Orang dengan keterbelakangan mental yang kehilangan akal sehat dan tidak dapat sadar dalam jangka waktu yang cukup melaksanakan salat, puasa, atau haji, maka kewajiban-kewajiban agama seperti itu menjadi gugur untuknya.
Sebab, dia termasuk orang yang tidak terkena perintah. Ini berdasarkan hadits riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Pena diangkat (kesalahan tidak diperhitungkan) dari tiga golongan, yaitu: orang yang tertidur sampai dia bangun, anak kecil sampai dia balig, dan orang yang gila sampai kembali waras”
Dalam riwayat lain disebutkan,
“Hingga dia sadar.”
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Al-Musnad, dan diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah dalam kitab Sunan mereka.
Jika penderita retardasi mental memiliki kesadaran dalam waktu yang cukup untuk melaksanakan salat, puasa Ramadhan, atau haji ketika mampu melakukannya, maka dia wajib melaksanakan ibadah-ibadah tersebut pada saat sadar karena penghalangnya sudah hilang.
Seluruh harta yang ditinggalkan oleh orang tersebut berpindah kepada ahli warisnya dan harus dibagikan sesuai dengan syariat Allah. Ibu Anda tidak boleh mengambil sedikit pun dari harta peninggalan mendiang, sebagai imbalan atas upaya pemeliharaan dan perawatannya selama ini.
Ibu Anda hanya boleh mengambil bagian waris yang menjadi haknya setelah ditentukan jatah masing-masing ahli waris oleh pengadilan agama.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.