8
ULAMA AHLUS SUNNAH TIDAK MEREKOMENDASI IHYA ATTURATS (2)
Menjawab nasehat Syekh Abdul Muhsin Al-Abbad dan Ibrahim Ar-Ruhaili hafidzhahumallah
Firanda menukilkan dari Syekh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafidzhahullah Ta’ala bahwa beliau berkata:
أَقُوْلُ لا َيَجُوْزُ لِأَهْلِ السُّنَّةِ فِي إِنْدُوْنِيْسِيَا أَنْ يَتَفَرَّقُوْا وَأَنْ يَخْتَلِفُوْا مِنْ أَجْلِ التَّعَامُلِ مَعَ جُمْعِيَةِ إِحْيَاءِ التُّرَاثِ فَإِنَّ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ الَّذِيْ يُفَرِّقُ بِهِ بَيْنَ النَّاسِ. وَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ أَنْ يَجْتَهِدُوْا فِي تَحْصِيْلِ الْعِلْمِ النَّافِعِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ وّأّنْ يَتْرُكُوْا الشَّيْءَ الَّذِيْ فِيْهِ فِتَنٌ. جُمْعِيَةُ إِحْيَاءُ التُّرَاثِ فِيْهَا خَيْرٌ كَثِيْرٌ، فِيْهَا نَفْعٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ فِي مُخْتَلَفِ أَقْطَارِ الأَرْضِ مِنْ جِهَةِ الْمُسَاعَدَاتِ وَمِنْ جِهَةِ تَوْزِيْعِ الْكُتُبِ. الاِخْتِلاَفُ بِسَبَبِ هَذَا لاَ يَصْلُحُ وَلاَ يَسُوْغُ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ. وَعَلَى أَهْلِ السُّنَّةِ هُنَاكَ أَنْ يَتَّفِقُوْا وَأَنْ يَتْرُكُوْا التَّفَرُّقَ
“Aku katakan, tidak boleh bagi Ahlus Sunnah di Indonesia untuk berpecah belah dan saling berselisih disebabkan masalah mu’amalah dengan Yayasan Ihya` at-Turats, karena ini adalah termasuk perbuatan setan yang dengannya ia memecah belah di antara manusia. Namun yang wajib bagi mereka adalah besungguh-sungguh untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Hendaknya mereka meninggalkan sesuatu yang menimbulkan fitnah. Yayasan Ihya’ at-Turats memiliki kebaikan yang banyak, bermanfaat bagi kaum muslimin di berbagai tempat di penjuru dunia, berupa berbagai bantuan dan pembagian buku-buku. Perselisihan disebabkan hal ini tidak boleh dan tidak dibenarkan bagi kaum muslimin. Dan wajib atas Ahlus Sunnah di sana (di Indonesia, -pen) untuk bersepakat dan meninggalkan perpecahan.” [Jawaban berupa nasehat ini beliau sampaikan di masjid seusai shalat Zhuhur, Kamis, 13 Oktober 2005, atau 10 Ramadhan 1426 H. Pada kesempatan tersebut yang meminta fatwa adalah Abu Bakr Anas Burhanuddin, Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah Zain, dan Abu ‘Abdil Muhsin Firanda Andirja)
Demikian teks dan terjemahan yang disebutkan oleh Firanda dalam tulisannya tersebut. Namun sayang sekali karena Firanda sama sekali tidak menyebutkan bentuk pertanyaan yang disampaikan kepada Syekh tersebut, padahal teks pertanyaan sangat memberi pengaruh terhadap terjadinya perubahan fatwa Syekh hafidzhahullah. Demikian pula tidak sampainya kepada beliau berita tentang hizbiyyah yang dimiliki Ihya Atturats dengan berbagai kesesatan lainnya. Sebab sikap Syekh Abdul Muhsin Al-Abbad dari hizbiyyah sangat jelas, bagi siapa yang membaca tulisan dan ceramah beliau. Diantaranya disaat beliau memberi muqaddimah terhadap kitab “Madarikun Nadzar” tulisan Syekh Abdul Malik Ramadhani, setelah beliau menjelaskan tentang kesesatan “fiqhul waqi” model hizbiyyun, yang mengantarkan mereka kepada sikap merendahkan para ulama, dan menuduh mereka tidak mengerti fiqhul waqi’, dan yang semisalnya. Lalu beliau berkata:
وفي الختام أوصي بقراءة هذا الكتاب والاستفادة منه، وأوصي شباب هذه البلاد السعودية أن يحذروا الأفكار الفاسدة الحاقدة الوافدة إلى بلادهم لإضعاف دينهم وتمزيق شملهم والتنكر لما كان عليه أسلافهم، وأن يأخذ كلُّ شابٍّ ناصحٍ لنفسه العبرةَ والعظةَ من قول عبد الله بن مسعود كما في
(( الإبانة )) لابن بطّة: (( إنّها ستكون أمور مشتبهات! فعليكم بالتؤدة؛ فإنّك أن تكون تابعاً في الخير خيرٌ من أن تكون رأساً في الشرِّ )).
