Fatwa Ulama
Fatwa Ulama oleh al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'

kitab “tablighi nishab” dan kitab-kitab tasawuf sejenis

2 tahun yang lalu
baca 4 menit
Kitab “Tablighi Nishab” Dan Kitab-kitab Tasawuf Sejenis

Pertanyaan

Saya seorang lelaki Muslim yang tinggal di Inggris. Saya ingin mengikuti manhaj Ahlussunnah wal Jamaah dalam seluruh perkara kehidupan saya. Berdasarkan ini, saya berusaha membaca kitab-kitab agama yang ditulis dengan bahasa Urdu. Di tengah saya membaca sebagian kitab-kitab agama yang dikarang oleh seorang ulama terkenal asal India yang merupakan tokoh Jamaah Tabligh, namanya Syekh Muhammad Zakaria Kandahlawi, seorang pakar hadis, di dalam kitabnya yang berjudul "Tablighi Nishab" pada halaman ke-113 pasal ke lima, saya mendapati sebuah cerita yang dinukil oleh pengarangnya dari kitab berjudul "Rawnaqul Majalis". Cerita itu mengenai seorang pedagang yang meninggal dunia dan harta warisannya dibagikan kepada anak-anaknya. Di samping ia meninggalkan warisan harta yang melimpah, ia juga meninggalkan warisan rambut Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Anak bungsu mengambil rambut Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut dan memberikan harta warisan bagiannya untuk saudaranya yang tertua. Yang terjadi setelah itu adalah orang yang mengambil harta warisan menjadi bangkrut, sedangkan yang mengambil rambut Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi kaya raya. Setelah anak bungsu yang memiliki rambut Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut wafat, sebagian orang saleh bermimpi bertemu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, "Barangsiapa memiliki keperluan maka hendaknya ia pergi ke kuburan saudara bungsu tersebut dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala di kuburan tersebut agar doanya dikabulkan." (Dinukil dari kitab Tablighi Nishab). Demikian juga saya pernah membaca kitab lain yang berjudul "Tarikh Masyayikh Jitst" karya Syekh Muhammad Zakaria pada halaman 232 disebutkan bahwa pada suatu hari Syekh Haji Imdadullah Muhajir Makki pernah sakit menjelang wafatnya. Lantas ada salah seorang pengikutnya yang mengunjunginya, dan ia sedih atas kondisinya. Syekh pun mengetahui bahwa ia sedih akan kondisinya, lantas berkata, "Janganlah kamu sedih, karena orang ahli zuhud dan ibadah tidak akan pernah mati. Ia hanya akan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Ia dapat memenuhi kebutuhan manusia meskipun ia sudah di dalam kuburan, sebagaimana dulu ia memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia saat masih hidup." Cerita ini dinukil dari kitab "Tarikh Masyayekh Jitst". Saya ingin mendengar pendapat Anda mengenai kebenaran semua yang telah disebutkan. Demikian juga saya ingin mengetahui mengenai hal-hal berikut: 1. Apakah pengarang kitab tersebut dan yang mengisahkan cerita tersebut masih dianggap sebagai seorang Muslim setelah kita semua mengetahui akidah yang tertulis di dalam kitab-kitab dan perkataannya? Tolong dijelaskan kepada kami dengan disertai dalil dari al-Quran dan as-Sunnah. 2. Jika tidak lagi dihukumi sebagai seorang Muslim, maka apa dalil dari al-Quran dan as-Sunnah yang menunjukkan bahwa ia telah keluar dari agama Islam?

Jawaban

Nukilan cerita yang ada di dalam kitab ini sebagaimana yang disebutkan di dalam pertanyaan termasuk bid`ah dan khurafat yang tidak ada landasannya dari syariat, juga tidak ada dasarnya dari al-Quran dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu juga tidak dikatakan dan diyakini kecuali oleh orang yang buruk fitrahnya, buta mata hatinya, dan sesat dari jalan kebenaran.

Klaim bahwa rambut Rasulullah masih ada dan menjadi sebab menjadi kaya raya bagi orang yang memilikinya, serta klaim bermimpi melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau berpesan agar berdoa di kuburan orang ini, semua itu merupakan kedustaan dan kebohongan yang tidak ada dalilnya. Di dalam riwayat sahih Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,

إن الشيطان لا يتمثل بي

“Sesungguhnya setan tidak akan dapat menyerupai diriku.”

Lantas bagaimana mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan manusia berdoa kepada Allah di kuburan-kuburan, padahal beliau telah melarang hal itu saat beliau masih hidup dan sangat mewanti-wanti agar tidak melakukannya. Demikian juga beliau melarang bersikap berlebihan kepada para nabi dan orang-orang saleh, serta bertawasul kepada mereka setelah mereka meninggal dunia.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wafat melainkan Allah telah menyempurnakan agama dan nikmat atas beliau. Oleh karena itu, tidak boleh menambah dan mengurangi syariat beliau. Keyakinan bahwa doa di kuburan akan dikabulkan merupakan bid`ah yang sama sekali tidak memiliki dasar di dalam syariat. Terkadang perbuatan tersebut dapat menyebabkan pelakunya melakukan syirik besar jika ia berdoa di kuburan kepada selain Allah atau kepada Allah namun disertai dengan selain-Nya.

Atau ia meyakini bahwa orang yang berada di dalam kuburan tersebut dapat memberi manfaat dan madarat, karena sesungguhnya Sang Pemberi manfaat dan madarat itu hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian halnya meyakini bahwa orang ahli zuhud dan ibadah tidak akan pernah meninggal dunia, namun hanya berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lainnya.

Juga bahwa ia dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ia berada di kubur, sebagaimana dulu ia memenuhi kebutuhan mereka saat masih hidup. Semua itu adalah keyakinan-keyakinan batil yang merupakan keyakinan-keyakinan kaum sufi yang menyimpang. Dan semua itu tidak ada dalilnya, bahkah ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis sahih menunjukkan bahwa setiap manusia di dunia ini akan meninggal dunia. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ

“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (QS. Az-Zumar: 30)

Dan Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ (34) كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?(34) Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Al-Anbiyaa’: 34-35)

Demikian juga banyak hadis yang menunjukkan bahwa jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalannya kecuali tidak perkara ilmu yang bermanfaat, anak saleh yang mendoakannya, atau sedekah jariah. Dan seorang mayit di dalam kuburannya tidak memiliki madarat dan manfaat bagi dirinya. Oleh karena itu, orang yang demikian kondisinya, maka ia sudah pasti tidak memiliki madarat dan manfaat bagi orang lain.

Dan tidak boleh meminta dipenuhi kebutuhan melainkan dari Allah semata di dalam perkara yang tidak akan mampu dilakukan melainkan oleh Allah saja. Meminta semua itu kepada orang-orang yang telah meninggal dunia merupakan perbuatan syirik besar.

Dan barangsiapa meyakini selain itu maka ia telah kafir dengan kekafiran besar yang dapat mengeluarkannya dari agama semoga Allah melindungi kita karena ia telah mengingkari dalil-dalil yang jelas dari al-Quran dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal itu.

Ia wajib bertobat dari semua itu dengan tobat nasuha, dan bertekad untuk tidak akan mengulangi lagi perbuatan buruk tersebut. Ia juga harus mengikuti perbuatan salaf saleh dari kalangan Ahlusunah Waljamaah agar dapat mendapatkan rida Allah dan surga-Nya, serta selamat dari siksa-Nya.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Oleh:
al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'