Alhamdulillah Wahdahu (segala puji hanyalah bagi Allah saja). Selawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad yang tidak ada nabi setelahnya, keluarga, dan sahabatnya.
Amma ba`du. Mengingat akidah yang benar adalah pokok agama Islam dan pondasi bagi agama ini, maka saya melihat perlunya menjadikan permasalahan ini sebagai tema ceramah kali ini. Berdasarkan dalil-dalil syariat dari Al-Qur’an dan sunah, diketahui bahwa perbuatan dan ucapan hanya diterima jika berangkat dari akidah yang benar.
Apabila akidah yang mendasarinya tidak benar, maka semua perbuatan dan ucapan yang dilahirkannya menjadi tidak diterima. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala:
“Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka terhapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah:5)
dan firman Allah Ta’ala:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya amalmu akan terhapus dan kamu pasti akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar:65)
Ayat-ayat dalam pengertian ini banyak sekali. Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunah Rasul-Nya, semoga selawat dan salam yang terbaik dari Allah senantiasa tercurah kepadanya, menunjukkan bahwa akidah yang benar terangkum dalam iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul, hari kiamat, dan takdir yang baik dan yang buruk.
Keenam hal ini merupakan pokok akidah yang benar yang dibawa Al-Qur’an dan diemban oleh rasul-Nya, Muhammad Shallallahu `alaihi wa Sallam. Semua yang wajib diimani merupakan cabang dari keenam pokok ini, seperti hal-hal gaib dan seluruh yang diberitahukan oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu `alaihi wa Sallam.
Dalil keenam perkara pokok ini sangat banyak di dalam Al-Qur’an dan sunah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi.” (QS. al-Baqarah:177)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya” (QS. al-Baqarah:285)
Dan seterusnya serta firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. an-Nisaa’:136)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh)? Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. al-Hajj:70)
Hadis-hadis sahih yang menunjukkan keenam pokok tersebut juga sangat banyak. Di antaranya adalah hadis terkenal yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya dari Amirul Mukminin Umar Ibnu al-Khaththab radhiyallahu `anhu:
“Bahwa Jibril ‘Alaihis Salam bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang iman lalu Nabi menjawab, “Iman adalah beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, Kitab-kitab Suci-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.””
Dan seterusnya. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Syaikhan (Imam Bukhari dan Imam Muslim) dengan sedikit perbedaan redaksi dari Abu Hurairah. Dari keenam pokok inilah bercabang semua hal yang wajib diyakini oleh seorang Muslim dalam hal yang berkenaan dengan hak Allah Subhanahu wa Ta`ala, kebangkitan kembali, dan perkara-perkara gaib lainnya.
Bagian dari iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah beriman bahwa Dia adalah Tuhan yang sebenarnya yang berhak untuk disembah, bukan yang lainnya.
Hal ini karena Dia-lah Sang Pencipta para hamba, Yang berbuat baik kepada mereka, memberi rezeki kepada mereka, mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka tampakkan, dan mampu memberikan pahala kepada para hamba-Nya yang patuh dan menghukum mereka yang membangkang.
Karena tujuan ibadah inilah, Allah menciptakan jin dan manusia dan Dia memerintahkan mereka untuk menunaikannya. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.(56) “Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.”(57) “Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. adz-Dzariyat:56-58)
Dan Allah Ta’ala berfirman
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.”(21) “Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah:21-22)
Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab untuk menjelaskan kebenaran ini dan untuk mengajak manusia menerimanya serta memperingatkan mereka agar menjauhi hal-hal yang bertentangan dengannya. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul kepada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”” (QS. an-Nahl:36)
Allah Ta’ala berfirman
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku oleh kamu sekalian”
“ (QS. al-Anbiya’:25)
Allah `Azza wa Jalla berfirman
“(inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu(1) “Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa khabar gembira kepadamu daripada-Nya.”” (QS. Hud:1-2)
Hakikat ibadah adalah mempersembahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala semata semua bentuk penghambaan (ibadah), seperti doa, rasa takut, pengharapan, salat, puasa, kurban, dan nazar dengan maksud menundukkan diri kepada-Nya, berharap, dan takut kepada-Nya disertai dengan kecintaan sepenuhnya kepada-Nya dan kerendahan diri terhadap keagungan-Nya. Mayoritas ayat Al-Qur’an al-Karim berbicara tentang pokok yang agung ini, seperti firman Allah Ta`ala
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.(2) Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. az-Zumar:2-3)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia.” (QS. al-Isra’:23)
Serta firman Allah `Azza wa Jalla
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya).” (QS. al-Mu’min:14)
Dalam Kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim ada riwayat dari Mu`adz radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Hak Allah atas para hamba adalah mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.”
