Seorang da’i menyampaikan dalil yang berbeda berdasarkan perbedaan kondisi orang yang bertanya dan orang yang berdebat dengannya. Bisa jadi orang tersebut menerima dasar permasalahan, mengakui hal-hal yang harus dia amalkan dan dia kerjakan dengan komitmen.
Seorang da’i tidak perlu menyibukkan diri dengan berdalil dan berargumentasi tentang penetapan dasar permasalahan tersebut. Pengakuan si penanya atau lawan bicara tentang dasar permasalahan tidak perlu argumentasi, akan tetapi perhatiannya lebih diarahkan kepada penjelasan tentang konsekuensi dari dasar tersebut, yakni penetapan pendapatnya yang tidak diterima oleh lawan bicara, supaya dia dapat mengajak lawan bicara untuk menyetujui, meyakini dan mengamalkan pendapatnya.
Di antara hal yang demikian adalah argumentasi para rasul `alaihim ash-shalatu wa as-sallam dengan tauhid rububiyah yang diterima oleh kaum musyrikin terhadap tauhid uluhiyah yang mereka tolak.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan petunjuk mengenai hal ini di banyak ayat dalam Alquran, yaitu dalil naqli sekaligus dalil aqli (rasional). Di antaranya argumentasi seorang Muslim terhadap Muslim dengan firman-Nya Ta’ala
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr : 9)
Mengenai terpeliharanya Alquran serta terjaganya teks dan lafal Alquran dari perubahan dan penggantian.
Begitu juga tentang kondisi Alquran yang tetap dalam kondisi sebagaimana diturunkan; supaya menjadi argumentasi di hadapan hamba-Nya hingga hari kiamat.
Ini adalah dalil naqli yang menjadi argumentasi terhadap orang yang meyakini bahwa Alquran tidak berubah hingga waktu perdebatan, tetapi dia tidak menerima keberlangsungan terpeliharanya Alquran di masa yang akan datang.
Bisa jadi si penanya ragu tentang dasar permasalahan yang dia tanyakan dan meminta dalil tentang dasar tersebut atau dia mengingkarinya, hingga apabila argumentasi dasar itu terbukti, maka dia akan menerima masalah yang dia tanyakan atau masalah yang dia ingkari.
Untuk menetapkan dasar permasalahan ini seorang da’i terpaksa harus berdalil dengan dalil aqli, seperti orang yang mendebat Ibrahim ‘alaihi as-salam tentang Tuhannya. Untuk menetapkan bahwa Allah adalah Tuhan, Ibrahim ‘alaihi as-salam berdalil bahwa Allah menghidupkan dan mematikan.
Dalam debatnya, orang kafir menempuh cara berkilah dan mengklaim bahwa dirinya bisa menghidupkan dan mematikan. Dia bermaksud dengan dalil itu tidak seperti apa yang diinginkan Ibrahim ‘alaihi as-salam.
Lalu Ibrahim ‘alaihi as-salam menyampaikan dalil ketuhanan yang lain dengan cara di mana orang kafir tidak bisa berkilah dan melakukan penipuan. Allah Ta’ala berfirman
“Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah : 258)
Contoh yang lain adalah Fir’aun. Dia berkata kepada kaumnya “Saya adalah tuhanmu yang paling tinggi.” Allah berfirman (menceritakan Fir’aun)
“Aku (Fir`aun) tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (QS. Al-Qashash : 38)
Allah juga berfirman
“Fir`aun berkata): “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu(36) (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”.” (QS. Ghafir : 36-37)
Di beberapa ayat dalam surart as-Syu’ara, Allah menyebutkan bantahan Fir`aun kepada Musa tentang Tuhannya dan penolakan Fir’aun terhadap Musa karena dia menjadikan tuhan selain dirinya, serta bantahan Musa terhadap sikap Fir’aun tersebut. (Allah) Ta’ala berfirman
” Fir’aun bertanya: “Siapa Tuhan semesta alam itu?”(23) Musa menjawab: “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya. (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya”.(24) Fir`aun berkata kepada orang-orang sekelilingnya: “Apakah kamu tidak mendengarkan?”(25) Musa berkata (pula): “Tuhanmu dan Tuhan nenek-nenek moyangmu yang dahulu”.(26) Fir’aun berkata: “Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepadamu sekalian benar-benar orang gila”.(27) Musa berkata: “Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya. (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal”.(28) Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikanmu salah seorang yang dipenjarakan”.” (QS. Asy-Syu’araa’ : 23-29)
Ini adalah dalil aqli. Dalam hal ini Musa berargumen dengan peninggalan terhadap yang memberikan peninggalan dan dengan ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda kebesaran Allah di alam) terhadap yang menciptakannya.
Tidak diragukan bahwa tanda-tanda itu secara rasional menunjukkan bahwa Allah adalah Tuhan satu-satunya. Hal ini juga mengharuskan bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah.
Begitu juga orang yang mengingkari kenabian. Untuk menetapkan kenabian, kepada mereka disampaikan dalil berupa mukjizat dan hal-hal yang luar biasa, sebagaimana sunnah Allah pada para rasul ‘alaihim as-shalatu wa as-salam.