“Sebagai penutup, aku menasehati untuk membaca kitab ini, dan mengambil faedah darinya. Dan aku menasehati para pemuda negeri Arab Saudi ini untuk memberi peringatan dari berbagai pemikiran yang rusak dan penuh kedengkian yang dimasukkan ke dalam negeri mereka, untuk melemahkan agama mereka, dan menghancurkan persatuan mereka, dan hendak menjauhkan dari apa yang telah diamalkan oleh para pendahulu mereka. Dan hendaklah setiap pemuda yang menasehati dirinya, agar mengambil pelajaran dan nasehat dari ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu sebagaimana yang disebutkan dalam kitab “Al-Ibanah”, oleh Ibnu Baththah: “Sesungguhnya akan muncul perkara-perkara yang syubhat! Maka hendaklah kalian bersikap hati-hati, karena sesungguhnya engkau termasuk pengikut kebaikan itu lebih baik daripada engkau menjadi tokoh dalam kesesatan”. (Madarikun Nadzar, hal:18).
Dari ucapan beliau ini sangat jelas, bahwa beliau mentahdzir dari berbagai macam pemikiran yang dapat memecah belah persatuan mereka, dan menjauhkan mereka dari aqidah dan manhaj salaful ummah. Dan beliau juga menasehati untuk mengikuti wasiat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, yang menganjurkan untuk menjadi pengikut kebaikan dan tidak menjadi tokoh kesesatan, disaat munculnya berbagai macam syubhat. Akan tetapi diantara mereka ada yang berusaha membela berbagai praktek hizbiyyah, dan bersembunyi dibelakang fatwa ulama yang kira-kira bisa dijadikan sebagai pelindung amalan maupun dana hizbiyyahnya. Salah satu contoh, tentang kitab “Rifqan ahlas sunnah” yang beliau tulis sebagai nasehat diantara sesama ahlus sunnah. Banyak dimanfaatkan oleh para pembela Organisasi At-Turats untuk membelanya, dan membela orang yang bermu’amalah dengannya, dan mengecam para pentahdzirnya. Oleh karenanya, para pembelanya menjadikan kitab ini sebagai “tameng” untuk melegitimasi bantuan dana dari mereka kepada yang selama ini bermuamalah dengannya. Padahal sebagaimana yang kita ketahui, bahwa kitab ini ditulis untuk intern dari kalangan ahlus sunnah, bukan terhadap mereka yang memiliki pemikiran hizbiyyah dan berwala’ kepadanya. Ini dijelaskan oleh beliau sendiri, sebagaimana dinukil dalam kitab Ittihaful ‘Ibad bi Fawa-idi Durusi Asy-Syaikh ‘Abdil Muhsin bin Hamd Al ‘Abbad –kitab ini telah dibaca dan direkomendasi oleh Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin sendiri— (hal. 60):
“Kitab yang saya tulis pada akhir-akhir ini (yaitu kitab Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, pent) ….. tidak ada hubungannya dengan pihak-pihak yang pernah saya sebutkan dalam kitab Madarikun Nazhar (cttn.1). Dengan ini yang dimaksud dengan bersikap lembutlah wahai Ahlus Sunnah terhadap Ahlus Sunnah, bukanlah kelompok Ikhwanul Muslimin, bukan pula orang-orang yang terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb, dan yang lainnya dari kalangan harakiyyin (para aktivis pergerakan, pent). Tidak pula yang dimaksudkan (oleh buku tersebut) orang-orang yang terpengaruh pemikiran fiqhul waqi’ (cttn. 2), (orang-orang yang) mencaci maki pemerintah, dan meremehkan para ‘ulama. Bukan mereka yang dimaksudkan sama sekali. Tapi hanyalah yang dimaksudkan (oleh buku tersebut, pent) adalah intern ahlus sunnah saja, di mana telah terjadi di antara mereka ikhtilaf, sehingga mereka sibuk dengan sesamanya untuk saling menjarh, memboikot, dan mencela (cttn. 3). ”
