Fatwa Ulama
Fatwa Ulama oleh al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'

hukum mendirikan shalat jumat bagi orang yang sedang bepergian

3 tahun yang lalu
baca 4 menit
Hukum Mendirikan Shalat Jumat Bagi Orang Yang Sedang Bepergian

Pertanyaan

Apa hukum mendirikan salat Jumat bagi para prajurit yang berada di kamp-kamp militer yang tersebar di berbagai tempat? Para prajurit tersebut selalu berjaga-jaga di setiap waktu. Kamp-kamp tersebut berbentuk bangunan dan perkemahan, hampir seperti sebuah desa yang menetap. Sedangkan para prajurit yang ada di dalamnya terkadang berpindah-pindah dan bergantian dengan satu sama lain. Awalnya mereka mendirikan salat Jumat di kamp-kamp tersebut, akan tetapi kemudian sejumlah penuntut ilmu berbeda pendapat dengan mereka. Di antara mereka ada yang menganggap keliru salat Jumat yang mereka lakukan dan di antara mereka ada yang membolehkannya. Ini membuat mereka bingung untuk memilih pendapat yang mana.

Jawaban

Iqamah (tidak bepergian) memiliki hukum tersendiri dan safar (bepergian) juga memiliki hukum tersendiri. Salat Jumat adalah permasalahan hukum agama yang menjadi konsekuensi bagi orang yang tidak bepergian, sehingga dilakukan dua rakaat. Sedangkan orang yang bepergian tetap melakukan shalat Zuhur.

Mengingat Yang Mulia Mufti Syekh Muhammad bin Ibrahim Rahimahullah Ta`ala telah mengeluarkan fatwa umum tentang boleh tidaknya bagi para prajurit yang berjaga-jaga di perbatasan untuk mengqashar dan menjamak shalat, maka Komite Tetap memandang perlu menyebutkan fatwa beliau tersebut, karena secara umum paparan beliau mencakup jawaban bagi pertanyaan di atas.

Dan berikut ini isi fatwa beliau:

“Pada dasarnya, orang yang tidak bepergian melakukan shalat secara penuh, dan musafir mengqasharnya. Dan, menetap di suatu tempat yang dilakukan oleh musafir ada dua macam:

Pertama, menetap di suatu tempat tanpa adanya niat untuk tinggal di sana dalam jumlah hari tertentu. Keberadaannya di tempat itu tergantung kebutuhan. Dia tidak tahu kapan keperluannya untuk berada di tempat itu berakhir.

Jika keperluannya telah terpenuhi, maka dia akan meninggalkan tempat tersebut. Dalam kondisi seperti ini, dia boleh mengambil rukhshah (keringanan) dalam bepergian, seperti mengqashar shalat dan yang lainnya, selama dia menetap di tempat tersebut, baik lama ataupun sebentar.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam, bahwa beliau menetap di Makkah ketika Fathu (pembebasan) Makkah selama sembilan belas hari, dan beliau mengqashar shalat selama itu. Beliau juga pernah menetap di Tabuk selama dua puluh hari dan beliau selalu mengqashar shalat ketika itu.

Para ulama menyimpulkan bahwa dalam kedua peristiwa tersebut tidak ada niat dari Nabi Shallallahu `Alahi wa Sallam untuk menetap selama itu. Peristiwa lain yang serupa adalah yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa dia menetap di Azerbaijan selama enam bulan karena terkepung salju. Selama itu pula dia selalu mengqashar shalat.

Kedua, musafir yang ingin menetap di suatu tempat selama beberapa hari dan tidak meninggalkan tempat itu selama waktu yang telah dia tentukan. Ini terbagi menjadi dua jenis:

Jenis pertama, dia menetap di tempat tersebut selama empat hari atau kurang. Terdapat dalil yang menunjukkan bahwa orang tersebut boleh mengambil rukhshah safar (bepergian), seperti mengqashar shalat dan yang lainnya.

Ini berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam mengqashar shalat selama menetap di Makkah ketika menunaikan Haji Wada`. Beliau memasuki Mekah pada hari keempat Dzul Hijjah dan beliau meninggalkannya menuju Mina pada hari kedelapan. Dapat dipastikan bahwa beliau memang berniat untuk menetap di Makkah selama itu.

Jenis kedua, dia menetap di tempat tersebut lebih dari empat hari. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum masalah ini. Di antara mereka ada yang membolehkannya mengqashar shalat dan melakukan hal-hal lain yang merupakan rukhshah safar.

Mereka berdalil dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam mengqashar shalat di Makkah ketika Fathu Makkah dan beliau juga mengqashar shalat di Tabuk. Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam mengqashar shalat selama menetap di tempat-tempat tersebut dan jumlahnya lebih dari empat hari.

Namun di antara para ulama ada yang melarangnya. Mereka berdalil dengan hukum asal yang telah disebutkan bahwa pada dasarnya orang yang tidak bepergian harus menyempurnakan shalat. Akan tetapi, dibolehkan mengqashar shalat bagi orang yang berniat menetap selama empat hari atau kurang dari itu.

Ini didasarkan pada riwayat sahih dari Nabi Shallallahu `Alahi wa Sallam mengenai masalah tersebut ketika Haji Wada`. Sedangkan jika ingin menetap lebih dari empat hari, maka tidak ada dalil yang shahih yang lepas dari dalil lain yang bertentangan dengannya.

Jika masih ada berbagai kemungkinan, maka ia tidak dapat dijadikan dalil. Dalam kondisi ini, kita harus kembali kepada hukum asal bagi orang yang tidak bepergian, yaitu shalat dengan rakaat sempurna.

Adapun pendapat kami dalam masalah ini adalah mengamalkan pendapat yang lebih hati-hati. Yaitu bahwa orang yang Anda contohkan di atas tidak boleh mengambil rukhshah safar (bepergian) karena mereka telah berniat untuk menetap selama satu tahun penuh.”

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Oleh:
al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'