Apabila orang yang berpisah ranjang dengan istrinya lebih dari tiga bulan itu karena tindakan nuzuz istrinya, yaitu dia menolak memenuhi hak suami yang semestinya dia jalankan, dan dia bersikeras melakukannya meskipun telah dinasihati oleh sang suami, ditakut-takuti dengan ancaman Allah Ta’ala, dan diingatkan tentang hak-hak suami yang harus dipenuhinya, maka dia boleh pisah ranjang dengannya sesuai keinginannya, sebagai pelajaran bagi sang istri hingga mau menunaikan hak-hak suaminya secara sukarela.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berpisah ranjang dan tidak berkumpul dengan istri-istrinya selama satu bulan. Untuk masalah berbicara, dia tidak boleh mendiamkannya lebih dari tiga hari, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis sahih Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul bersabda,
“Dan tidak halal (boleh) seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.”
(HR. Bukhari dan Muslim di dalam Shahih keduanya, dan Ahmad di dalam Musnad-nya). Adapun jika seorang suami berpisah ranjang dengan istrinya lebih dari empat bulan dan itu membahayakan istrinya tanpa ada kesalahan dari pihak istri dalam menunaikan hak-hak suaminya, maka dia seperti orang yang melakukan ilaa’ (bersumpah tidak menggauli istri) walaupun dia tidak bersumpah dengan ilaa’ dan dia diberi tenggang waktu seperti dalam ilaa’.
Jika sudah lebih dari empat bulan dan dia tidak mau kembali atau menggauli istrinya padahal dia mampu berhubungan badan dan sang istri tidak sedang haid atau nifas, maka dia diminta menceraikan istrinya. Jika dia tidak mau kembali atau menceraikan istrinya, maka hakim berhak menceraikannya atau membatalkan perkawinan istri dengan suaminya jika sang istri meminta hal tersebut.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.