Hal yang wajib dilakukan oleh laki-laki tersebut, atau pekerja haram lainnya, adalah berlepas diri dari harta-harta yang diperoleh melalui pekerjaan haram tersebut dengan cara menginfakkannya ke jalan-jalan kebaikan. Misalnya bersedekah kepada fakir miskin, membantu para mujahid di jalan Allah, menolong orang-orang yang terlilit hutang namun tidak mampu melunasinya, membantu orang-orang yang ingin menikah namun tidak memiliki biaya, dan lain sebagainya.
Jika dia mewakafkan gedung, tanah, dan lahan pertanian itu untuk pembangunan masjid, atau tempat tinggal para muadzin dan imam, maka ini tepat. Sebab ini juga merupakan tindakan berlepas diri dari harta yang diperoleh melalui jalan haram, dengan dimanfaatkan kepada hal-hal yang berguna bagi kaum Muslimin.
Adapun mengenai akad pernikahannya, maka itu telah sah. Kewajiban yang harus dia lakukan adalah membersihkan diri dari sejumlah mahar yang diberikan kepada istrinya. Besarnya mahar tersebut harus diambil dari harta halal, lalu diserahkan untuk melakukan hal-hal baik seperti yang telah dicontohkan di atas, atau kebajikan-kebajikan lain.
Selain itu, dia harus mengiringinya dengan tobat yang tulus (nasuha). Dia harus berpikir positif bahwa Allah akan mengganti seluruh harta kotor itu dengan yang lebih baik, karena dia telah bertakwa kepada Allah dan tobat sebenar-benarnya. Allah telah berfirman,
“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.(2) dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya” (QS. Ath-Thalaaq : 2-3)
Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman,
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath-Thalaaq : 4)
Semoga Allah memberi kekuatan kepada kita untuk melakukan tobat nasuha dan menerimanya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Mahadekat.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.