Fatwa Ulama
Fatwa Ulama oleh al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'

pengertian bid’ah

2 tahun yang lalu
baca 4 menit
Pengertian Bid’ah

Pertanyaan

Apa pengertian bid'ah itu? Kami mohon diberi penjelasan. Ada orang-orang yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak ada di zaman Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya adalah bid'ah. Lantas apa jawaban kita kepada mereka?

Jawaban

Secara bahasa bid’ah diambil dari kata (bida’) yang berarti menciptakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya. Allah Ta’ala berfirman,

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ

“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al-Baqarah: 117)

Yakni pencipta keduanya secara sempurna tanpa ada contoh sebelumnya. Allah Ta`ala juga berfirman,

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ

“Katakanlah: Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” (QS. Al-Ahqaf: 9)

Yakni aku bukanlah rasul pertama yang diutus dengan membawa wahyu dan syariat dari Allah Ta’ala, melainkan Allah Ta’ala telah mengutus para rasul sebelumku dengan membawa kabar gembira dan peringatan bagi manusia, dan dakwah saya sejalan dengan dakwah mereka. Bid’ah ada dua bagian:

Pertama: Bid’ah dalam adat-istiadat, seperti menciptakan peralatan modern. Bid’ah semacam ini hukumnya mubah (boleh) karena hukum asal dalam adat adalah mubah.

Kedua: Bid’ah dalam agama. Bid’an ini hukumnya haram karena hukum asal dalam agama adalah tauqif (perintah langsung dari syariat) yang tidak bisa diambil kecuali dari Allah Ta’ala atau dari Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Bid’ah dalam agama ada dua macam:

Pertama: Bid’ah aqidah, seperti bid’ah kelompok-kelompok sesat semisal Jahmiyyah dan Muktazilah

Kedua: Bid’ah ibadah. Bid’ah ini banyak macamnya, seperti seseorang mensyariatkan ibadah yang tidak disyariatkan oleh Allah Ta’ala atau ibadah tersebut disyariatkan tetapi pelaku bid’ah tersebut menambah atau menguranginya atau menciptakan tata cara baru dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Semua bid’ah di dalam agama hukumnya haram, berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam,

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal dari urusan agama kami, maka perkara itu tertolak.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Syaikhan (Bukhari Muslim) dari hadits Aisyah radhiyallahu `anha. Imam Muslim meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak berdasarkan urusan (agama) kami, maka perbuatan tersebut tertolak.”

Muslim juga meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu `anhu, ia berkata,

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا خطب احمرت عيناه، وعلا صوته، واشتد غضبه، حتى كأنه منذر جيش يقول صبَّحكم ومسَّاكم

“Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam terbiasa dalam berkhutbah kedua mata beliau tampak merah, suaranya sangat lantang, dan amarahnya memuncak, seakan-akan beliau sedang memperingatkan pasukan perang seraya bersabda: “Waspadalah terhadap musuh yang akan menyerang kalian di pagi hari, waspadalah kalian terhadap musuh yang akan menyerang kalian di sore hari.”

Lalu bersabda,

بعثت أنا والساعة كهاتين

“Aku diutus, dan kiamat demikian dekat sebagaimana dekatnya dua jari ini”

Nabi juga mendekatkan dua jarinya, telunjuk dan tengah, seraya bersabda,

أما بعد: فإن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة

“Selanjutnya : Perkataan yang paling baik adalah firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, petunjuk yang paling baik adalah petujuk Nabi shallallahu `Alahi wa Sallam, perkara yang paling buruk adalah sesuatu yang diada-adakan ( bid’ah) dan setiap bid’ah (dalam agama) adalah sesat.”

kemudian bersabda,

أنا أولى بكل مؤمن من نفسه، من ترك مالاً فلأهله، ومن ترك دينًا أو ضياعًا فإليَّ وعليَّ

“Aku lebih dekat kepada tiap-tiap orang mukmin daripada dirinya sendiri. Barangsiapa mati meninggalkan harta, maka hartanya untuk keluarganya (yaitu ahli warisnya). Dan barangsiapa mati meninggalkan hutang dan orang-orang yang harus ditanggung (anak-anak, istri, atau lainnya), maka kepadaku dan tanggunganku.”

Tingkat pengharaman ini berbeda-beda. Ada yang sampai batas kufur seperti tawaf di kuburan untuk beribadah kepada ahli kubur dan menyembelih dan bernadzar untuknya. Ada pula yang merupakan wasilah (perantara) kepada kekufuran dan kemusyrikan, seperti membangun kuburan dan salat dan berdoa di kuburan.

Ada juga yang hukumnya fasik secara aqidah sebagaimana telah kami sebutkan. Ada juga yang merupakan kemaksiatan, seperti bid’ah tidak mau menikah dan mengkebiri kelamin agar tidak bersyahwat.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Oleh:
al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'