangan Musthafa. Ketika saya membuat kesepakatan dengan ayah Musthafa, tidak ada niat dalam hati saya untuk membolehkannya bertemu dengan Musthafa sama sekali. Saya dulu punya niat untuk pergi dari negeri ini secepatnya sehingga dapat terlepas dari semua masalah ini. Namun sayangnya, suami saya belum mendapatkan izin tinggal. Ini berarti bahwa dia belum dapat memiliki paspor Swedia. Oleh karena itu, kami tidak dapat pergi ke negara mana pun. Dengan kerja sama antara ayah, ibu serta ayah Musthafa, mereka membantunya dengan uang dan berbagai jenis asuransi. Mereka melakukan berbagai hal untuk menentang saya dan Islam. Saya tahu bahwa tujuan mereka adalah menjauhkan Musthafa dari Islam sebagaimana yang pernah mereka lakukan terhadap saya sebelumnya. Mereka melakukan banyak hal untuk menentang saya dan keluarga saya yang tidak mungkin saya tuliskan dalam surat ini. Sekarang, saya ingin menanyakan beberapa hal kepada Anda: 1. Apakah saya boleh melanggar kesepakatan yang telah saya buat karena takut dengan ayah Musthafa dan agar Musthafa dalam keadaan aman? 2. Apakah saya boleh melarang Musthafa bertemu ayahnya? 3. Apakah saya boleh mengirim Musthafa ke negeri lain? 4. Apakah dalam keadaan ini saya boleh melakukan perjalanan sendiri ataukah saya harus pergi dengan mahram? 5. Apakah ibu dan ayah saya memiliki hak syar’i untuk bertemu cucu mereka, meskipun mereka adalah non-Muslim dan membenci Islam? 6. Apakah saya harus mengunjungi ibu saya meskipun dia membenci saya? Saya sangat khawatir dengan keadaan Musthafa. Kadang terjadi pertentangan batin dalam dirinya. Sejak dua bulan lalu, dia mulai belajar di sekolah Islam di Malmo. Setiap hari dia pergi ke sekolah dan belajar membaca Alquran. Dia suka sekolah dan teman-temannya di sana. Meskipun dia orang Swedia tetapi bahasa Arabnya lebih bagus dari anak-anak Arab. Dia juga telah menghapal beberapa surat Alquran. Alhamdulillah, dia sangat cerdas. Namun demikian, perasaan khawatir selalu mengikuti saya karena saya takut ayahnya mempengaruhinya untuk menjauhi jalan yang benar. Ayahnya memiliki sifat yang buruk. Saya tahu bahwa dia berbohong ketika mengatakan menghormati agama saya. Keadaan kami ini sangat buruk bagi seorang anak yang masih kecil. Saya adalah seorang perempuan yang telah dewasa, logis, cukup kokoh untuk tetap berada dalam agama ini, serta mampu menjaga diri saya. Namun, anak yang masih kecil tidak dapat menjaga dirinya sendiri. Oleh karena itu, dalam mendidik secara Islami, mungkinkan diterima akal atau boleh jika Musthafa di satu waktu melihat ibunya salat dan membaca Alquran, namun di waktu lain melihat ayahnya melakukan ritual kekafiran. Jika begitu Musthafa akan bingung, tidak mengetahui mana yang benar dan yang salah. Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menjawab surat ini secepatnya. Saya ingin melakukan apa pun yang dapat saya lakukan demi masa depan Musthafa, agar dia terus menjadi seorang muslim yang taat, Insya Allah. Namun, pertanyaan saya yang paling inti dan perlu mendapat perhatian adalah: apakah dalam syariat Islam saya diperbolehkan menjauhkan Musthafa dari ayahnya yang non muslim (kafir)?

Jawaban

Anda lebih berhak atas anak Anda, Musthafa, selama ayahnya adalah kafir dan Anda seorang muslimah. Musthafa pun dihukumi sebagai Muslim dengan diikutkan pada Anda, karena orang kafir tidak memiliki kekuasaan atas orang muslim. Hal ini berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam kitab-Nya yang mulia, surah An-Nisa’,

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 141)

Dan firman-Nya,

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71)

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Oleh:
al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'