Fatwa Ulama
Fatwa Ulama oleh al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'

menzihar istri karena menyangkanya telah melakukan sesuatu, padahal sebenarnya tidak

2 tahun yang lalu
baca 2 menit
Menzihar Istri Karena Menyangkanya Telah Melakukan Sesuatu, Padahal Sebenarnya Tidak

Pertanyaan

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad yang tidak ada nabi setelahnya. Selanjutnya, Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa telah mengkaji pertanyaan yang datang dari yang terhormat hakim Khamis Musyaith berdasarkan surat dia dengan nomor (3368) tanggal 23 / 12 / 1392 H. kepada yang terhormat Ketua Komite Penelitian Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Penyuluhan. Tembusan kepada lembaga pusat ulama' senior dengan nomor (1911 / 2) tanggal 23 / 12 / 1392 H.Setelah mempelajari surat tersebut, Komite berkesimpulan sebagai berikut: 1. Permohonan fatwa dari (H. M. C. S) pertanyaannya adalah: Saya mempunyai seorang istri dan merupakan ibu dari dua anak saya yang pertama. Setelah dia melahirkan dua anak perempuan tersebut, saya menceraikannya atas keinginan keluarganya. Dia kemudian menikah lagi dan dikarunia satu anak perempuan lalu suaminya menceraikannya. Setelah itu, saya menikahinya lagi dan dia dikaruniai dua anak perempuan. Kemudian saya menikahkan salah seorang anak perempuan saya dengan seorang laki-laki dari jemaah saya. Mereka berdua tidak ada kecocokan dalam berumah tangga. Tiba-tiba muncul keraguan dalam diri saya bahwa penyebab rusaknya pernikahan mereka adalah ibunya -istri saya. Saya lantas berkata kepadanya: "Demi Allah, kamu bagi saya seperti ibu saya kecuali jika pernikahan mereka berdua menjadi baik." Namun, setelah itu terbukti bahwa perselisihan yang terjadi antara anak perempuan saya dan suaminya bukanlah karena istri saya. Oleh karena itu, saya meminta fatwa tentang masalah tersebut sesuai kejadian yang sebenarnya. Perlu diketahui bahwa saya sudah menelpon seorang hakim di daerah kami, yaitu Khamis Musyaith, untuk meminta fatwa, lantas dia berkata: "Anda wajib berpuasa dua bulan" padahal saya tidak sanggup berpuasa selama itu karena saya sakit. Tubuh saya juga lemah sehingga membuat saya tidak mampu berpuasa. Kemudian keluarga istri datang ke rumah dan mengambil dia seraya berkata: "Kamu harus puasa dua bulan atau kamu serahkan surat keterangan cerai anak kami." Lantas saya berkata kepada perwakilan saya, "Ali bin Sa`id bin Salamah, tulislah untuk mereka keterangan cerai sesuai sunah agar mereka pergi dari rumah ini hingga saya meminta fatwa tentang masalah ini." Tatkala saya pergi menemui hakim untuk kedua kalinya dan dia mengetahui saya sedang sakit, dia berkata "Anda wajib memberi makan enam puluh orang miskin dan Anda boleh kembali kepada istri Anda dengan akad baru. 2. Surat dari yang terhormat ketua lembaga keilmuan, fatwa, dakwah dan penyuluhan yang ditujukan kepada yang terhormat hakim Khamis Musyaith nomor (3186) tanggal 6 / 8 / 1392 H, untuk memastikan kebenaran apa yang disebutkan oleh penanya. 3. Surat dari yang terhormat Hakim Khamis Musyaith nomor (3368) tanggal 26 / 11 / 1392 H, dan secara terperinci masalah ini ada dalam jilid (40) halaman 119. Singkatnya, bahwa (H. M) menerima dan membenarkan surat tersebut. Istri (N) juga menemuinya dan mengakui hubungan pernikahannya dan cerai yang terjadi, serta pernikahannya yang kedua kali dan anak hasil perkawinan tersebut. Namun, dia tidak mendengar sendiri cerai yang kedua. Dia hanya mendengar orang berkata kepadanya bahwa suaminya telah menceraikannya. Kemudian dua saudara istri tersebut datang dan membenarkan bahwa suaminya telah menceraikannya dengan talak lebih dari yang dinyatakan oleh penanya. Hal itu terjadi di rumah (S. G) dalam keadaan marah dan mengatakan: "Dia saya cerai." Inilah kalimat cerai yang terakhir dan itu terjadi setelah saya salah bicara terhadap yang bersangkutan (N. M). Lantas saya bertanya kepada salah seorang ulama, dan dia menjawab: "Berpuasalah dua bulan" padahal saya tidak mampu berpuasa. Oleh karena itu, saya sempurnakan cerainya sesuai sunah pada tanggal 2 / 6 / 1392 H. Namun, Hasan mengingkari cerai pertama yang disangkakan oleh kedua saudara istri. Mereka berdua memiliki bukti tetapi mereka dilarang hadir sedangkan Hasan menyatakan bahwa mereka berdua tidak memiliki bukti. Lantas hakim memberi fatwa agar dia membayar denda zihar karena dia hanya bertanya tentang zihar saja. Selang beberapa lama, dia datang dan bertanya tentang cerai. Hakim tersebut kemudian memintanya agar mendatangkan istri dan walinya. Dia pun pergi dan tidak kembali lagi.

