Pertama, barangsiapa masuk agama Islam dan menyembunyikan identitas keislamannya karena khawatir ada bahaya, maka hendaknya ia berusaha menjelaskan kebaikan Islam kepada orang yang ia takuti tersebut tanpa menampakkan bahwa ia telah masuk agama Islam.
Hendaknya ia juga mendoakan orang tersebut mendapatkan hidayah dari Allah Ta’ala agar melapangkan dadanya untuk menerima kebenaran Islam, sehingga dengan demikian ia akan mendapatkan banyak kebaikan dengan keislamannya dan mencegah bahaya yang ia takutkan.
Jika orang tersebut belum mendapatkan hidayah dari Allah dan bahaya tetap mengancam dirinya, atau karena negara tersebut tidak mengizinkan untuk menampakkan keislaman, maka ia wajib berhijrah ke negeri kaum Muslimin jika mampu. Allah Ta’ala berfirman,
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (QS. An-Nisaa’: 100)
Maksudnya adalah ia mendapatkan tempat pindah dan terlepas dari perkara yang tidak ia sukai, serta mendapat keluasan dari kesesatan menuju hidayah, dari sempit menuju lapang, dan dari fakir menuju kaya.
Adapun jika ia tidak mampu untuk berhijrah, seperti orang yang tertindas, maka Allah Ta’ala mengampuninya, seperti orang yang dihalang-halangi untuk berhijrah, atau ia adalah seorang wanita. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu tempat kembali yang paling buruk.(97) kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki, wanita maupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah)(98) Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisaa’: 97-99)
Maknanya, mereka tidak mempunyai kemampuan secara fisik dan finansial, serta tidak mengetahui jalan menuju tempat hijrah seandainya ia keluar untuk berhijrah.
Kedua, jika seorang wanita tidak memiliki kemampuan, maka hendaknya ia menghubungi pusat-pusat Islam di negerinya jika ada, boleh jadi di sana ia mendapatkan solusi permasalahannya.
Jika tidak ada pusat-pusat Islam, maka ia harus bersabar dan menunggu solusi dari Allah Ta’ala, serta senantiasa meminta kepada Allah Ta’ala agar Dia memberikan kemudahan bagi perkaranya. Jika ia melakukan semua hal itu maka ia akan mendapatkan pahala. Ia juga harus senantiasa berpegang teguh dengan prinsip-prinsip, hukum-hukum, dan kewajiban-kewajiban Islam sesuai kemampuannya, berdasarkan firman Allah Subhanahu,
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghaabun: 16)
Dan sabda Nabi shallallahu `alaihi wa sallam,
“Bila aku perintahkan kamu suatu perkara maka laksanakanlah semampumu.” (Muttafaq ‘Alaihi)
Ketiga, jika seorang suami masuk agama Islam dan istrinya tetap kafir, maka jika istrinya tersebut kafir kitabiyah (ahlulkitab), yaitu beragama Yahudi atau Nasrani, maka ia boleh meneruskan bahtera rumah tangganya bersama istrinya, karena hukum asalnya, seorang Muslim boleh menikah dengan wanita ahlulkitab, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Pada hari ini yang baik-baik dihalalkan bagimu. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelummu” (QS. Al-Maaidah: 5)
Adapun jika istrinya tersebut bukan wanita ahlulkitab maka ia tidak boleh meneruskan bahtera keluarga bersamanya, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Jika si istri masuk agama Islam, sedangkan suami tetap kafir, maka wanita tersebut tidak halal baginya, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Dan jika wanita (istri) tersebut terpaksa dan tidak mampu untuk meninggalkan suaminya, maka hendaknya ia bersabar hingga ada solusi, sebagaimana kesabaran wanita-wanita generasi Islam pertama. Di antara wanita-wanita generasi Islam pertama adalah Zainab radhiyallahu ‘anha puteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah ia masuk agama Islam, ia tetap berumah tangga dengan suaminya Abul `Ash bin Rabi` sebelum ia masuk agama Islam, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mampu menceraikan keduanya, hingga akhirnya Zainab menemui beliau dan memisahkan diri dari suaminya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikannya lagi kepada suaminya setelah ia masuk agama Islam.
Keempat, mengenai anak-anak, hendaknya mereka mengikuti salah seorang dari kedua orang tua yang paling baik agamanya. Jika salah seorang dari kedua orang tua beragama Islam maka seluruh anaknya yang masih kecil dihukumi beragama Islam, karena anak kecil mengikuti salah seorang dari kedua orang tua yang paling baik agamanya.
Kelima, seorang wanita wajib memakai hijab dari penglihatan kaum lelaki asing (bukan mahram), menjauhi segala hal yang dapat menampakkan perhiasannya, senantiasa berada di rumah, dan tidak keluar rumah melainkan karena kebutuhan dengan tetap menutup aurat dan menjaga diri. Jika waktu salat datang ketika ia berada di luar rumah, maka hendaknya ia menjauhi kaum lelaki untuk menunaikan shalat.
Alasan yang disampaikan di dalam pertanyaan tidak dianggap dapat membolehkan ia untuk tidak berdiri. Karena berdiri saat mampu merupakan salah satu rukun salat, dan saat itu dia mampu untuk berdiri.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.