Pada dasarnya, seorang istri berkabung di rumah suami almarhum, tempat ia tinggal, dan hanya keluar untuk suatu keperluan atau kondisi darurat, seperti periksa kesehatan saat sakit, membeli kebutuhannya dari pasar, seperti roti dan sejenisnya, ketika tidak ada seseorang yang dapat menggantikannya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Furai`ah binti Malik, ia berkata,
“Suami saya pergi mencari budak-budaknya. Ia pun menemukan mereka di pinggiran daerah al-Qadum tetapi budak-budak itu justeru membunuhnya. Saya menerima kabar kematiannya saat saya berada di rumah yang jauh dari rumah keluarga saya. Saya lalu datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan menceritakan peristiwa itu kepadanya. Saya berkata, “Kabar kematian suami saya sampai ketika saya berada di rumah yang jauh dari rumah keluarga saya. Ia tidak meninggalkan nafkah atau harta bagi ahli warisnya. Ia juga tidak memiliki rumah. Jika saya pindah ke rumah keluarga atau saudara-saudara saya, maka itu akan lebih memudahkan urusan saya.” Beliau menjawab, “Pindahlah.” Ketika saya keluar ke masjid atau ke kamar, beliau memanggil saya kembali. Atau ia menyuruh seseorang untuk memanggil saya. Beliau lalu bersabda, “Tinggallah di rumahmu, tempat kamu menerima kabar kematian suamimu hingga masa iddah habis.” saya pun melakukan iddah di sana selama empat bulan sepuluh hari. Utsman pernah mengirim utusan kepada saya untuk menanyakan peristiwa itu lalu saya menceritakannya sehingga ia pun mengambil hukum tersebut.” (HR. al-Khamsah) Hadits ini dishahihkan oleh Tirmidzi.
Dalam riwayat an-Nasa`i dan Ibnu Majah tidak disebutkan redaksi: “Utsman mengirim utusan.” Demikian akhir hadits. Dengan demikian, ibu Anda tidak perlu keluar dari rumah ayah Anda dan berpindah ke rumah baru dengan tujuan yang Anda sebutkan dalam pertanyaan hingga masa iddahnya habis.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.