Allah menguatkan mereka dengan mukjizat yang membuktikan kejujuran mereka dalam mengumumkan kerasulan. Mukjizat itu menjadi argumen mereka di hadapan umatnya.
Dalam hal seperti itu, tidak tepat jika berdalil dengan dalil naqli semata, seperti dengan firman-Nya Ta’ala
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa”.” (QS. Al-Ikhlash : 1)
Ketika menetapkan ketauhidan. Dan juga firman-Nya
“Dan Kami tidak mengutusmu ( Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan” (QS. Saba’ : 28)
dalam menetapkan kerasulan. Untuk orang yang mengingkari terpeliharanya Alquran sepanjang masa, semenjak diturunkan hingga waktu perdebatan, tidak cukup baginya berdalil dengan firman Allah Ta’ala
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr : 9)
bahkan penetapan dengan cara demikian mustahil, karena hal itu menyebabkan terjadinya daur (siklus sebab akibat) yang saling mendahului dan tasalsul (rentetan rantai tak berujung) yang tidak mungkin.
Karena itu berdalil untuk masalah ini hanya bisa dengan dalil aqli semata atau dengan dalil naqli yang mengandung dalil aqli, seperti ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh Ibrahim ‘alaihi as-salam terhadap orang yang mendebatnya tentang Tuhannya.
Begitu juga ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh Musa terhadap Fir`aun, dan banyak ayat Alquran lain yang dijadikan dalil untuk menetapkan hari kiamat dan hari berbangkit, bahkan menetapkan terpeliharanya Alquran hingga hari ini dengan penukilannya secara mutawatir dan dengan kondisinya sebagai mukjizat yang kekal sampai hari kiamat. Berikut penjelasannya:
Adapun tentang penjelasan kondisi Alquran telah ditulis dengan benar semenjak diturunkan dan dinukilkan secara mutawatir yang menghasilkan kepastian dan keyakinan, maka sesungguhnya Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki penulis yang menuliskan wahyu dan hal lain.
Apabila ada surat, beberapa ayat, satu ayat atau sebagian ayat diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau mendiktekannya kepada salah seorang penulis.
Penulis wahyu kemudian menulisnya di tempat yang terjangkau seperti pelapah korma, batu tipis, tulang dan lain sebagainya. hal itu berlanjut hingga Allah menyempurnakan agama-Nya, dan melengkapi nikmat-Nya untuk umat Islam.
Namun demikian, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap membaca yang diturunkan kepada beliau dari tempat-tempat penulisan tersebut, secara hati-hati, dengan pemahaman dan dengan mempelajarinya di dalam atau di luar shalat.
Jibril ‘alaihi ash-shalatu wa as-salam turun kepada Nabi ‘Alaihi ash-Shalatu wa as-Salam, kemudian mengajarkan Alquran kepada beliau di bulan Ramadhan. Hal itu berlanjut hingga Allah mewafatkan beliau. Selain itu beliau juga bersifat maksum dalam penyampaian dan menetapkan syariat.
Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca apa yang diturunkan dari Alquran dan mempelajarinya sesama mereka. Hampir tidak pernah mereka selesai membaca surah dan ayat (Alquran) serta mempelajarinya, melainkan mereka sudah menghafalnya, memahami dan mengamalkannya.
Dengan demikian mereka menggabungkan antara hafalan, ilmu dan amal. Orang yang membaca buku-buku hadits dan sirah dapat mengetahui hal demikian.
Begitu juga orang yang mengetahui hadits dan atsar yang terkandung di dalamnya, memiliki pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berserta para sahabatnya radhiallahu ‘anhum, dan mengetahui sejauh mana perhatian mereka dalam menjaga agama secara umum, khususnya orang yang menghafal Alquran.
Sekelompok sahabat radhiyallahu ‘anhum terkenal sebagai penghafal Alquran. Di antaranya adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin `Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka`b, Mu`adz bin Jabal, Sa`id bin al-`Ash, Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas`ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin az-Zubair dan Abu Zaid al-Anshari radhiyallahu `anhum.
Ketika terjadi perang Yamamah dan banyak para qari dari pasukan Muslimin yang terbunuh, disebabkan semangat mereka yang tinggi untuk berperang dan sikap saling memberikan motivasi antar mereka dengan mengatakan “Wahai ahlu Alquran” untuk memembangkitkan kesadaran dan semangat mereka terhadap agama Islam, hingga mereka saling berlomba dalam perperangan untuk menolong agama Allah, ketika hal itu terjadi para sahabat radhiyallahu ‘anhum sepakat untuk mengumpulkan Alquran dari tempat-tempat penulisannya dan dari hafalan para penghafal yang dipercaya.
Hal itu terlaksana dengan cara yang paling sempurna dan rapi. Naskah Alquran yang dikumpulkan dipegang oleh Abu Bakar khalifah Rasulullah sampai beliau wafat, kemudian dipegang oleh Umar di masa khilafahnya sampai beliau radhiyallahu ‘anhu wafat, kemudian dipegang oleh anaknya Hafshah Ummul Mukminin radhiyallahu `anha.
