Fatwa Ulama
Fatwa Ulama oleh al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'

nikah sementara karena suami bepergian jauh

2 tahun yang lalu
baca 1 menit
Nikah Sementara Karena Suami Bepergian Jauh

Pertanyaan

Kami meminta pendapat dan saran Anda tentang masalah berikut ini: Seorang gadis Libya yang kuliah di sebuah universitas di negerinya yang berusia 22 tahun tertarik dengan seorang dokter Mesir dan rekan kami yang bekerja di Libya. Usia dokter itu 35 tahun. Dia sudah menikah, taat beragama, dan berakhlak mulia. Dia sudah mempunyai seorang istri dan tiga orang anak yang sedang belajar di Mesir dan keluarganya datang mengunjunginya di Libya pada masa liburan musim panas. Meskipun dia sejauh ini dan sesuai perkataannya tidak mengetahui, melihat atau bertemu dengan gadis bersangkutan, gadis itu sejak beberapa lama sangat berhasrat untuk menikah dengannya walaupun hanya dalam jangka waktu yang singkat. Rekan kami ini menentang ide menikah dengannya sampai sekarang untuk menjaga stabilitas keluarganya secara finansial dan moral dan takut akan menzalimi istrinya yang sekarang. Keengganannya untuk menikah membuat si gadis sering menangis. Bahkan, untuk membujuknya, perempuan itu menawarkan untuk menanggung semua biaya pernikahan dan hidup. Sebagai catatan bahwa gadis itu orang kaya dan berasal dari keluarga yang baik. Melalui perantara, gadis tersebut menawarkan salah satu dari dua usulan. Kami bertanya pandangan Anda tentang kesahihan kedua usulan ini. Usulan pertama: Gadis itu menawarkan kepada rekan kami agar dia bersedia menikahinya secara rahasia demi untuk menjaga stabilitas keluarganya. Pernikahan itu hanya untuk selama dia berada di Libya, dengan catatan dia menceraikannya setelah masa kerjanya di Libya berakhir dan kembali ke Mesir, baik setelah setahun, dua tahun, tiga tahun atau lebih. Mengingat jadwal kembalinya tidak diketahui hingga sekarang tetapi disesuaikan dengan kondisi kerja. Apakah pernikahan ini diperbolehkan oleh agama atau pernikahan itu sama dengan nikah mut'ah yang diharamkan oleh agama? Usuluan kedua: Dia mengawini perempuan tersebut dengan bersyarat, yaitu situasinya dikaji ulang setelah jangka waktu tertentu. Jika kondisinya mendukung mereka berdua untuk hidup bersama dan gadis tersebut ingin menemaninya ke negaranya, maka sang gadis akan memberikan sejumlah hartanya demi memberi kompensasi kepada istri pertama. Jika dia telah memberi, maka perkawinan akan terus berlanjut. Jika si gadis tidak memberi uang kompensasi, maka dia menetap di negerinya dan pernikahan pun berakhir. Apakah pernikahan dalam bentuk seperti ini dibenarkan oleh agama? 1. Rekan kami ini telah berpesan kepada kami agar persoalan ini ditanyakan kepada Anda, yaitu pandangan agama tentang kedua usulan tersebut. 2. Dia ingin mendengar pandangan Anda tentang solusi permasalahan ini. 3. Begitu juga nasihat Anda diperlukan untuk masing-masing pemuda dan pemudi. 4. Apakah rekan kami tersebut terkena suatu kewajiban jika dia tidak menanggapi keinginan kuat si gadis untuk menikah dengannya? 5. Apakah pernikahannya dengan gadis tersebut dianggap menzalimi istrinya yang sekarang, padahal istrinya adalah seorang wanita yang salehah, taat beragama, penuh kasih, dan taat kepada suaminya? Semoga Allah senantiasa memberikan taufik kepada Anda untuk melakukan hal yang Dia sukai dan ridai. Wassalamu'alaikum warahmatullah

Jawaban

Pertama, usulan pertama yaitu menikah dengan batas waktu hingga suami bersangkutan pergi tidak diperbolehkan sebab pernikahan jenis ini termasuk nikah mut’ah karena waktu pernikahan dibatasi hingga suami pergi.

Sementara itu, usulan kedua, yaitu menggantungkan keberlangsungan suatu pernikahan dengan melihat kepada keadaan, juga tidak sah karena hukum asal nikah adalah dimaksudkan berlangsung tanpa batas waktu tertentu sedangkan usulan ini menyalahinya (hukum asal).

Kedua, dokter tersebut tidak harus menanggapi permintaan gadis tersebut untuk menikahinya dan dia tidak berdosa. Dia juga berhak untuk memenuhi permintaannya jika dia melihat ada maslahat baginya jika menikahinya dan meniatkannya untuk menjaga kehormatan dirinya dan sang gadis serta melahirkan keturunan yang saleh dan menikah secara langgeng. Mudah-mudahan Allah memberinya pahala dengan niat tersebut.

Ketiga, pernikahan tersebut bukanlah berarti menzalimi istri pertama karena Allah Subhanahu tidak melarang poligami. Allah Ta’ala berfirman,

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat.” (QS. An-Nisaa’: 3)

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Oleh:
al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'