Fatwa Ulama
Fatwa Ulama oleh al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-'Ilmiah wal Ifta'

apakah orang tua boleh berwasiat dengan hartanya untuk menikahkan anak-anak yang belum menikah, jika sebagian saudaranya sudah dinikahkan?

2 tahun yang lalu
baca 4 menit
Apakah Orang Tua Boleh Berwasiat Dengan Hartanya Untuk Menikahkan Anak-anak Yang Belum Menikah, Jika Sebagian Saudaranya Sudah Dinikahkan?

Pertanyaan

Pertama, seseorang memiliki lebih dari satu anak, dan telah menikahkan (membiayai pernikahan) anak pertama dan kedua. Dia masih memiliki anak yang berada dalam usia menikah (tetapi belum dinikahkan) dan satu lagi yang masih kecil. Apakah dia boleh membuat wasiat untuk memberi sejumlah harta bagi anak yang belum menikah--baik yang sudah balig atau belum--sebesar biaya pernikahan? Kedua, jika seorang ayah membeli mobil untuk setiap anaknya yang telah dewasa, baik yang masih berada dalam perwaliannya atau telah hidup sendiri, maka apakah dia boleh berwasiat untuk memberikan uang senilai harga mobil kepada anaknya yang belum dihadiahkan kendaraan, baik yang telah balig atau belum? Ketiga, jika seorang ayah memiliki beberapa anak yang memilih untuk tinggal terpisah dan telah mandiri secara keuangan, sementara ada beberapa anak yang masih ditanggung oleh sang ayah--mereka melayani sang ayah di bawah bimbingannya--maka apakah dia boleh memberikan sejumlah harta, baik ketika dia masih hidup atau setelah meninggal dunia, sebagai balasan atas pengorbanan dan kedekatan mereka dengannya? Bagaimana pula ketika dia memiliki lebih dari seorang istri dengan keadaan yang serupa? Keempat, sudah jelas bahwa setiap harta peninggalan orang yang telah wafat--baik berupa aset tetap atau bergerak--akan menjadi milik ahli waris. Ada orang yang berpikir untuk membiarkan semua yang ada di rumahnya (tidak dijual) agar dapat digunakan oleh anak-anaknya yang masih kecil dan ibu mereka, ada pula yang berpikir untuk menguangkan semuanya. Kemudian kebutuhan mereka akan dipenuhi dari uang bagian waris mereka. Saya sendiri termasuk orang yang betul-betul perlu memikirkannya. Saya memilih untuk membiarkan barang-barang seperti perabot rumah, mobil, makanan, dan lain sebagainya untuk anak-anak yang masih kecil dan ibu yang membesarkan mereka. Anak-anak yang telah dewasa sudah mendapatkan sumber keuangan hidup mereka, memperoleh pekerjaan yang layak, pendidikan yang baik, dan lain sebagainya. Sementara anak-anak saya yang masih kecil langkah hidupnya masih dini, membutuhkan banyak perhatian, kasih sayang, kelembutan, pendidikan, pengalaman, dan lain sebagainya. Dengan demikian, jangan sampai mereka menderita bertubi-tubi, yaitu akibat kesedihan dari kehilangan ayah mereka dan kehidupan yang tidak nyaman karena berbeda dari kondisi rumah mereka sebelumnya. Sebab, itu semua sangat memberi pengaruh dalam kepribadian mereka. Atau, jika barang-barang itu dinilai dengan uang, maka akan berpengaruh terhadap hak warisan yang mereka terima dari sang ayah. Saya mohon Anda dapat mengkaji masalah ini dari seluruh aspek dan implikasinya, lalu memberikan fatwa berdasarkan pandangan Anda, agar saya terbebas dari tanggung jawab dan dapat mendatangkan kemaslahatan bagi semua pihak.

Jawaban

Pertama, pada dasarnya, dalam masalah ini harus mengutamakan sikap adil di antara anak-anak dengan didasarkan pada sejumlah dalil. Di antaranya adalah:

a. Dari an-Nu’man bin Basyir yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

اعدلوا بين أبنائكم، اعدلوا بين أبنائكم، اعدلوا بين أبنائكم

“Berbuat adillah kepada anak-anakmu, berbuat adillah kepada anak-anakmu, berbuat adillah kepada anak-anakmu.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i.)

b. Diriwayatkan dari Jabir bahwa

قالت امرأة بشير: انحل ابني غلامًا وأشهد عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأتى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: إن ابنة فلان سألتني أن أنحل ابنها غلامي، فقال: أله إخوة؟ قال: نعم، قال: فكلهم أعطيت مثل ما أعطيته؟ قال: لا، قال: فليس يصلح هذا، وإني لا أشهد إلا على حق