Perhatikan ucapan beliau: “bukan pula orang-orang yang terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb, dan yang lainnya dari kalangan harakiyyin, tidak pula yang dimaksudkan orang-orang yang terpengaruh pemikiran fiqhul waqi’, mencaci maki pemerintah, dan meremehkan para ulama, bukan mereka yang dimaksudkan sama sekali”, cobalah anda perhatikan kalimat ini, lalu sesuaikan dengan manhaj Ihya Atturats yang berada dibawah asuhan sang mufti Abdurrahman Abdul Khaliq, kalian akan mendapati sifat-sifat yang beliau sebutkan tersebut sesuai dengan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh Ihya Atturats tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Syekh hafidzhahullah tidak mengetahui secara persis mahaj dakwah mereka, serta pengaruhnya yang mendatangkan dampak negatif diberbagai negara, khususnya di Indonesia. Bila demikian keadaannya, perlu ada diantara sebagian mereka yang punya kesempatan untuk menjelaskan kepada Syekh secara rinci tentang masalah ini.
Perhatikan pula fatwa beliau yang disebutkan oleh Firanda:
Yayasan Ihya’ at-Turats memiliki kebaikan yang banyak, bermanfaat bagi kaum muslimin di berbagai tempat di penjuru dunia, berupa berbagai bantuan dan pembagian buku-buku. Perselisihan disebabkan hal ini tidak boleh dan tidak dibenarkan bagi kaum muslimin…”
Perhatikan apa yang beliau katakan: ” Perselisihan disebabkan hal ini”, lalu perhatikan kembali fatwa para ulama yang mentahdzir organisasi tersebut, maka Nampak bagi kita semua bahwa perselisihan bukan disebabkan hal ini, namun disebabkan karena pengaruh hizbiyyah yang dimiliki organisasi ini.
Sebenarnya apa yang kami sebutkan terdahulu dari fatwa-fatwa para ulama senior tentang Ihya Atturats ini sudah lebih dari cukup, namun untuk semakin melengkapi fatwa mereka, berikut ini fatwa yang berasal dari Syekh Ahmad bin Yahya An-Najmi hafidzahullah, yang semoga Firanda dan yang bersamanya juga masih menganggapnya sebagai alim yang senior. Beliau ditanya dengan pertanyaan berikut:
س : ماذا تعرفون عن جمعية إحياء التراث التي في الكويت حيث إنها فتحت لها فرع في العراق و فرقت الشباب السلفي و فتحت دروس و تصرف رواتب لكل من يحضر هذه الدروس و هؤلاء الذين يلقون الدروس ليسوا أهلاً للتدريس ، أرشدونا مأجورين ؟
Soal : Apa yang anda ketahui tentang Jum’iyyah Ihya’ut Turats yang berada di Kuwait dimana jum’iyyah ini telah membuka cabangnya di irak dan telah memecah belah para pemuda salafy dan membuka pelajaran dan memberikan gaji bagi setiap orang yang menghadiri pelajaran tersebut dan orang-orang yang memberikan pelajaran tersebut bukanlah ahlinya untuk mengajar. Berikanlah kami bimbingan, semoga anda mendapatkan pahala ?
