Keterangan yang sudah baku dan benar hukumnya berdasarkan konteks dalil-dalil yang sahih adalah bahwa Allah menciptakan seluruh alam berupa langit, bumi, dan segala yang ada di antara keduanya itu dalam waktu enam hari. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran,
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, lalu Dia bersemayam di atas ’Arsy” (QS. Al-A’raaf: 54)
Dan firman-Nya,
“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ’Arsy.” (QS. As-Sajdah: 4)
Serta firman-Nya,
“Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam hari.” (QS. Qaaf: 38)
Masih banyak lagi ayat lain yang menjelaskan hal ini. Keenam hari itu adalah Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, dan Jumat. Pada hari Sabtu tidak terjadi penciptaan, Oleh sebab itu, nama dari hari ketujuh tersebut adalah “Sabtu” yang berarti terputus.
Beberapa hadits sahih menunjukkan bahwa masa penciptaan langit, bumi, dan segala yang ada di antara keduanya adalah enam hari. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu `anhu dengan redaksi,
“Allah menciptakan tanah (bumi) pada hari Sabtu, menciptakan gunung-gunung pada hari Ahad, menciptakan pepohonan pada hari Senin, menciptakan hal-hal yang tidak disenangi pada hari Selasa, menciptakan cahaya pada hari Rabu, menyebarkan segala jenis hewan di bumi pada hari Kamis, dan menciptakan Adam setelah ashar pada hari Jumat. Akhir waktu penciptaan tersebut adalah pada waktu-waktu terakhir hari Jumat, yaitu antara ashar hingga malam.”
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Nasa’i, dan Muslim, lebih dari satu jalur. Dalam hadits ini, semua hari yang jumlahnya ada tujuh disebutkan. Bukhari dan beberapa orang ulama hadits telah menjelaskan bahwa ini merupakan salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Ka`b al-Ahbar. Hadits itu tidak marfu’ kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa hadits itu berasal dari beliau langsung, baik jelas (sharih) maupun tersirat (hukmi)-ed.).
Akan tetapi, sebagian perawi melakukan wahm (asumsi keliru) dengan menjadikannya sebagai ungkapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Berdasarkan hal di atas, maka hadits mauquf (perkataan sahabat nabi) ini tidak memiliki kekuatan hukum jika dibandingkan dengan ayat dan hadits sahih yang marfu’. Oleh sebab itu, hadits tersebut tidak dapat dijadikan argumen dalam masalah di atas. Dengan penjelasan itu, tidak ada lagi keraguan. Demikianlah cara mengompromikan keduanya.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam