Pertama, pendapat benar yang harus dilaksanakan adalah kandungan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah hitungannya (bulan).”
Yaitu bahwa yang dijadikan sebagai patokan dalam memulai dan mengakhiri bulan Ramadhan adalah rukyatulhilal (melihat bulan), karena syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah syariat yang komprehensif, abadi, dan akan terus berlaku hingga hari kiamat.
Kedua, sesungguhnya Allah Ta’ala mengetahui apa yang telah ada dan apa yang akan terjadi terkait kemajuan ilmu falak serta ilmu-ilmu yang lain. Meskipun begitu, Allah berfirman,
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al Baqarah : 185)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menjelaskan maksud dari ayat ini dalam sabdanya,
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal).”
Rasulullah mengaitkan awal dan akhir puasa Ramadhan dengan rukyat, dan tidak mengaitkan hal itu dengan mengetahui bulan melalui sistem perhitungan bintang dan perkiraan orbitnya.
Oleh karena itu, kaum Muslimin harus mengikuti apa yang telah disyariatkan Allah kepada mereka melalui sabda Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu mengacu pada rukyatulhilal dalam hal penentuan awal dan akhir puasa.
Hal ini sudah menjadi ijmak para ulama, sehingga orang yang bertentangan dengan hal itu dan mengandalkan hisab perbintangan, pendapatnya ganjil dan tidak diperhitungkan.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.