Segala puji hanya bagi Allah. Selawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah, kerabat, dan shahabatnya. Selanjutnya,
Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa telah mengkaji surat yang datang dari Hakim Provinsi Tabuk, yang diajukan kepada Komite Sekretariat Jenderal Dewan Ulama Senior dengan nomor 4241, tanggal 14/7/1421 H. Surat tersebut memuat pertanyaan dari seorang muslimah. Isi dari surat tersebut adalah:
Saya sampaikan bahwa seorang wanita berinisial G. A. A. datang bersama suaminya yang berinisial S. A. A. Ia mengatakan bahwa ayahnya wafat dan meninggalkan sejumlah uang dan properti. Ia meminta bagian warisnya. Mengetahui hal itu, ibunya marah dan berkata, "Kamu datang meminta harta itu karena tamak!" Ia pun menjawab, "Saya ingin memilah bagian saudara perempuan saya yang cacat dan bagian saudara saya berinisial A.
Saya juga ingin menyerahkan bagian saya untuknya." Sang ibu menolak menerima hal itu dan ide tidak mengambil waris. Dia berkata, "Saya menolakmu dan orang yang ingin mengambil bagiannya." Mendengar pernyataan tersebut, ia berkata, "Saya bernazar atas nama Allah bahwa semua bagian waris saya untuk sedekah atas nama saya dan ayah saya." Ia mengucapkan kalimat itu setelah ibunya enggan menjawab salam dan mendorongnya dengan tangannya.
Ia sekarang bertanya, "Bagaimana status nazar saya? Apakah nazar tersebut harus ditunaikan? Apa yang wajib saya lakukan secara syariat demi membebaskan beban saya? Perlu saya sampaikan bahwa sebagian harta warisan saya berbentuk properti dan harus berbagi bersama saudara laki-laki saya.
Apakah saya boleh menerima upah sewanya dan bersedekah dengan uang itu atau saya harus menjualnya dan baru menyedekahkannya?" Ia juga menambahkan, "Di tempat yang sama setelah saya bernazar, saya mengatakan bahwa bagian waris saya haram untuk saya dan anak-anak saya."
Mufti yang terhormat, setelah membaca surat tersebut saya berharap Anda menjelaskan hukum nazar yang ia ucapkan dan apakah wajib dilaksanakan? Mohon dijelaskan juga tentang harta yang menjadi bagiannya bersama saudara laki-lakinya dan menyedekahkan hasil penyewaannya serta status hukum pengharaman yang dilakukannya atas bagian waris untuknya dan anak-anaknya. Semoga Allah memberi pahala kepada Anda. Semoga Allah memberi balasan yang lebih baik dan melindungi Anda. Wassalam.
Setelah mengkaji surat permintaan fatwa tersebut, Komite memandang bahwa pernyataan-pernyataan di atas merupakan nazar dalam keadaan marah. Dengan demikian, nazar tersebut terkena kewajiban membayar kafarat pelanggaran sumpah, yaitu memberi makan sepuluh orang miskin, memberi mereka pakaian, atau memerdekakan seorang budak yang beriman. Orang yang tidak dapat melakukan ketiga hal tersebut harus menggantinya dengan berpuasa tiga hari.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.