Bagian dari iman kepada Allah adalah beriman dengan seluruh perkara yang diwajibkan dan difardukan oleh Allah kepada para hamba-Nya, seperti lima rukun Islam, yaitu bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan melaksanakan haji ke Baitullah al-Haram, dan perkara-perkara fardu lainnya yang ditetapkan di dalam syariat Islam.
Adapun rukun yang paling penting dan paling agung adalah bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Kesaksian bahwasanya tiada Tuhan selain Allah berkonsekuensi pada memurnikan ibadah kepada Allah semata dan menafikan ibadah tersebut dari selain Dia. Inilah makna kalimat “Laa Ilaaha Illallah.” Makna kalimat ini adalah tidak ada yang berhak disembah selain Allah.
Dengan demikian, semua yang disembah selain Allah, baik manusia, malaikat, jin atau yang lainnya adalah sesembahan secara batil. Yang benar-benar berhak disembah hanyalah Allah sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang bathil” (QS. al-Hajj:62)
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan jin dan manusia untuk tujuan yang mendasar ini dan memerintahkan mereka untuk menunaikannya. Allah juga mengutus para rasul-Nya dan menurunkan Kitab-kitab-Nya untuk menyampaikan hal ini.
Oleh karena itu, pikirkanlah hal itu dengan baik dan renungilah secara mendalam agar Anda tahu betapa kebanyakan kaum Muslimin sangat tidak mengetahui perkara pokok yang utama ini sehingga mereka menyembah hal lain bersama Allah dan mempersembahkan hak-Nya semata kepada yang lain. Hanya Allahlah tempat meminta pertolongan terhadap keadaan ini.
Bagian dari iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah beriman bahwa Dialah Pencipta alam, Pengatur urusan semua makhluk-Nya, dan dan Pengontrol mereka dengan ilmu dan kekuasaan-Nya sesuai dengan kehendaknya, bahwa Dialah Pemilik dunia dan akhirat dan Rab seluruh alam, yang tidak ada pencipta selain Dia, dan tiada Rab selain Dia, bahwa Dia mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab untuk memperbaiki seluruh hamba-Nya dan mengajak mereka kepada apa yang mengandung keselamatan dan kebaikan bagi mereka, baik di dunia maupun di akhirat, dan bahwa dalam semua ini Dia tiada bersekutu. Allah Ta’ala berfirman:
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS. az-Zumar:62)
Dan Allah Ta’ala berfirman
“Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, lalu Dia bersemayam di atas ’Arsy . Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-A’raf:54)
Bagian dari iman kepada Allah juga adalah beriman dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang agung yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan diriwayatkan dengan sanad yang kuat dari Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam, tanpa melakukan distorsi, disfungsi atau menetapkan cara dan menyerupakan dengan makhluk.
Namun, nama-nama dan Sifat-sifat tersebut wajib difahami sebagaimana disebutkan di dalam nas-nas yang ada, tanpa mempertanyakan caranya. Hal ini disertai dengan keimanan terhadap makna-makna agung yang dikandung nama-nama dan sifat-sifat tersebut yang merupakan sifat-sifat Allah `Azza wa Jalla.
Allah `Azza wa Jalla wajib disifati dengan nama-nama dan sifat-sifat tersebut sesuai dengan keagungan-Nya tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syura:11)
Dan Allah `Azza wa Jalla berfirman
“Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. asy-Syura:11)
Inilah akidah Ahlu Sunnah wal Jamaah dari para sahabat Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Ini pula yang disebutkan oleh Imam Abu Hasan al-Asy`ari rahimahullah di dalam kitabnya (Maqalat al-Islamiyyin) dari Ahlu hadis dan Ahlu Sunnah dan disebutkan oleh para ulama yang lain.
