Pertama, saya perhatikan bahwa banyak jamaah haji dari negara saya yang menunaikan haji atau umrah itu memakai pakaian ihram, artinya berihram ketika sampai di Madinatul Hujjaj (asrama haji).
Bahkan sebagian dari mereka melakukan ihram di hotel-hotel, rumah para kerabat atau rumah teman-teman mereka yang ada di Jeddah.
Karena saya tidak dapat membaca bahasa Arab, saya akan sangat berterimakasih jika Anda menyebutkan ayat-ayat Alquran dan terjemahannya dalam bahasa Inggris yang menjelaskan atau menerangkan bahwa miqat mereka bukan di Jeddah.
Kedua, menurut para jamaah haji tersebut, bahwa ihram yang mereka lakukan tersebut berdasarkan alasan-alasan berikut:
a. Bahwa mereka mengikuti mazhab Syafi`i yang berbeda dengan mazhab-mazhab lain yang menafsirkan ketentuan miqat dengan cara yang berbeda dan agak kaku.
b. Karena Madinatul Hujjaj yang sekarang ada di Jeddah jaraknya lebih dari dua marhalah dari Makkah, maka mereka menganggap bahwa Madinatul Hujjaj tersebut dapat dijadikan miqat.
c. Ketika dijelaskan kepada mereka bahwa mereka telah melewati batas miqat mereka saat dalam perjalanan ke Jeddah, mereka menjawab bahwa mereka tidak lagi menggunakan jalan lama untuk pergi ke Yalamlam, karena mereka menggunakan jalur udara.
d. Mereka yang menganggap kota Jeddah sebagai miqat mereka, berargumen bahwa mereka telah tinggal di hotel-hotel atau rumah para kerabat mereka selama dua atau tiga hari sebelum melakukan perjalanan ke Makkah.
Menurut mereka, menetap sebentar di Jedda ) membuat mereka wajib disifati sebagai orang yang mukim atau pengunjung ke Jeddah, padahal mereka membawa visa haji atau umrah. Berdasarkan pernyataan mereka, sesungguhnya permasalahan miqat atau niat untuk menunaikan haji atau umrah adalah dimulai ketika mereka benar-benar melafalkan dan menampakkan tindakan yang menunjukkan niat tersebut, dan ini dapat dilakukan setelah memakai ihram di Jeddah.
Ketiga, sebagian jamaah haji langsung pergi ke Madinah begitu tiba di Kerajaan Arab Saudi, tanpa memulai berihram, kemudian memakai pakaian ihram dari Madinah setelah itu sebelum pergi ke Makkah. Mohon Anda berkenan memberi bimbingan; apakah hal ini dibolehkan?
Keempat, karena itu saya akan sangat berterimakasih jika Anda sudi memberikan jawaban yang mendasar dan dalil-dalil penguatnya yang diambil dari Alquran untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut, hingga saya dapat menyampaikannya kepada pihak urusan agama Islam di Singapura dan menjelaskan tentang tafsir-tafsir yang salah -jika memang terdapat penafsiran yang salah-.
Jawaban Anda saya tunggu secepatnya, teriring salam hormat.
Pertama, syariat yang suci telah menetapkan miqat-miqat makani. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam telah menetapkan miqat-miqat untuk seluruh penjuru. Disebutkan dalam Shahih Bukhari, dari Ibnu Abbas radhiyallahu `anhuma, dia berkata,
وقت رسول الله صلى الله عليه وسلم لأهل المدينة ذا الحليفة، ولأهل الشام الجحفة، ولأهل نجد قرن المنازل، ولأهل اليمن يلملم، هن لهن ولمن أتى عليهن من غير أهلهن ممن أراد الحج والعمرة، ومن كان دون ذلك فمن حيث أنشأ، حتى أهل مكة من مكة
“Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam telah menetapkan Dzulhulaifah sebagai miqat bagi penduduk Madinah, Juhfah sebagai miqat bagi penduduk Syam, Qarnulmanazil sebagai miqat bagi penduduk Najd, dan Yalamlam sebagai miqat bagi penduduk Yaman. Miqat-miqat tersebut adalah miqat bagi penduduknya dan bagi orang yang bukan penduduknya yang melewatinya karena ingin melakukan haji dan umrah. Dan barangsiapa tinggal di kawasan yang lebih dekat (ke Tanah Haram) dari miqat-miqat tersebut, maka dia berihram dari tempatnya, hingga penduduk Makkah pun berihram dari Makkah).”
Tempat-tempat ibadah haji ini merupakan perkara tauqifiyyah (yang ditentukan syariat), karena itu orang yang melewatinya karena ingin menunaikan haji dan umrah wajib berihram dari miqat tersebut. Jika dia melewatinya tanpa berihram, maka sebelum berihram dia wajib kembali ke tempat tersebut untuk melakukan ihram dari tempat tersebut. Namun jika dia tidak kembali ke miqat, maka dia wajib menyembelih dam untuk memperbaiki manasiknya.
Kedua, jarak antara Tanah Haram dengan tempat ihram tidaklah menjadi patokan, karena tempat-tempat ihram telah ditentukan oleh syariat, sebagaimana telah dijelaskan dalam jawaban pertama.
Ketiga, jika masalahnya adalah bahwa rute udara mereka tidak melewati miqat saat datang ke Tanah Haram untuk menunaikan haji atau umrah, maka mereka berihram ketika posisinya sejajar dengan miqat negeri mereka. Karena kesejajaran tempat dengan miqat dihukumi sama dengan miqat.
Keempat, niat melaksanakan haji dan umrah tidak hanya dengan melafalkannya, akan tetapi yang menjadi patokan adalah kemauan dan kehendak yang terdapat di dalam hati. Apabila seseorang datang ke Tanah Haram untuk berhaji dan umrah karena bermaksud melaksanakannya, maka dia harus berihram dari miqat yang telah ditetapkan oleh syariat. Jika dia melewatinya tanpa berihram maka dia wajib membayar dam untuk memperbaiki manasiknya.
Kelima, jika seseorang yang menunaikan haji atau umrah telah melewati miqat negerinya tanpa melakukan ihram terlebih dahulu, kemudian dia melakukan ihram dari miqat negeri lain, maka dia harus membayar dam. Karena dia telah melewati miqat untuk negerinya tanpa berihram dan berihram dari miqat untuk negeri lain. Sedangkan yang Anda sebutkan bahwa penduduk negeri Anda melakukan ihram dari miqat Madinah, yaitu Dzulhulaifah, maka hal itu tidak apa-apa.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam .