Pertama, wajib bagi seorang Muslim untuk menyampaikan ilmu yang dia miliki, baik sedikit maupun banyak, kepada orang yang tidak mengetahuinya. Kondisi ini tidak terbatas waktu dan kadar ilmu apa pun, tergantung kebutuhan untuk menjelaskan kapasitas keilmuan yang dia miliki, dan menyampaikannya.
Bahkan, hukumnya menjadi wajib jika tidak ada orang lain yang menyampaikan dan menjelaskan agama selain dia. Ini untuk meneladani Rasulullah Shalallahu `Alaihi wa Sallam, dan mengamalkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, dan Tirmidzi, dari Abdullah bin `Amr dari Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam yang bersabda,
“Sampaikanlah (ilmu) yang telah kalian terima dariku, walaupun hanya berupa satu ayat Alquran.”
Ada pula hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban, dari Ibnu Mas`ud radhiyallahu `anhu, bahwa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda,
“Semoga Allah Ta`ala memberikan cahaya pada wajah seseorang yang mendengarkan sesuatu dari kami (Rasulullah), lalu menyampaikannya (kepada orang lain) sesuai dengan apa yang dia dengarkan. Boleh jadi orang yang menjadi objek penyampaian itu lebih memahami dari yang mendengar (langsung).”
Hadis ini juga diriwayatkan melalui banyak jalur (sanad), dengan redaksi yang berbeda-beda. Selain beberapa tujuan di atas, ini juga untuk menjauhi ancaman yang dijanjikan Allah kepada orang yang menyembunyikan ilmu, seperti dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk yang telah Kami turunkan, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati,(159) Kecuali mereka yang telah bertaubat, mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah : 159-160)
Diharamkan baginya untuk menyampaikan apa yang tidak dia ketahui, atau menganjurkan hal-hal yang tidak dia pahami. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raaf : 29-31)
Dan firman-Nya,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al-Israa’ :36)
Serta dalil-dalil serupa, yang menganjurkan untuk menyampaikan ilmu dan melarang membuat pernyataan mengenai masalah agama tanpa didasari ilmu.
Kedua, ilmu-ilmu Islam itu bermacam-macam. Di antaranya ilmu tauhid dan pembagiannya: tauhid rububiyyah, tauhid ibadah (uluhiyyah), serta tauhid asma’ dan sifat Allah.
Ada pula ilmu fikih beserta cabang-cabangnya, seperti fikih ibadah (shalat, puasa, zakat dan haji), fikih muamalat (jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain), al-ahwal asy-syakhshiyyah/hubungan individu dan hak kebendaan di lingkungan keluarga (nikah, wakaf, waris, dan lain-lain), hukum pidana, serta penerapan sanksi dan hukuman.
Ada pula ilmu mengenai etika berperilaku dan akhlak. Setiap cabang ilmu tersebut telah dimuat dalam karya-karya ulama, yang telah masyhur di kalangan para penuntut ilmu, yang akan dijelaskan selanjutnya.
Ketiga, untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut terlebih dahulu harus mempelajari Alquran dan merenungkan makna-maknanya. Di samping itu, harus dengan mempelajari sunah Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam, memahaminya kualitasnya apakah sahih atau daif, memahami makna-maknanya, dan mengambil hukum (istimbath).
Selain itu, mempelajari kitab-kitab fikih karya ulama pilihan yang belajar Alquran dan Sunah, serta mengambil hukum dari kitab-kitab tersebut. Di antara kitab-kitab tersebut ada yang ringkas, panjang lebar, mudah dipahami, bahkan sulit dimengerti.
Setiap orang dapat membacanya sesuai dengan kemampuan akal, kapasitas intelektual yang pernah diperoleh, dan kebutuhan dalam hidupnya. Seorang pemula hendaknya membaca kitab yang telah diringkas dan mudah, seperti Tafsir Syekh Abdurrahman as-Sa`di, Tafsir Ibnu Katsir, Subulus Salam karya ash-Shan`ani, Syarh Bulughul Maram li Ahadits al-Ahkam karya Ibnu Hajar al-`Asqalani.
Ada juga kitab `Umdah al-Fiqh dan al-Kafi karya Ibnu Qudamah tentang fikih, kitab al-Adab asy-Syar’iyyah karya Ibnu Muflih, kitab al-‘Aqidah al-Wasithiyyah karya Ibnu Taimiyah, kitab at-Tauhid dan Kasyf asy-Syubuhat karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab.
Seorang ulama atau penuntut ilmu hendaklah memilih kitab yang bermanfaat bagi dirinya dan meminta nasihat ulama terpercaya. Termasuk di antara kitab-kitab yang dijadikan rujukan adalah Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari, Fathul Bari karya Ibnu Hajar yang merupakan syarh (ulasan) dari kitab Shahih Bukhari, Syarh Nawawi dari kitab Shahih Muslim, kitab al-Umm karya asy-Syafi`i, al-Mughni karya Ibnu Qudamah, Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd, dan lain sebagainya.
Orang yang ingin mempelajari ilmu apa pun wajib didampingi guru, baik yang sifatnya sains, teoritis, maupun praktis. Ini merupakan hukum alam bagi setiap manusia, baik muslim maupun kafir.
Akan tetapi, dibutuhkan kerja sama mereka untuk memenuhi kebutuhan akan ilmu pengetahuan karena terdapat perbedaan persiapan, penguasaan ilmu, dan sarana yang membantu untuk memahami hukum-hukum (konsep keilmuannya). Adapun ilmu yang mudah, hendaklah dipelajari sendiri dengan terus mengulang-ulang dengan tepat.
Sedangkan ilmu yang susah dipahami hendaklah diupayakan agar mencari bantuan kerabat yang paham, atau bertanya kepada orang yang kompeten, dalam hal ini ulama yang terpercaya.
Keempat, seorang da’i hendaknya memulai dakwah dengan memberi petunjuk kepada manusia tentang kebenaran, mengajarkan tauhid, dasar-dasar ibadah, pengetahuan yang diperlukan dalam muamalah (interaksi sosial dan ekonomi), dan lain-lain. Aktifitas ini mesti dilakukan dengan bijaksana, menggunakan nasihat yang santun, dan berdiskusi positif, yang tujuannya agar kebenaran sampai kepada mereka. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala,
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Naml : 29-31)
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.