ج- جمعية إحياء التراث عليها ملاحظات فلا ننصحكم إن كنتم سلفيين بالإلتحاق بها خوفاً عليكم بالإنخداع بما هي عليه .
و أنصكم أن تصبروا حتى يهيئ الله لكم من يعلمكم على المنهج السلفي و الطريقة الشرعية الصحيحة وهو الأخذ بكتاب الله و سنة رسول الله – صلى الله عليه و سلم – على فهم السلف الصالح و أهل العقيدة الحقة و البراءة من الدعوات الدخيلة من شيعة و شيوعية و غير ذلك .
و أسأل الله – عز و جل – أن ييسر لكم من يكون من أهل العقيدة الصحيحة و المنهج السلفي من تتعلمون على يديه و ينضاف إلى هذا أيضاً أنكم قلتم : إن الذين يتولون التدريس ليسوا بأهل للتدريس و ليس عندهم علم، لهذافإني أنصكم بعدم الدخول فيها وفقكم الله و سدد خطاكم
و صلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه .
الفتاوى الجلية عن المناهج الدعوية (2/320(
Jawab : Jum’iyyah Ihya’ut Turats baginya ada catatan-catatan/komentar. Maka kami menasehati kalian – jika kalian salafy – untuk tidak bergabung dengannya karena kawatir kalian bisa tertipu dengan apa yang dia diatasnya. Aku nasehati kalian untuk bersabar sampai Allah berikan untuk kalian orang yang akan mengajari kalian diatas manhaj salafi dan cara-cara syar’i yang benar yaitu berpegang dengan kitabullah dan sunnah Rosulullah صلى الله عليه و سلم berdasarkan pemahaman salafus shalih dan orang yang beraqidah yang benar dan berlepas diri dari dakwah-dakwah yang masuk dari syi’ah, komunis dan lainnya. Dan saya memohon kepada Allah عز و جل agar Allah mudahkan untuk kalian, orang yang beraqidah yang shahih dan bermanhaj salafy yang kalian akan belajar dihadapannya dan termasuk dengan itu juga bahwa kalian mengatakan : bahwasannya orang yang memberikan pelajaran mereka bukanlah ahlinya dan tidak ada padanya ilmu. Karena itu aku nasehatkan kalian untuk tidak masuk pada yayasan tersebut, semoga Allah memberikan taufiq kepada kalian dan menunjuki langkah kalian kepada jalan yang lurus.
و صلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه
(Al Fatawa Al Jaliyyah ‘An Almanaahiji Ad Da’awiyyah (2/320) , Penulis : Faris At Thahir AsSalafy, Sumber : www.sahab.net/forums/showthread.php?t=341912. Penterjemah : Muhammad Ar Rifa’i As Salafy)
Demikian pula berkenaan tentang pujian Syekh Ibrahim Ar-Ruhaili hafidzhahullah Ta’ala, tatkala beliau mengatakan (cttn. 4) :
“Yayasan Ihya’ At-Turots adalah yayasan yang bergerak mengumpulkan harta dan bantuan dari para pedagang dan orang-orang kaya dan menyalurkannya dalam amalan-amalan kebaikan seperti menggali sumur-sumur, membangun mesjid-mesjid, sekolah-sekolah, dan memberi gaji bagi para da’i.Dan termasuk perkara yang aneh timbulnya perpecahan karena yayasan seperti ini.”
