Ada dalil tentang rukhshah (keringanan) bagi orang yang berpuasa untuk mencium dan mencumbu istri, jika tidak sampai melakukan hubungan seksual dan mampu mengendalikan gejolak syahwatnya. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa dia berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mencium dan mencumbu (istri beliau) saat berpuasa. Akan tetapi, beliau adalah orang di antara kalian yang paling kuat menahan nafsunya”.
Diriwayatkan dari Amr bin Abi Salamah radhiyallahu `anhuma,
“Bahwa dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Bolehkah seorang yang berpuasa mencium (istrinya)”? Kemudian beliau menjawab, “Tanyakan hal itu kepada Ummu Salamah.” Ummu Salamah lalu memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan hal itu.
Dia (Amr bin Abi Salamah) berkata lagi, “Wahai Rasulullah, Allah telah mengampuni semua dosa-dosa Anda yang telah lalu dan yang akan datang.” Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku adalah yang paling bertakwa kepada Allah dan paling takut kepada-Nya di antara kalian”.
Kami telah mengeluarkan fatwa terpisah mengenai hukum mencium dan mencumbu istri bagi orang yang berpuasa. Berikut ini teksnya:
Seseorang yang memiliki nafsu syahwat dan menurut perkiraannya akan mengalami ejakulasi jika mencium dan mencumbu meskipun bukan di vagina, maka dia tidak boleh melakukannya pada saat berpuasa Ramadhan.
Akan tetapi, seseorang yang memiliki nafsu syahwat dan tidak merasa akan mengalami ejakulasi namun tetap khawatir terjadi jika mencium atau melakukan hal-hal yang biasa mengawali hubungan seksual, maka itu makruh baginya.
Sebab, menyempurnakan dan menjaga puasa hukumnya wajib, sedangkan mencumbu istri dengan mencium atau tindakan-tindakan sejenis selain bersetubuh akan mengantar kepada batalnya puasa walaupun memang tingkat bahayanya berbeda. Selain itu, merusak (membatalkan) puasa wajib itu tidak boleh.
Adapun orang yang tidak tergerak syahwatnya dengan ciuman atau yang semisalnya karena mampu mengendalikan nafsu atau lantaran lemah syahwat akibat sakit atau lanjut usia, maka dia boleh mencium dan mencumbu istrinya selama tidak berhubungan seksual.
Kondisi inilah yang disebutkan dalam hadits riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mencium (istri beliau) saat sedang berpuasa, dan beliau adalah orang di antara kalian yang paling kuat menahan nafsunya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mampu mengendalikan nafsu syahwatnya sehingga tidak khawatir ciuman dan cumbuan yang beliau lakukan akan mengarah kepada hubungan seksual atau keluar mani.
Oleh karena itu, beliau boleh mencium dan melakukan hal-hal lain yang biasa menjadi permulaan saat hendak berhubungan seksual. Ini juga dibolehkan bagi umat beliau yang mampu mengendalikan nafsu syahwatnya sama seperti beliau. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah,
“Sesungguhnya ada seorang lelaki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang bercumbu bagi orang yang berpuasa, lantas beliau memberikan keringanan kepadanya (untuk melakukan hal tersebut). Laki-laki lain lain datang dan bertanya kepada beliau mengenai hal yang sama, lantas beliau melarangnya. Yang diberi keringanan adalah orang yang sudah tua, sedangkan yang dilarang adalah seorang pemuda”.
Intinya, siapa pun yang melakukan hal tersebut tanpa keluar mani, maka puasanya sah. Puasanya batal jika keluar mani. Dengan demikian, dia wajib mandi dan meng-qadha (puasa yang batal itu di kemudian hari). Adapun apabila hanya mengeluarkan madzi, puasanya tidak batal, menurut pendapat yang benar.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.