Pertama, hukum Khamar tidak sama dengan hukum air saluran, baik hukum ketika didiamkan atau ketika digunakan sebagaimana adanya atau setelah dipisahkan dari najis yang mencampurinya. Khamar harus dibuang karena memabukkan, bukan karena kenajisannya, karena Nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam memerintahkan hal itu saat dua ayat tentang pengharaman khamar turun.
Jadi, mendiamkan khamar dan memanfaatkannya sebagaimana kondisi aslinya adalah haram. Mengubah status khamarnya dengan cara mencampurnya dengan cuka atau memisahkan sebagian kandungannya dan membersihkannya dari kandungan alkohol serta mencampurnya dengan bahan lain untuk dimanfaatkan adalah haram karena Nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam melarang mencampurkan cuka dalam khamar sebagai tindakan preventif dan menutup kemungkinan bahan-bahan khamar tersebut dicampur kembali dan dipakai. Lain halnya dengan air yang terkena najis.
Cacatnya terletak pada benda yang terkena najis sehingga dalam kondisi aslinya masih boleh dipakai untuk menyiram tanaman, pepohonan, dan lainnya. Air tersebut juga boleh dipisahkan dari najis yang mencampurinya sehingga dapat digunakan untuk manfaat yang sesuai, seperti merabuk tanah dan menyiraminya, diminum atau lainnya. Khamar tidak sama dengan air seni dalam kenajisan `ainnya, bahkan khamar jauh lebih najis. Jika didiamkan, maka khamar dikhawatirkan akan diminum sedangkan kekhawatiran seperti ini tidak berlaku terhadap air seni sehingga air seni boleh didiamkan guna memupuk tanaman.
Kedua, sudah dijelaskan dalam jawaban masalah pertama bahwa khamar tidak boleh disimpan, dimurnikan dari kandungan alkohol, dan diurai komposisinya serta dicampur dengan bahan lain untuk dimanfaatkan. Jika seseorang yang memegang khamar mencampurnya dengan cat atau sejenisnya untuk dimanfaatkan kemudian tampak bekasnya pada warna, rasa atau bau, maka cat tersebut tidak boleh dipakai, misalnya, untuk mengecat masjid atau yang lainnya dan harus dibuang. Jika bekasnya tidak ada, maka cat tersebut boleh digunakan. Namun, untuk lebih hati-hati, sebaiknya cat tersebut tidak digunakan.
Ketiga, obat-obatan tidak boleh dicampur dengan alkohol yang memabukkan. Namun, jika dicampur dengan alkohol sedangkan kadar campuran alkohol tersebut hanya sedikit dan tidak tampak bekasnya dalam warna, rasa, dan bau obat, maka obat tersebut boleh dikonsumsi. Jika bekas campurannya tampak, maka obat tersebut haram dikonsumsi.
Keempat, hukum asal segala sesuatu adalah suci dan boleh sehingga hanya dapat berubah dengan menentukan atau menduga dengan kuat sesuatu yang menyebabkannya berubah. Jika minyak hati yang disuntikkan diragukan, misalnya, apakah diambil dari hati babi atau hewan lain atau disangsikan apakah diambil dari hari binatang yang disembelih dengan cara syar`i atau tidak syar`i, maka keraguan tersebut tidak memberi efek apapun dan tidak mengubah hukum aslinya, yaitu suci dan halal. Oleh karena itu, suntikan dan sejenisnya boleh dipakai untuk pengobatan jika memang tidak ada bukti yang menetapkan adanya campuran bahan yang mengeluarkannya dari hukum aslinya, yaitu suci dan halal.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.