Jawaban

Setelah mempelajari masalah tersebut, dewan komite memberi jawaban sebagai berikut: Sesuai dengan pernyataan penanya bahwa dia telah menceraikan istrinya (N. M. A) dan sang istri telah menikah dengan laki-laki lain dan kemudian dicerai.

Setelah itu dia menikahinya lagi dan lantas dia menziharnya karena menyangka bahwa istrinya adalah penyebab rusaknya pernikahan anak perempuannya, tetapi kemudian terbukti bahwa rusaknya pernikahan tersebut bukan karena istrinya (N).

Dia telah memninta fatwa kepada hakim Khamis Musyaith tentang ziharnya lalu dia diberi fatwa bahwa dia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut sedangkan dia tidak mampu berpuasa karena sakit.

Lantas keluarga istri mengambil sang istri darinya seraya berkata: “Kamu harus berpuasa dua bulan berturut-turut atau menceraikan dia.” Akhirnya dia menceraikannya sesuai sunnah karena dia tidak mampu berpuasa.

Jika masalahnya demikian, maka ia dianggap tidak menzihar karena dia mengucapkannya berdasarkan perkara yang kemudian terbukti tidak terjadi. Oleh karena itu, dia tidak wajib membayar denda zihar.

Adapun cerai yang ditulis oleh Ali bin Sa`id, maka cerai tersebut juga dianggap tidak terjadi karena dalam surat tersebut dia mengatakan: kami telah bertanya kepada salah seorang ulama lalu dia menjawab “Anda wajib berpuasa dua bulan.”

Karena saya tidak sanggup berpuasa, maka saya menyempurnakan cerai sesuai sunnah. Hal ini menunjukkan bahwa dia mencerai karena tidak mampu berpuasa yang wajib dilakukannya sebagai denda ziharnya, sesuai dengan fatwa hakim, dan hakim tersebut mengakui bahwa dia berfatwa demikian.

Berdasarkan semu fakta ini, maka cerai tersebut didasarkan perkara yang disangkanya pasti terjadi, padahal terbukti bahwa hal itu tidak terjadi, sehingga cerai tersebut dianggap tidak pernah ada.

Adapun yang berkaitan dengan cerai yang dinyatakan oleh kedua wali istrinya tetapi dingkari oleh sang suami, padahal mereka berdua mempunyai bukti tetapi tidak bisa dihadirkan, maka hal ini adalah urusan hakim.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Oleh:
al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'