Islam adalah agama toleransi, mudah, dan ringan. Allah Ta`ala berfirman,
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah : 185)
dan Dia berfirman,
“dan Dia sekali-kali tidak menjadikan suatu kesempitan untukmu dalam agama” (QS. Al-Hajj : 78)
Serta diriwayatkan bahwa jika Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam diberi pilihan antara dua hal, maka ia memilih yang lebih mudah selama itu bukan perbuatan dosa.
Oleh karena itu, Allah Ta`ala menjadikan untuk waktu-waktu ibadah tanda-tanda alami yang dapat diketahui oleh orang awam dan orang khusus, yang buta huruf dan orang berpengetahuan; sebagai rahmat untuk umat manusia, sebagai kemudahan bagi mereka, dan menghilangkan kesulitan dari mereka. Di antaranya firman Allah Ta`ala tentang penentuan awal dan akhir waktu puasa,
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (QS. Al-Baqarah : 187)
Hal itu telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam dengan perbuatan dan perkataannya. Diriwayatkan dari `Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu `anhu bahwasanya dia berkata,
“Kami pernah bersama Rasulullah di dalam sebuah perjalanan di bulan Ramadan. Ketika matahari telah terbenam, ia bersabda (kepada salah seorang sahabatnya), “Fulan, turunlah (dari kendaraanmu) dan siapkan makanan untuk kami.” Sahabat tadi berkata, “Rasulullah, sesungguhnya sekarang masih siang.” Rasulullah bersabda lagi, “Turunlah dan siapkan makan untuk kami!” Kemudian orang tersebut turun lalu mempersiapkan makanan dan menghidangkannya kepada Rasulullah. Rasul pun minum seraya bersabda sambil menunjuk dengan tangannya, “Jika matahari telah tenggelam dari arah sini (barat) dan kegelapan malam dari arah sini (timur) telah muncul, maka orang yang berpuasa telah boleh berbuka.”
Dari dari Umar radhiyallahu `anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda:
“Apabila malam datang, siang beranjak pergi, dan matahari terbenam, maka orang yang berpuasa telah tiba saatnya berbuka.”
Dari Abdullah bin Mas`ud radhiyallahu `anhu, ia berkata, Nabi Muhammad Shalallahu `Alaihi wa Sallam bersabda:
“Janganlah adzan Bilal mencegah kalian dari sahurnya karena sesungguhnya dia adzan di waktu malam untuk memulangkan orang-orang yang shalat malam (qiyamul lail) dan membangunkan yang tidur. Dia tidak mengumandangkan adzan fajar atau Subuh. Rasul lalu mengisyaratkan dengan jarinya sambil mengarahkan ke atas dan ke bawah lalu mengatakan demikianlah (sifat fajar). Zuhair (perawi hadits) mengatakan, Rasul mengisyaratkan dengan kedua telunjuknya, salah satunya berada di atas yang lain, lalu membentangkan keduanya ke kanan dan ke kiri.”
Isyarat pertama menunjukkan fajar kadzib dan isyarat kedua menunjukkan fajar sadiq, yaitu cahaya yang muncul di ufuk timur ke selatan dan utara. Sabda lain Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam tentang permulaan dan akhir puasa Ramadan adalah
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya pula. Apabila pandangan kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah hitungan bulannya.”
dan dalam sebuah riwayat
“Maka berpuasalah tiga puluh hari.”
Rasul mewajibkan puasa dengan melihat bulan sabit Ramadan dan mewajibkan berhenti puasa dengan melihat bulan sabit pada bulan Syawal karena melihat bulan itu mudah dilakukan oleh umat; yang berilmu dan buta huruf; orang kota dan orang kampung.
Bisa jadi orang yang buta huruf dan orang kampung lebih mengetahui hal itu daripada yang lain, sebagai rahmat dan kurnia dari Allah, tanpa mengandalkan ilmu falak, yakni ilmu astronomi.
Contohnya, firman Allah Ta`ala tentang waktu shalat lima waktu,
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh.” (QS. Al-Isra’ : 78)
dan firman-Nya,
“Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari.” (QS. Al-Insan : 25-26)
Hal itu dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lewat perbuatan dan perkataannya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Abdullah bin `Amr radhiyallahu `anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda,
“Waktu shalat Zuhur adalah jika matahari telah condong (ke barat) dan bayangan seseorang seperti panjangnya selama waktu shalat Asar belum tiba. Waktu shalat Asar adalah selama matahari belum menguning. Waktu shalat Maghrib adalah selama mega merah (syafaq) belum menghilang. Waktu shalat Isya hingga tengah malam. Waktu shalat Subuh adalah sejak fajar muncul selama matahari belum terbit. Jika matahari sudah terbit, maka janganlah kamu melaksanakan shalat sebab dia terbit di antara dua tanduk setan.”
Dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya radhiyallahu `anhuma dari Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam bahwa seseorang bertanya kepada Nabi tentang waktu shalat. Lantas ia bersabda:
“Kerjakan shalat bersama kami dalam dua hari ini. Ketika matahari tergelincir, ia menyuruh Bilal mengumandangkan adzan, kemudian memerintahkannya untuk mendirikan shalat Zuhur. Lalu Rasulullah menyuruhnya kembali untuk mendirikan shalat Asar saat matahari sangat tinggi, putih, dan masih terang. Tak lama kemudian, Rasulullah menyuruhnya untuk mendirikan shalat Magrib ketika matahari terbenam. Kemudian ia menyuruhnya mendirikan shalat Isya ketika awan-awan merah di langit menghilang. Lalu ia menyuruhnya mendirikan shalat Subuh saat fajar muncul. Pada hari kedua, ia menyuruh Bilal mengerjakan shalat Zuhur saat hari dingin dan shalat Asar saat matahari tinggi. Ia mengakhirkan shalat Asar ini dari yang kemarin, mengerjakan shalat Magrib sebelum awan merah di langit menghilang, mengerjakan shalat Isya setelah sepertiga malam lewat, dan mengerjakan shalat Subuh, saat hari benar-benar telah terang. Rasulullah pun bertanya, “Mana orang yang bertanya tentang waktu shalat?” lelaki itu menjawab, “Saya, Rasulullah.” Kemudian ia bersabda, “Waktu shalat kalian adalah di antara yang telah kalian lihat.”
Dan banyak hadits lainnya, baik perkataan maupun perbuatan, yang menjelaskan rincian waktu shalat.
Waktu shalat tidak didasarkan kepada perjalanan bintang atau perkataan ahli astronomi, sebagai karunia dari Allah Ta`ala dan kebaikan-Nya serta untuk menghilangkan kesulitan dari para hamba-Nya yang mukalaf.
Dengan demikian, cara alami dan mudah adalah andalan atau acuan untuk mengetahui waktu-waktu shalat berdasarkan tanda-tanda alami di atas yang telah dijelaskan oleh syariat karena bersifat umum yang dapat diketahui oleh orang kota dan kampung, baik terpelajar maupun tidak terpelajar. Mengetahui waktu-waktu shalat dengan cara penghitungan perjalanan bintang tidak mudah dilakukan oleh setiap orang, di samping bersifat perkiraan.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.