Fatwa Ulama
Fatwa Ulama oleh al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'

hukum nikah syighar

2 tahun yang lalu
baca 6 menit
Hukum Nikah Syighar

Pertanyaan

Nikah syighar tersebar luas di daerah Selatan dan sebagian orang membuat rekayasa karena takut dikejar-kejar. Di antara rekayasa tersebut adalah perbedaan jumlah mahar dan membuat tenggang waktu. Caranya adalah salah satu dari kedua orang tua menikah hari ini dan satu lagi setelah beberapa hari dan yang satu melakukan akad nikah di depan lembaga pemerintah berbeda dengan akad yang dilakukan pada yang satu lagi. Dia meminta fatwa tentang hukum pernikahan ini dan apakah ini tidak termasuk ke dalam nikah syighar? Apalagi dalam syaratnya, Nikahkanlah saya maka saya akan nikahkan Anda, jika tidak, maka tidak.

Jawaban

Sebelumnya telah ditanyakan kepada Yang Mulia Mufti Kerajaan Arab Saudi Syekh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah pertanyaan serupa dan beliau telah menjawabnya. Di sini kita cukupkan dengan jawaban beliau. Untuk penanya berikut ini kami lampirkan teksnya:

Jawaban, Segala puji bagi Allah. Nikah Syighar adalah, Seorang laki-laki menikahkan putrinya dengan syarat orang lain menikahkannya dengan putrinya atau dia menikahkan saudara perempuannya dengan syarat orang lain menikahkan saudara perempuannya dengannya dan tidak ada mahar di antara mereka berdua.

Pernikahan semacam ini disebut syighar karena jeleknya. Kejelekannya diserupakan dengan cara anjing mengangkat kaki ketika kencing. Dikatakan “syagara al-kalbu” (anjing syagar) jika mengangkat kakinya untuk kencing. Seakan-akan masing-masing mengangkat kakinya untuk yang lain dalam rangka memenuhi keinginannya.

Ada yang mengatakan berasal dari kata al-khuluw (kosong), dikatakan: syaghara al-makan jika tempatnya kosong dan al-jihah syaghirah artinya: kosong. Asy-syighar polanya adalah fi’al dan dia berasal dari dua pihak mengosongkan dengan mengosongkan, pernikahan dengan pernikahan.

Tidak ada perbedaan pendapat tentang haramnya nikah syighar dan dia bertentangan dengan syariat Allah sebagaimana ditunjukkan oleh hadis sahih tentang pengharamannya dan ia bertentangan dengan tuntutan syariat. Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Nafi` dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

نهى عن الشغار

“Melarang nikah syighar (seseorang mengawini anak perempuan seseorang lelaki dengan syarat lelaki tersebut dinikahkan dengan anak perempuannya tanpa mahar.”

Nikah syighar adalah: Seseorang mengawini anak perempuan seseorang lelaki dengan syarat lelaki tersebut dinikahkan dengan anak perempuannya tanpa mahar di antara mereka berdua. Dalam Shahih Muslim, dari Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda

لا شغار في الإسلام

“Tidak ada nikah syighar dalam Islam (Seseorang mengawini anak perempuan seseorang lelaki dengan syarat lelaki tersebut dinikahkan dengan anak perempuannya tanpa mahar.”

Dan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah berkata,

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الشغار

“Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam melarang nikah syighar (seseorang mengawini anak perempuan seseorang lelaki dengan syarat lelaki tersebut dinikahkan dengan anak perempuannya tanpa mahar).”

Nikah syighar dengan mengatakan: Nikahkan saya dengan putri Anda, maka saya akan nikahkan putri saya dengan Anda atau nikahkan saya dengan saudara perempuan Anda, maka saya akan nikahkan Anda dengan saudara perempuan saya. Dalam Shahih Muslim dari Ibnu az-Zubair bahwasanya dia telah mendengar Jabir bin Abdillah mengatakan,

نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن الشغار

“Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam melarang nikah syighar (seseorang mengawini anak perempuan seseorang lelaki dengan syarat lelaki tersebut dinikahkan dengan anak perempuannya tanpa mahar).”

Dan dari Abdurrahman bin Hurmuz al-A`raj,

أن العباس بن عبد الله بن عباس أنكح عبد الرحمن بن الحكم ابنته وأنكحه عبد الرحمن ابنته، وقد كانا جعلا صداقًا، فكتب معاوية بن أبي سفيان إلى مروان بن الحكم يأمره بالتفريق بينهما، وقال في كتابه: هذا الشغار الذي نهى عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Bahwa al-`Abbas bin Abdillah bin `Abbas menikahkan Abdurrahman bin al-Hakam dengan putrinya dan Abdurrahman menikahkannya dengan putrinya dan ketika itu terdapat mahar. Kemudian Mu`awiyah bin Abi Sufyan menulis surat kepada Marwan bin al-Hakam memerintahkan Marwan untuk memisahkan antara dua pasangan tadi. Mu`awiyah berkata dalam suratnya, “Ini termasuk bentuk nikah syigar yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Para ulama rahimahullah berbeda pendapat tentang tafsir syighar sebagaimana mereka juga berbeda pendapat tentang keabsahannya. Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nail al-Authar: Nikah syighar ada dua bentuk:

Pertama: Yang disebutkan dalam hadist yaitu setiap pernikahan tanpa mahar.
Kedua: Setiap wali mensyaratkan agar masing-masing menikahkan wanita yang di bawah kewaliannya kepada yang lainnya.

Sebagian ulama memandang haram yang pertama dan melarangnya sementara yang kedua tidak. Ibnu Abdi al-Barr berkata, Para ulama telah sepakat bahwa nikah syighar tidak boleh akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang keabsahannya. Jumhur berpendapat bahwa pernikahannya batil dan dalam riwayat Malik: Dibatalkan sebelum mereka bercampur dan tidak dibatalkan jika mereka telah bercampur.

Ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir dari al-Awza`i. Ulama mazhab Hanafi berpendapat tentang keabsahannya dan mewajibkan mahar. Dan ini adalah pendapat az-Zuhri dan Makhul dan ats-Tsauri dan al-Laits, diriwayatkan dari Ahmad Ishaq Abu Tsaur.

Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam kitab Zad al-Ma’ad mengatakan, “Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Imam Ahmad berpendapat bahwa nikah syighar itu batil, yaitu dia menikahkan orang yang di bawah perwaliannya dengan syarat orang lain menikahkannya dengan orang yang berada di bawah perwaliannya tanpa mahar antara mereka berdua.

Jika mereka menyebutkan mahar, akadnya sah sesuai dengan penamaannya. Al-Kharaqi berkata, “Tidak sah meskipun mereka menyebutkan mahar”. Abu al-Barakat Ibnu Taimiyah dan yang lainnya dari pengikut Ahmad berkata, “Jika mereka menyebutkan mahar dan mengatakan hal itu bahwa kemaluan masing-masing mereka adalah mahar untuk yang lain maka itu tidak sah dan jika mereka tidak mengatakannya maka itu sah”.

Dan dia berkata dalam kitab al-Muharrar: “Siapa yang menikahkan orang yang berada di bawah perwaliannya dengan orang lain dengan syarat orang lain tadi menikahkannya dengan orang yang berada di bawah perwaliannya tanpa mahar maka akadnya tidak sah dan ini yang disebut sebagai nikah syighar.

Dan jika mereka menyebutkan mahar maka akadnya sah sesuai dengan yang dinamakan”. Al-Kharaqi berkata, “Pada dasarnya tidak sah”. Dikatakan, “Jika dia berkata dalam hal ini bahwa kemaluan masing-masing menjadi mahar untuk yang lain, maka itu tidak sah dan jika tidak dikatakan seperti itu, maka ia sah dan inilah yang paling benar”.

Melihat adanya perbedaan dalam masalah ini maka yang paling kuat menurut kami, pernikahan syighar yang nyata dan tidak ada perselisihan pendapat adalah yang berbentuk “Salah seorang tidak ada maharnya. Sebagai mahar, adalah masing-masing mengandalkan kemaluannya atau ada mahar sebagai tipuan”.

Hukum pernikahan seperti ini batal maka akadnya dibatalkan baik sebelum bercampur maupun setelahnya. Syariat Islam datang mengharamkan nikah syighar karena ada unsur bermain-main dengan tanggung jawab sebagai wali dan tuntutan kepadanya untuk memberi nasehat dan membantu dalam memilihkan seorang baginya yang dapat membahagiakannya di kehidupan dunia dan akhirat.

Seorang wali mestinya memperlakukan orang yang berada di bawah perwaliannya bertujuan untuk kebaikan, penuh perhatian dan memberikan bimbingan bukan untuk kepentingan pemuasan syahwat, ingin menguasai dan menyia-nyiakannya. Orang yang berada dalam perwaliannya itu tidaklah sama posisinya dengan budaknya atau hewan peliharaannya ataupun hak miliknya yang bisa digunakan semaunya saja.

Orang itu adalah amanah di pundaknya, dan dia berkewajiban untuk menikahkannya dengan lelaki yang sepadan dan dengan mahar yang layak. Setiap pemimpin bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya.

Maka tatkala seorang wali melalaikan hal yang berkaitan dengan kebaikan orang yang di bawah perwaliannya dengan lebih mengedepankan kepentingannya dengan cara menggantinya dengan harta atau istri atau menghalanginya dari pernikahan seraya menunggu seorang yang dapat memberinya apa yang diinginkannya maka perwaliannya itu gugur.

Dan yang berhak menjadi walinya adalah orang yang mempunyai perhatian terhadap kebaikan orang yang berada di bawah perwaliannya, di antara orang yang paling utama menjadi walinya.

Adapun yang disebutkan olen penanya bahwa nikah syighar tersebar di kabilah Bani al-Harits dan kabilah-kabilah lainnya maka sesungguhnya menjadi kewajiban bagi mereka yang mempunyai kepedulian dengan kemaslahatan kaum Muslimin untuk mencegah hal itu dengan lisan.

Jika mereka tetap tidak mengabaikan teguran, maka hal ini bisa dilaporkan kepada pemerintah. Pemerintah dengan izin Allah akan memperlihatkan kebenaran dan memusnahkan kebatilan serta menjaga Islam dan kesuciannya, ilmu dan segala tuntutannya.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Oleh:
al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'
Sumber Tulisan:
Hukum Nikah Syighar