Al-Auza`i rahimahullah berkata, “Pada suatu ketika, az-Zuhri dan Makhul ditanya tentang ayat-ayat sifat maka keduanya menjawab, “Bacalah ia apa adanya.” Al-Walid bin Muslim rahimahullah berkata, “Malik, al-Awza`i, al-Laits bin Sa`d, dan Sufyan ats-Tsauri rahimahumullah ditanya tentang hadis-hadis mengenai sifat-sifat Allah maka mereka semua menjawab, “Bacalah ia apa adanya, tanpa mencari-cari caranya.” Al-Auza`i rahimahullah berkata, “Dahulu ketika tabiin masih banyak, kami mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas `Arsy-Nya dan kami beriman dengan sifat-sifat yang disebutkan di dalam sunah.” Ketika Rabi`ah bin Abu Abdurrahman, guru Malik, rahmatullahi `alaihima ditanya tentang al-istiwa’ (Allah bersemayam di atas `Arsy), dia menjawab, “Istiwa’ (bersemayam) bukan perkara yang tidak diketahui dan caranya tidaklah dapat dicerna oleh akal. Dari Allahlah risalah, kewajiban Rasul adalah menyampaikan, dan kewajiban kita adalah membenarkan.”
Ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang istiwa,’ dia menjawab,
“Istiwa’ adalah diketahui, caranya tidak diketahui, mengimaninya adalah kewajiban, dan mempertanyakannya adalah bidah.” Kemudian dia berkata kepada penanya, “Aku melihatmu orang yang tidak baik.” Lalu dia memerintahkan agar penanya tersebut dikeluarkan dari majlisnya.”
Makna yang sama juga diriwayatkan dari Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiyallahu `anha. Abu Abdurrahman Abdullah bin Mubarak rahmatullahi `alaihi berkata,
“Kami mengetahui Rab kami Subhanahu wa Ta’ala bahwa Dia di atas langit-Nya, di atas singgasana-Nya, jauh dari makhluk-Nya.”
Perkataan para imam dalam masalah ini sangat banyak, yang tidak mungkin disampaikan semua dalam ceramah ini. Barangsiapa ingin mengetahuinya lebih lanjut, hendaknya dia merujuk kepada karya-karya para ulama sunah, seperti kitab as-Sunnah karya Abdullah bin Imam Ahmad, at-Tauhid karya Imam Muhammad bin Khuzaimah, kitab as-Sunnah karya Abul Qasim al-Lalika’i ath-Thabari, kitab as-Sunnah karya Abu Bakar bin Abi Ashim, da jawaban Syekh al-Islam Ibnu Taimiyyah terhadap penduduk Hama.
Jawaban ini sangat bagus dan mengandung banyak faedah. Di dalamnya Syekh al-Islam rahimahullah menjelaskan akidah Ahlu Sunnah dan menyebutkan banyak ucapan para tokohnya disertai dalil-dalilnya dari Al-Qur’an dan sunah serta dalil-dalil logisnya yang menunjukkan kebenaran pendapat Ahlu Sunnah dan batilnya pendapat para lawan mereka. Demikian juga dengan buku kecilnya yang berjudul at-Tadammuriyyah.
Di dalamnya Syekh al-Islam memaparkan dan menjelaskan akidah Ahlu Sunnah dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan sunah serta dalil-dalil logisnya juga bantahan terhadap orang-orang yang menyelisihinya dengan jawaban yang menampakkan kebenaran dan menolak kebatilan dari semua ulama yang mengkaji masalah ini, dengan tujuan yang baik dan keinginan untuk mengetahui kebenaran.
Setiap orang yang menyelisihi Ahlu Sunnah dalam keyakinan mereka tentang nama dan sifat Allah pasti menyelisihi dalil-dalil naqli (Al-Qur’an dan sunah) dan dalil-dalil nalar serta semua yang ditetapkan dan dinafikannya saling kontradiktif.