Ayah saya menikah dengan seorang perempuan dan mendapatkan empat orang anak perempuan darinya. Satu di antaranya telah menikah dan lainnya telah mencapai usia balig. Ia juga mendapatkan empat orang anak laki-laki yang katanya anak tertuanya telah disusui oleh bibi (adik perempuan ayah) bersama anaknya.
Maka, sesuai pemahaman mereka, keempat anak perempuan itu telah menjadi saudara sesusuan dengan anak bibi saya. Lalu ayah menikah lagi dengan ibu saya yang darinya ia mendapatkan saya dan anak perempuan. Tetapi ia kemudian meninggal dunia semoga Allah merahmatinya.
Lalu ayah menikah lagi dengan isterinya yang ketiga dan mendapatkan seorang anak perempuan, yang kemudian anak itu dinikahi oleh anak bibi saya yang disebutkan di atas. Anak bibi itu tinggal di Abha sementara ayah dan saudara-saudara perempuan saya tinggal di Jizan.
Setelah anak bibi itu menikahi saudara perempuan saya dari ibu ketiga, ia membawa saudara perempuan saya dari ibu pertama sejak umurnya tujuh tahun. Ia hidup bersamanya hingga berumur 13 tahun. Setelah itu ia kembali ke rumah ayah. Kini adik perempuan saya itu menganggap anak bibi yang membesarkannya sebagai ayahnya.
Ia pergi bersamanya ketika larut malam tanpa ditemani mahramnya dari Jizan ke Abha. Di depan anak bibi tersebut, ia menyingkap pakaiannya pada bagian betis jika merasa gatal. Ia juga menciumnya di hadapan kami karena menganggapnya sebagai ayahnya. Kini, adik saya tersebut telah berumur 17 tahun dan umur anak bibi 36 tahun.
Masalahnya sekarang adalah anak bibi itu tinggal di rumah kami di Jizan. Ia bercanda dengan seluruh saudara perempuan dan ayah saya di depan kami. Ia pun kadang berkhalwat (berduaan) bersama salah satu saudara perempuan saya dan pergi bersama mereka tanpa mahram baik sendiri atau bersama-sama ke Jeddah atau ke Abha.
Jika salah satu dari mereka sakit ia membawanya dengan kedua tangannya ke mobil lalu membawanya ke rumah sakit. Sungguh saya Allah tahu itu berpendapat bahwa ia bukan mahram bagi saudara-saudara perempuan saya. Saya telah menjelaskan kepada ayah bahwa itu adalah sebuah kesalahan. Tapi ia menjawab, “Ya, itu memang salah. Tetapi adat kebiasaan kita, sebagaimana kamu ketahui, wahai anakku, menganggap biasa seorang tetangga lelaki bertemu tetangganya yang perempuan.
Begitu pula, kebiasaan kita menganggap anak bibi sebagai anggota keluarga sendiri.” Selain anak bibi saya, memang kebanyakan para tetangga kami yang telah mencapai usia balig masuk rumah kami tanpa permisi dan bertemu dengan semua saudara perempuan saya tanpa terbetik penyimpangan tindakan mereka itu dalam pikiran ayah.
Ditambah lagi, ayah saya semoga Allah memberinya hidayah tidak menerima perdebatan dalam masalah ini. Ia menjawab itu semua dengan berkata, “Mereka adalah anak-anak perempuanku sendiri. Kalian tidak memiliki kuasa atas mereka selama aku masih hidup.” Di sisi lain, ayah semoga Allah memberinya balasan kebaikan dan memaafkannya tidak mendukung saya dalam kecemburuan saya yang positif ini.
Jika ia menemukan saya bersama salah satu saudara perempuan saya di sebuah ruangan membicarakan suatu masalah tertentu, misalnya, yang kami tidak ingin seorang pun mengetahuinya maka ia akan marah dan menyebutkan hadis
لا يحل لرجل أن يختلي بامرأة ولو كانت ذا محرم
"Tidak halal bagi seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita walaupun ia adalah mahram."
Oleh karena itu, saya berharap Anda dapat memberikan penjelasan kepada saya mengenai beberapa hal berikut: apakah anak bibi saya boleh bercanda dengan saudara-saudara perempuan saya baik dengan tindakan maupun dengan ucapan serta berkhalwat dengan salah satu dari mereka selama ayah saya membiarkannya?
Apakah para tetangga dan anak-anak kerabat yang bukan mahram boleh masuk ke dalam rumah tanpa izin dan menemui para saudara perempuan saya? Apakah saya dan saudara lelaki saya yang lain boleh berkhalwat dengan salah satu saudara perempuan kami atau pergi dengan mereka tanpa mahram yang lain? Apakah apa yang saya ingkari dari keadaan rumah kami adalah benar atau salah?
Apakah yang harus saya lakukan hingga saya tidak terjerumus dalam maksiat akibat apa yang saya saksikan dari keadaan yang saya sebutkan? Dan apa solusi untuk masalah di atas? Semoga Allah memberikan taufik kepada Anda untuk melakukan hal-hal yang dicintai dan diridai-Nya.
Pertama, penyusuan saudara lelaki tertua kepada bibi Anda jika berjumlah lima kali susuan atau lebih dalam batasan usia dua tahun maka dengan penyusuan itu berarti ia telah menjadi anak baginya (bibi) dan saudara bagi anak-anaknya. Penyusuan itu tidak ada kaitannya dengan para saudara perempuan dari anak yang disusui tersebut. Mereka tidak menjadi mahram bagi anak bibi mereka.
Kedua: Diharamkan menyentuh perempuan yang bukan mahram dan berjabat tangan dengannya. Anak bibi yang disebutkan merupakan lelaki yang bukan mahram bagi saudara perempuan Anda.
Ketiga: Diharamkan masuknya lelaki yang bukan mahram kepada kaum perempuan, seperti paman suami (baik saudara ayah maupun saudara ibu), saudara suami, anak paman dan bibi serta tetangga. Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda,
إياكم والدخول على النساء. فقيل: أرأيت الحمو؟ فقال: الحمو: الموت
“”Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita!”. Lalu beliau ditanya: “Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami?” Maka beliau bersabda: “Mereka adalah kematian”.”
Keempat: Seorang perempuan diharamkan melakukan perjalanan tanpa ditemani mahramnya atau pergi dengan seseorang yang bukan mahramnya, seperti anak paman, bibi dan lain sebagainya.
Kelima: Anda harus menasehati ayah Anda dengan sopan dan menerangkan hukum Allah dengan lembut dan penuh kasih sayang. Semoga Allah memberinya hidayah. Berikanlah fatwa ini kepadanya dan –insyaallah– ia tidak akan melanggarnya.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.