Hal ini juga disebabkan karena tidak sampainya berita yang detil kepada beliau tentang dampak Ihya Atturats diberbagai negara, dan memberikan berbagai berita yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, lalu disampaikan kepada beliau, dan bukan hal yang mustahil sebagian berita tersebut berasal dari Firanda dan para pendukungnya yang punya kesempatan bertemu dengan beliau. Dan sebenarnya perkara inipun telah dijawab oleh para ulama semenjak beberapa tahun sebelumnya. Diantaranya adalah jawaban seorang syekh senior –yang semoga Firanda pun tetap menganggapnya senior atau jajaran paling senior- muhaddits dari Yaman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah Ta’ala, sebagaimana yang telah kita nukilkan diedisi pertama. Namun sekedar untuk mengingatkan, maka kami nukil kembali fatwa tersebut, sebagai berikut:
فعلماءنا الأفاضل حفظهم الله تعالى يأتي صاحب الجمعية إليهم ويقول : يا شيخ نحن نهتم ببناء المساجد وبفتح مدارس تحفيظ القرآن وبكفالة اليتامى وبحفر الآبار وغير ذلك من الأفعال الحميدة الصالحة فالشيخ ………(كلمة غير واضحة) ما رأيك في هذه الجمعية تهتم ببناء المساجد وتحفيظ القرآن وكفالة اليتامى وكفالة الدعاة إلى الله وحفر الآبار ,من الذي يقول هذا ما يجوز كل واحد يقول –يا أخي- هذا عمل صالح كله لكن المشايخ حفظهم الله تعالى لا يعرفون ما بعد هذا .
والواقع أن الأموال التي تأتيهم أصحاب الجمعية لتحارب بها أهل السنة في السودان وفي اليمن نعم وفي أرض الحرمين ونجد وفي أندونيسيا وفي كثير من البلاد الإسلامية .
(مفرغ من الشريط بصوته رحمه الله وهو عندي)
“Ulama kita yang mulia –semoga Allah senantiasa menjaga mereka- , lantas anggota Jum’iyyah datang kepada mereka dan berkata: “…wahai syekh, kami memperhatikan masalah pembangunan masjid-masjid, membuka madrasah tahfidz Al-Qur’an, menanggung anak-anak yatim, menggali sumur-sumur dan yang lainnya – dari berbagai perbuatan yang terpuji dan salih -”. “Maka syaikh …..(kalimat tidak jelas), apa pendapatmu tentang jum’iyyah ini, yang memperhatikan pembangunan masjid, tahfidz al-Qur’an, menanggung anak-anak yatim, menanggung para da’i di jalan Allah, menggali sumur-sumur…”. Siapa yang mengatakan ini tidak boleh ? Setiap orang mengatakan –ya akhi- ini adalah amalan soleh semuanya ! Namun para syaikh tersebut –semoga Allah menjaga mereka- tidak mengetahui apa yang terjadi setelah ini.
Kenyataannya bahwa harta yang sampai ke mereka para pengurus Jum’iyyah digunakan untuk memerangi Ahlus Sunnah di Sudan, di Yaman, di bumi Haramain (Makkah dan Madinah, pen), Najed dan di Indonesia dan dalam banyak Negara Islam.”
Jika sekiranya Syekh Ar-Ruhaili hafidzahullah mengetahui sepak terjang organisasi Ihya Atturats ini diberbagai Negara, maka beliau tentunya tidak akan memberi pembelaan kepadanya. Dalam salah satu Tanya jawab dengan beliau (cttn.5), beliau sempat ditanya dengan pertanyaan sebagai berikut:
