Pembaca, mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala memberikan keberkahan pada kita semua, adalah merupakan suatu ketetapan dari Allah subhanahu wata’ala ketika Allah telah menetapkan bagi kaum hawa untuk mengalami apa yang dinamakan haid (menstruasi). Pasti setiap wanita akan mengalami masa haid sebagai salah satu tanda dari baligh baginya.
Maka pada pembahasan kali ini akan kami sajikan untuk anda beberapa hal yang berhubungan dengan haid dikarenakan begitu peliknya permasalahan ini. Demikian pula permasalahan haid sangat berhubungan erat dengan permasalahan ibadah lainnya, bahkan dalam permasalahan halal dan haramnya suatu ibadah tertentu.
Pengertian Haid
Haid ditinjau secara bahasa bermakna mengalir. Adapun jika ditinjau secara pengertian dalam syari’at islam bermakna darah yang mengalir yang merupakan tabiat dari seorang wanita yang keluar dari dasar rahim dan akan berulang pada periode (waktu) tertentu.
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama apakah ada batasan umur tertentu pada pemulaan haid dan batasan umur berhenti dari masa haid (menopause). Namun yang benar dalam masalah ini bahwa tidak ada batasan umur tertentu untuk seorang wanita mulai haid dan tidak mengalami haid lagi. Hal ini berdasarkan keumuman dalil pada surat Al Baqarah ayat ke-222 (artinya):
“Dan mereka bertanya padamu tentang haid, (maka) katakan bahwa dia (haid) merupakan suatu gangguan, maka jauhilah para wanita ketika mereka sedang haid.”
Demikian pula dalam permasalahan waktu berlangsungnya haid, maka tidak ada batasan tertentu. Hanya saja kebanyakan (mayoritas) para wanita mengalami masa haidnya selama 6 sampai 7 hari.
Ciri-ciri Darah Haid
1. Berwarna kehitam-hitaman dan mudah dikenali. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An Nasa’i dari shahabiyyah Fatimah Bintu Abi Hubais ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:
“Adapun darah haid, maka berwarna hitam yang dikenal…”
2. Memiliki bau yang tidak sedap, sebagaimana dijelaskan pada hadits di atas dengan lafazh:
يُعْرِِِفُ namun dengan
3. Kekuning-kuningan dan keruh. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Malik ketika ibu dari Alqamah Bin Abi Alqamah berkata: “Para wanita diutus kepada ‘Aisyah Ummul Mu’minin dengan membawa sebuah dirojah (wadah kecil) yang di dalamnya terdapat kursuf (pembalut) yang terdapat warna kekuning-kuningan bekas darah haid, mereka bertanya tentang shalat, maka ‘Aisyah menjawab: “Janganlah kalian shalat sampai kalian melihat pembalut tadi berwarna putih yang diinginkan dengan itu telah suci dari haid.”
Namun cairan keruh dan kekuning-kuningan tidaklah menunjukkan seorang wanita haid kecuali pada hari-hari yang memang sedang haid. Adapun jika keluar selain pada hari-hari haid, maka tidak dianggap haid, sebagaimana dalam hadits Ummu ‘Atiyah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah ketika dia berkata:
كُنَّا لاَ نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا
“Kami tidak menganggap warna kekuning-kuningan dan keruh sedikitpun setelah suci sebagai haid.”
Beberapa Keadaan Wanita Haid
1. Wanita yang mengetahui kebiasaan waktu-waktu datangnya haid. Wanita jenis ini menjalankan haidnya sesuai dengan bilangan hari yang biasa dialaminya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari shahabiyyah Ummu Habibbah bintu Jahsyin ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:
اُمْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي
“Berdiamlah sebagaimana kebiasaan haid menahanmu, kemudian mandi dan shalatlah.”
2. Wanita yang tidak mengetahui dan tidak mempunyai kebiasaan waktu-waktu haidnya namun bisa membedakan darah yang keluar apakah darah haid atau bukan. Maka dia menjalankan haid ketika mengetahui bahwa yang keluar adalah darah haid. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An Nasa’i dari shahabiyyah Fatimah Bintu Abi Hubais ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:
إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضِ فَإِنَّهُ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ فَأَمْسِكِي عَنْ الصَّلاَةِ فَإِذَا كَانَ الآخَرُ فَتَوَضَّئِي فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ
“Apabila darah haid, maka berwarna hitam yang sudah dikenal, jika demikian berhentilah shalat, namun jika selain itu berwudhulah dan shalatlah karena itu adalah darah penyakit.”