Sebagaimana yang diketahui bahwa Alquran diturunkan dalam tujuh huruf, yakni bahasa. Setiap kelompok dari sahabat membaca dengan salah satu dari tujuh huruf tersebut. Ketika Usman radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah, beliau mendapatkan usulan agar Alquran dikumpulkan dalam salah satu dari tujuh huruf tersebut, karena dikhawatirkan terjadinya perbedaan dengan beragamnya huruf yang ada.
Kemudian beliau radhiyallahu ‘anhu memerintahkan hal demikian. Maka terlaksanalah penulisan Alquran dalam satu huruf oleh para penghafal yang dipercaya. Kemudian (hasilnya) dibandingkan dengan naskah yang ada di tangan Hafshah radhiyallahu `anha.
Hasilnya sama. Lalu naskah itu diperbanyak menjadi beberapa naskah yang kemudian dikirim ke beberapa ibu kota pemerintahan Islam, setelah dibacakan kepada para sahabat di hadapan Usman radhiyallahu ‘anhu.
Kemudian mereka menetapkannya dan beliau memegang naskah asli di Madinah Munawwarah. Mushaf-mushaf ini kemudian menjadi pegangan bagi para sahabat. Dipastikan dengan penuh keyakinan bahwa hasil yang dikumpulkan tersebut adalah Alquran yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Mushaf itu yang dipakai hingga masa kita sekarang. Setiap generasi meriwayatkannya dari generasi sebelumnya secara tertulis atau pun hafalan.
Jumlah orang yang menulis dan menghafalnya pada setiap satu generasi mencapai jumlah di atas batas mutawatir yang tidak meninggalkan celah sedikit pun untuk sangsi atau ragu, bahwa yang sampai kepada kita (sekarang) adalah apa yang pertama kali dikumpulkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian kedua oleh Usman radhiyallahu ‘anhuma.
Keyakinan dalam masalah ini sama dengan keyakinan terhadap berita tentang keberadaan kota-kota terkenal. Seandainya ijmak sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa apa yang dikumpulkan dalam mushaf pada masa khilafah Abu Bakar dan pada masa khilafah Usman radhiyallahu ‘anhuma adalah Alquran yang diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seandainya hal itu tidak memberikan berita yang pasti, maka tidak akan ada yang memberikan berita yang pasti selain segala yang bersifat inderawi.
Seandainya berita tentang terjaganya Alquran melalui hafalan dan tulisan para qari Muslimin serta dengan susunan yang rapi dan akurat pada setiap generasi, tidak memberikan berita yang pasti, maka tidak akan ada (di dunia ini) berita yang pasti.
Di saat perhatian kaum Muslimin terhadap agama berkurang seperti saat ini, seandainya seseorang ingin mengumpulkan Alquran dari mulut para qari dan para penghafal Alquran tanpa mengacu kepada apa yang tertulis dalam manuskrip atau yang dicetak dan direkam dalam kaset, maka dengan mudah dia dapat mengumpulkannya.
Apalagi pada masa-masa keemasan Islam di mana perhatian terhadap agama, dasar dan cabangnya pada masa itu sampai kepada tujuan akhir dan batas paling ujung dalam kebangkitannya di seluruh lini dan sisi.
Kenyataan adalah bukti paling jelas dan saksi paling jujur tentang terjaganya teks-teks Alquran sepanjang masa dari semenjak ia diturunkan hingga zaman kita sekarang.
Adapun bukti terjaganya Alquran sebagai mukjizat yang abadi sepanjang masa hingga hari kiamat, maka segala sesuatu yang menjadi mukjizat dan dalil terhadap kenabian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu Alquran diturunkan kepadanya, semua itu masih berlaku.
Alquran masih menantang dunia untuk mendatangkan yang sama dengannya dari sisi kefasihan, balaghah, kekuatan uslub, hukum-hukum syariat dan kelayakannya untuk memajukan bangsa-bangsa, dengan tingkatan dan kondisinya yang beragam pada setiap masa dan tempat.
Begitu juga dari sisi cerita yang benar tentang umat terdahulu dan berita gaib di masa lalu dan di masa yang akan datang. Belum ada seorang pun yang mampu mendatangkan semisal Alquran hingga masa kita sekarang, meskipun masa turunnya wahyu sudah lama dan telah berlalu selama lebih dari tiga belas abad.
Padahal musuh Islam dan kaum Muslimin jumlahnya banyak, mereka melakukan makar serta tipu daya yang sangat keji, berusaha dengan gigih untuk menghabiskan agama ini, ilmu pengetahuan alam dan wawasan orang zaman sekarang semakin maju.
Akan tetapi Allah akan tetap menjaga agama-Nya dan meninggikan kalimat-Nya, serta menakdirkan Alquran dan Sunah untuk tetap eksis, supaya hal demikian menjadi hujah bagi sekalian manusia.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.