السائل: نريد تحديد مفهوم من هو السني حيث إن هناك أقواما يقولون :إنهم من اهل السنة وإذا سمع أحدهم كلامهم وجده يقول قال الله قال رسوله وأما إذا نظر الناظر في أقوالهم وفي أفعالهم فإنه يجد العكس فيراه يثني على أهل البدع والضلال ويصفهم بأنهم أئمة مجددون وبالمقابل يذم أهل السنة والأثر بأنهم لا يفقهون الواقع أو أن فقههم يدور حول سراويل امرأة أي أنهم علماء حيض ونفاس أو أن الدنيا قد غرتهم وبعضهم يرى أن هذه الجماعات البدعية تعد ظاهرة صحية وهي من أهل السنة وتفرقها ليس تفرقا مذموما وبعضهم يرى أن ما يسمى بالأناشيد والتمثيليات والمسرحيات هي من الوسائل التي ينبغي على الداعي إلى الله جل وعلا أن يسلكها في دعوته لأنها تدخل الناس في دين الله وبعضهم يؤصل أصولا حكم أئمة السنة والأثر بأنها أصول بدعة وضلال وأن هذه الأصول لا تمت إلى السنة من أي وجه ,فما توجيهكم حفظكم الله؟
Pertanyaan: kami ingin penjelasan tentang batasan dalam memahami siapakah pengikut ahlus sunnah itu, dimana ada sebagian orang yang mengatakan: bahwa mereka termasuk dari kalangan ahlus sunnah .Bila seseorang mendengar ucapan mereka, ia mendapatinya mengatakan: berfirman Allah, bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Namun jika seseorang melihat ucapan dan perbuatannya, maka dia mendapati sebaliknya, dilihat dia memuji ahlul bid’ah dan sesat, dan menyebut mereka sebagai imam mujaddid (pembaharu agama), dan sebaliknya dia mencela ahlus sunnah dan atsar bahwa mereka tidak mengerti fiqhul waqi’, atau mengatakan bahwa fiqih mereka hanya berada diseputar celana wanita, atau mereka adalah para ulama haid dan nifas, atau mengatakan bahwa dunia telah menipu mereka. Sebagian lagi ada yang menganggap bahwa jama’ah-jama’ah bid’ah ini merupakan dampak yang positif, dan termasuk dari kalangan ahlus sunnah, dan perpecahan mereka bukanlah perpecahan yang tercela. Sebagian lagi ada yang menganggap bahwa apa yang disebut dengan nasyid, teater dan pertunjukkan, termasuk diantara wasilah yang sepantasnya bagi seorang da’i kepada jalan Allah untuk menempuhnya dalam berdakwah, sebab (dengan itu) dapat memasukkan manusia ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong. Sebagian lagi ada yang menyebut prinsip-prinsip yang para imam ahlus sunnah telah menghukumi bahwa itu merupakan prinsip-prinsip bid’ah dan sesat, dan bahwa prinsip-prinsip ini tidak ada hubungannya dengan sunnah dari sisi manapun. Maka bagaimana nasehatmu –semoga Allah menjagamu-?
Maka beliau menjawab dengan jawaban sebagai berikut:
الجواب: كما ذكرت أن صاحب السنة ليس مما يجتهد الناس فيه فيحكمون فيه بأهواءهم أنه صاحب سنة أو صاحب بدعة ,وإلا فالكثير من أهل البدع يدعون أنهم أهل السنة وأن من خالفهم هو من أهل البدع ,وهذا باب توقيفي فصاحب السنة هو من قام بالسنة علما وعملا ودعوة إليه ,وارجعوا إلى النصوص فمن وافق عمله عمل النبي صلى الله عليه وسلم فهو من أهل السنة ,ومن خالف هدي النبي صلى الله عليه وسلم فهو من أهل البدع الذين خرجوا عن السنة .فالسنة معلومة وأصول السنة معروفة في التوحيد وفي القدر وفي الإيمان وفي أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وفي طاعة ولاة الأمر وفي معرفة معاملة العلماء وفي الدعوة إلى الله عز وجل ,دعوة أهل السنة ظاهرة ولا تخفى,ووالله لو عرف الناس السنة وأهلها ما عاداها أحد ,لكن الناس يجهلون السنة ويجهلون حقيقة السنة فيعادونها بجهلهم بها وإلا فالسنة هي المصلحة العظيمة في الدنيا والآخرة لكل أحد,هي لمصلحة الحكام ولمصلحة المحكومين لمصلحة الآباء ولمصلحة الأبناء لمصلحة الرجال ولمصلحة النساء ,لمصلحة الفقراء ولمصلحة الأغنياء ,ليس هناك فرد من أفراد الأمة إلا والسنة في نصرته فما يتركها أحد ولا يتنكر إليها أحد .فالسنة هي ما سنه النبي صلى الله عليه وسلم وما كان عليه الخلفاء الراشدون من بعدهم والبدعة هو ما عدا ذلك كما أخبر النبي صلى الله عليه وسلم .
