Dahulu pada masa jahiliyah para suami ketika marah kepada istrinya sebagian mereka bersumpah untuk tidak menjimai’ istrinya (berhubungan suami istri) selama setahun, dua tahun atau selama-lamanya. Sehingga pada masa itu sang istri statusnya terkatung-katung, suaminya tidak menggaulinya sehingga sang istri tidak bisa merasakan kenikmatan dan tidak tertunaikan haknya dalam pernikahan dan juga tidak dicerai sehingga bisa menikah lagi dengan laki-laki yang lain. Oleh karena itulah syariat islam datang untuk menghilangkan kedzaliman yang menimpa istri dari suami yang melakukan ilaa’. Dengan menjelaskan dan menetapkan hukum-hukum yang terkait dengan ilaa’
Pembahasan Pertama: Tentang pengertian ilaa’ beserta dalilnya
Pengertian Ilaa’ menurut bahasa berasal dari آلى إيلاءseperti آتى إيتاء yang artinya seseorang bersumpah.
Menurut istilah seorang suami bersumpah dengan nama Allah atau dengan sifat dari sifat Allah –sedangkan dia (suami) mampu untuk melakukan menggauli istrinya- untuk tidak menggauli istrinya di kemaluannya selamanya atau lebih dari empat bulan. (Fiqih Muyyasar : 310)
Dalilnya adalah firman Allah Ta’aala
“Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah : 226-227)
Pembahasan Kedua : Hukum seorang suami yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya
Hukum seorang suami yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya tidak lepas dari tiga keadaaan.
Keadaan Pertama: Suami yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya (tidak melakukan hubungan suami istri dengan istrinya) kurang dari empat bulan. Maka suami yang melakukan hal ini tidak terhitung sebagai suami yang telah mengilaa’ istrinya menurut kesepakatan ulama. Ia boleh memenuhi sumpahnya dan tidak ada kewajiaban apa-apa atasnya dalam hal ini. Atau dia boleh menarik sumpahnya dan dia mempunyai kewajiaban membayar kafarah sumpah.
Keadaan kedua: Suami yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya selama-lamanya atau lebih dari empat bulan, dengan tujuan memudharatkan istrinya. Para ulama sepakat hal ini adalah ilaa’.
Keadaan ketiga: Suami yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya selama empat bulan, tentang hal ini para ulama berselisih pendapat tentang hukumnya. Sebagian ulama berpendapat hal tersebut tidak termasuk ilaa’, dan ini pendapatnya mayoritas ulama dari kalangan Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Dan insya Allah ini pendapat yang rajih. Dan sebagian yang lain mengatakan hal tersebut termasuk ilaa’. Dan ini pendapatnya ulama dari kalangan Hanafiyyah.
Pembahasan Ketiga : Syarat sah dikatakan Ilaa’
Pembahasan Keempat : Hukum ilaa’
Ilaa’ hukumnya haram, dikarenakan dia telah bersumpah untuk meninggalkan suatu kewajiban.
Pembahasan Kelima : Kewajiban atas suami yang mengucapkan ilaa’
Suami yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya selama-lamanya atau lebih dari empat bulan, dengan tujuan untuk memudharatkan istrinya. Dalam hal ini syariat islam menetapkan hukum untuk menghilangkan mudharat yang dialami istri. Yaitu dengan memberikan tangguh waktu selama empat bulan agar suami menarik sumpahnya dan menggauli istrinya, jika suami melakukanya berarti dia melanggar sumpah dan wajib membayar kafarah sumpah (1). Namun apabila setelah empat bulan suami tetap bersikukuh untuk tetap menjalani sumpahnya tidak menggauli istrinya, maka jika kondisinya seperti ini suami diperintahkan untuk menarik sumpahnya dan menggauli istrinya, jika tidak mau kembali maka dia diperintahkan untuk mencerai istrinya. Jika menolak untuk menceraikan istrinya maka hakim berhak untuk menceraikan nya.
Pembahasan Keenam : Diantara hukum yang terkait dengan ilaa’
Wallahu Ta’aala A’lam bis Shawwab. Itu penjelasan sederhana tentang masalah ilaa’ semoga bermanfaat.
Ditulis oleh Abu Ibrahim ‘Abdullah Al-Jakarty
Rabu 18 Shafar 1434H Kruyokulon, Puwerejo Jawa Tengah
Catatan:
Banyak mengambil faedah dari kitab Fiqih Muyyasar.
(1) Kafarah Sumpah
Allah Ta’ala berfirman:
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan pertengahan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa yang tidak sanggup melakukannya, maka hendaknya dia berpuasa selama tiga hari. Itulah kaffarat sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpah-sumpah kalian. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayatNya agar kalian bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Maidah: 89)