3. Wanita yang tidak mempunyai kebiasaan waktu-waktu haid yang dia ketahui dan tidak bisa membedakan antara darah haid atau bukan. Maka baginya untuk bersandar kepada kebiasaan waktu-waktu haid kebanyakan wanita pada umumnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan kecuali An Nasa’i dari shahabiyyah Hamnah Bintu Jahsyin ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:
إِنَّمَا هِيَ رَكْضَةٌ مِنْ الشَّيْطَانِ فَتَحَيَّضِي سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةَ أَيَّامٍ فِي عِلْمِ اللَّهِ ثُمَّ اغْتَسِلِي فَإِذَا رَأَيْتِ أَنَّكِ قَدْ طَهُرْتِ وَاسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّي أَرْبَعًا وَعِشْرِينَ لَيْلَةً أَوْ ثَلاَثًا وَعِشْرِينَ لَيْلَةً وَأَيَّامَهَا وَصُومِي وَصَلِّي فَإِنَّ ذَلِكِ يُجْزِئُكِ وَكَذَلِكِ فَافْعَلِي كَمَا تَحِيضُ النِّسَاءُ
“Sesungguhnya itu adalah dorongan dari syaithan, maka laksanakanlah haid selama enam atau tujuh hari, kemudian mandilah. Apabila kamu telah suci, maka shalatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga hari. Lakukanlah shalat dan puasa, sesungguhnya hal itu cukup bagimu. Dan demikian itulah hendaknya kamu kerjakan sebagaimana para wanita mengalami haid.”
Beberapa hukum yang berkaitan dengan permasalahan haid
1. Bagi wanita haid baginya untuk tidak mengerjakan shalat dan juga tidak berpuasa, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan juga Muslim ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Fatimah bintu Abi Hubais:
“Jika haid menimpamu, maka tinggalkan (jangan kerjakan) shalat…”
Maka jika ada wanita yang sedang mengalami haid kemudian berpuasa atau mengerjakan shalat, maka tidak sah puasa atau shalatnya tersebut bahkan dia telah melakukan suatu kemaksiaatan kepada Allah dan rasulNya karena telah dilarang oleh syari’at.
2. Jika wanita tersebut sudah selesai dari masa haidnya, maka dibebankan baginya untuk mengqada’ (mengganti) puasa dan tidak dibebankan baginya untuk mengqada’ shalat. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan juga Muslim, dari Aisyah ketika ia berkata:
“Kami mengalami haid, maka kami diperintah untuk mengqada’ puasa dan kami tidak diperintah untuk mengqada’ shalat.”
3. Tidak boleh bagi seorang suami menggauli yang sedang haid, namun boleh untuk bersenang-senang dengannya selain senggama seperti mencium, mengusap dan sebagainya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Al Imam At Tirmidzi dan lainnya dari Anas bin Malik ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Kerjakan semuanya (pada wanita haid) kecuali nikah (jima’).”
Dan dalam lafazh lain:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ الْجِمَاعَ
“Kerjakan semuanya (pada wanita haid) kecuali jima’.”
Barang siapa yang menjima’-i wanita yang sedang haid, maka dia telah melakukan suatu dosa besar karena dia telah jatuh pada suatu hal yang telah diharamkan syari’at. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh At Al Imam At Tirmidzi, Abu Dawud dan lainnya: “Barang siapa yang mendatangi wanita haid (senggama) atau mendatangi wanita pada duburnya atau mendatangi dukun, maka sungguh dia telah kafir dengan apa yang telah diturunkan kepada Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam .”
Adapun bagi orang yang menjima’-i wanita haid terjadi perbedaan pendapat apakah baginya kafarat atau tidak ada kafarat namun dia mendapatkan dosa. Namun yang benar dia mendapatkan kafarat dengan bersedekah satu atau setengah dinar berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan dari sahabat Abdullah bin Abbas. Ia berkata: “Dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam , tentang seseorang yang mendatangi istrinya yang haid, beliau bersabda:
يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ أَوْ نِصْفِ دِينَارٍ
“Baginya untuk bersedekah satu atau setengah dinar.”