“Istrinya berkata, “Berilah anakku budak, dan jadikanlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai saksi atasnya.” Kemudian Basyir menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata, “Anak perempuan si fulan (istriku) memintaku untuk memberi anaknya budakku.” Rasulullah bertanya, “Apakah dia memiliki saudara?” Basyir menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi, “Apakah semuanya kamu berikan hal yang sama seperti dirinya?” Dia menjawab, “Tidak.” Rasulullah pun bersabda, “Ini tidak boleh. Sesungguhnya aku tidak bersaksi kecuali atas kebenaran.”

Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud. Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, dari an-Nu’man bin Basyir, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

لا تشهدني على جور، إن لبنيك عليك من الحق أن تعدل بينهم

“Jangan minta kesaksian kepadaku atas kezaliman. Sesungguhnya seluruh anakmu mempunyai hak untuk kamu perlakukan secara adil.”

Dengan demikian, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk bersikap adil di antara mereka. (Berdasarkan kaidah usul fikih), pada dasarnya sebuah “perintah” menunjukkan kewajiban. Makna kewajiban ini diperkuat dengan sabda beliau, “Ini tidak boleh”, dan sabdanya,

إني لا أشهد إلا على حق

“Sesungguhnya aku tidak akan bersaksi melainkan atas kebenaran.”

Juga sabdanya,

لا تشهدني على جور

“”Jangan minta kesaksian kepadaku atas kezaliman.” Masih banyak riwayat lain yang serupa.

Kedua, jika dia telah memberikan sesuatu kepada beberapa anak, tetapi tidak melakukan hal yang sama kepada sebagian yang lain, maka dia harus menarik kembali pemberian itu. Ini ditunjukkan dengan hadits yang diriwayatkan dari an-Nu’man bin Basyir

أن أباه أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال: إني نحلت ابني هذا غلامًا كان لي، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أكل ولدك نحلته مثل هذا؟ فقال: لا، فقال: فأرجعه

“Bahwa ayahnya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata, “Sesungguhnya aku menghadiahkan kepada putraku ini seorang budak milikku.” Lantas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Apakah kamu melakukan hal ini kepada seluruh anakmu?” Dia menjawab, “Tidak” Beliau bersabda, “Ambillah kembali budak tersebut!”

Muttafaq ‘Alaih. Dalam riwayat Muslim, an-Nu’man berkata,

تصدق علي أبي ببعض ماله، فقالت أمي – عمرة بنت رواحة -: لا أرضى حتى تشهد رسول الله صلى الله عليه وسلم، فانطلق أبي إليه يشهده على صدقتي، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أفعلت هذا بولدك كلهم؟ قال: لا، فقال: اتقوا الله واعدلوا في أولادكم، فرجع أبي فرد تلك الصدقة

“Ayah saya bersedekah kepada saya dengan sebagian hartanya, tetapi ibu saya, ‘Amrah binti Rawahah, berkata kepadanya, “Saya tidak rela hingga kamu mempersaksikan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Ayah saya pun menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mempersaksikan beliau atas pemberiannya itu. Lalu beliau bertanya, “Apakah kamu melakukannya pada seluruh anakmu?” Dia menjawab, “Tidak.” Beliau berkata, “Bertakwalah kepada Allah, dan bersikaplah adil di antara anak-anakmu.” An-Nu’man berkata, “Lalu ayah saya pulang dan menarik kembali sedekahnya tersebut.”

Keterangan serupa terdapat dalam riwayat Bukhari, tetapi dengan kata “pemberian”, bukan “sedekah”.

Ketiga, seorang ayah boleh memberi sesuatu kepada anak yang melayani dan mengurus dirinya sebagai balasan jasa tersebut. Ini tidak dianggap pilih kasih dari saudara-saudaranya yang lain, asalkan apa yang diberikan kepadanya merupakan imbalan biasa, baik yang sifatnya harian, bulanan, atau tahunan.

Keempat, jika seseorang wafat, maka ahli warisnya akan mendapatkan hak waris sesuai dengan ketentuan syariat. Seorang muslim tidak boleh membuat wasiat untuk ahli warisnya sehingga menambah bagian yang telah ditetapkan oleh syariat, baik dari harta warisan atau pun yang lainnya. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

إن الله قد أعطى كل ذي حق حقه، فلا وصية لوارث

“Sesungguhnya Allah telah memberikan setiap bagian kepada orang yang berhak menerimanya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.