Barangsiapa ingin mendapatkan kesempurnaan dari kaffarah-nya hendaknya dia bersedekah satu dinar. Namun bagi yang bersedekah setengah dinar, maka cukup untuk membayar kaffarah-nya tersebut. Beberapa ulama ada yang berpendapat ukuran satu dinar 4,25 gram emas. Namun tidak mengapa bagi seseorang untuk menilai kadar dinar sesuai dengan ukuran daerahnya masing-masing.
4. Dilarang bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya yang sedang haid. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat Ath Thalaq ayat ke-1 (artinya):
“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka mendapati masa ‘iddahnya (yang wajar).”
Yakni ketika mereka suci dan belum digauli. Dan juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah memerintahkan orang yang menceraikan istrinya yang sedang haid untuk rujuk, kemudian menceraikannya kembali ketika istrinya suci apabila dia kehendaki.
5. Hukum menyentuh Al Qur’an bagi wanita haid. Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’ tentang hal ini. Namun pendapat yang benar insya Allah adalah tidak bolehnya wanita haid untuk menyentuh Al Qur’an. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan juga pendapat Asy Syaikh Shalih Al Fauzan, Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin serta ulama yang lainnya. Dalil dari pendapat ini:
1) firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat Al Waqi’ah ayat ke-79 (artinya):
“Tidaklah menyentuhnya (Al Qur’an) kecuali orang-orang yang suci.”
2) Hadits ‘Amr Bin Hazm yang diriwayatkan oleh Al Imam Malik, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang menyentuh Al Qur’an kecuali dia dalam keadaan suci.”
Dalam riwayat At Thabarani dan juga Ad Daruquthni, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah engkau menyentuh al qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.”
Namun dibolehkan bagi wanita haid untuk melafazhkan atau membaca ayat-ayat Al Qur’an, wallahu a’lam.
6. Bagi wanita haid dilarang untuk thawaf di Ka’bah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kerjakan apa yang dikerjakan orang yang berhaji selain engkau thawaf di Bait (Ka’bah).”
7. Dibolehkan bagi wanita haid masuk ke masjid apabila ada kepentingan yang mendesak tanpa ditinggal/di dalam masjid. Dalam hadits yang diriwayatkan Muslim ketika Aisyah berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah memerintahkan aku untuk mengambil khumrah (sejenis sajadah) di dalam masjid, kemudian aku berkata: “Aku sedang haid”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ambillah khumrah tersebut karena haid itu tidak berada pada tanganmu.”
Kapan dibolehkan untuk mendatangi istri yang telah berhenti haid
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang prmasalahan ini. Diantara mereka ada yang berpendapat bolehnya digauli ketika darah telah berhenti walaupun belum mandi besar serta beberapa rincian lainnya. Namun sebagian yang lain mensyaratkan bolehnya digauli ketika darah telah berhenti dan telah mandi besar. Maka yang benar, wallahu a’lam, adalah pendapat yang kedua. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat Al Baqarah ayat ke-222 (artinya):
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ البقرة: ٢٢٢
“Dan janganlah kalian mendekati mereka sampai mereka suci.”
حَتَّى يَطْهُرْنَ
maksudnya adalah terhentinya darah dan telah mandi besar. Al Imam Mujahid berkata: “Ayat ini juga telah ditafsirkan oleh Ibnu Abbas semakna dengan tafsir Mujahid di atas.”
Di dalam Majmu’ Fatawa (21/624) disebutkan: “Adapun wanita yang haid apabila telah berhenti darahnya, maka tidak boleh suaminya untuk menggaulinya sampai wanita tersebut mandi besar apabila dia mampu mandi. Apabila tidak mampu mandi, maka bertayammum, sebagaimana pendapat jumhur ‘ulama seperti Al Imam Malik, Al Imam Ahmad dan Al Imam Asy Syafi’i.
Demikianlah sekelumit pembahasan tentang haid. Mudah-mudahan dengan ini kita bisa menjalankan ibadah di atas bimbingan ilmu dan bukan di atas bimbingan hawa nafsu dan perasaan belaka. Allahul Musta’an. Wallahu a’lam bishshawab.
http://www.assalafy.org/mahad/?p=266&print=1