ثم إن العلماء ذكروا ضابطا لهذه المسألة لأن الكثير يدعون بأنهم يستدلون بنصوص الكتاب والسنة ويقولون قال الله وقال رسوله صلى الله عليه وسلم لكن ذكر العلماء ضابطا مهما يضبط هذه المسألة قالوا: الاستدلال بنصوص الكتاب والسنة بناء على فهم سلف الأمة . قولنا: الاستدلال بنصوص الكتاب والسنة دخل في هذا الخوارج ,الخوارج يزعمون بأنهم بنصوص الكتاب والسنة لكن بناء على صلف هذه الأمة,هل دخلوا في أهل السنة؟ لا,ما استفادوا من علي وما انتفعوا بعلمه بل كفروه ,فإذا هؤلاء خرجوا من السنة لأنهم لم يستدلوا بنصوص الكتاب والسنة بناء على سلف هذه الأمة.صاحب السنة إذا ما أراد أن يفسر الآية رجع إلى تفاسير أهل السنة ,ماذا قال ابن عباس ماذا قال مجاهد ماذا قال قتادة ,ثم يبني فهمه على أقوال أهل العلم .وصاحب البدعة هو الذي يأتي بالنصوص ويستدل بها بناء على فهمه,وقد يبني كلامه على أدلة لكن العبرة بالفهم .
ولهذا يقول شيخ الإسلام : الضلال يحصل من جهتين :
إما أن يستدل بما ليس بدليل,أو أن يخطئ في فهم الدليل.فإذا استقام له هذان الأمران أمن الخطأ,وهو صحة الدليل وصحة الفهم .صحة الفهم لا يمكن لواحد منا أن يدعي ,لأن كل إنسان يظن أن عقله أحسن العقول وأن فهمه أحسن الأفهام لكن ضابط هذا أن ترجع إلى فهم أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وفهم سلف الأمة ماذا قالو في معنى هذه الآية ماذا قالوا في معنى هذا الحديث ,فإذا تمسكنا بهذا الأصل فهؤلاء هم أهل السنة ثم بعد ذلك تحصل أخطاء لكن هذه الأخطاء لا يمكن أن تنقض الأصول بأن من سلك هذا المسلك ومن وصل إلى هذه المرحلة في الاستدلال يستدل بالدليل الصحيح بناء على فهم صحيح ,نعم قد يحصل له خطأ جزئ كما حصل للسلف لكنه لا يمكن لأن ينقض أصلا من أصول أهل السنة فهذا هو ضابط السنة وهذا هو ضابط أهل السنة ,وليس كل من قال الله وقال رسوله صلى الله عليه وسلم يكون مصيبا في فهمه وإن كان كلام الله وكلام رسوله ثلى الله عليه وسلم حق,لكن العبرة بالفهم الصحيح ,وأما من يوالي أهل البدع ويشيد بهم وينحرف عن أهل السنة فهذه من أعظم العلامات التي ذكر العلماء أنه من علامات أهل البدع ,قالوا: من علامات أهل البدع الوقيعة في أهل الأثر ,لا تجد رجلا يشتم البخاري ومسلم وأحمد ومالك وأئمة الحديث ويشتم علماء السنة من المعاصرين ومن غيرهم .نحن عرفنا من علماءنا المعاصرين كالشيخ عبد العزيز بن باز وابن عثيمين والألباني هؤلاء والله لا نقول أنهم معصومين ,لكن ماعرفنا مثلهم في السنة وفي القيام بها والدعوة إليه ,فلا نعرف رجلا انحرف عنهم إلا وهو على قدر انحرافه يكون قد أصابهم ما أصابهم من البدع.ولا يعني أيضا الانحراف عنهم أن يأتي المجتهد العالم من أقرانه ويقول: أخطأ فلان وأصاب فلان,هذا ليس منحرفا وإنما هو محب ناصح لكن الذي ينتقصهم ويتهمهم بالبدعة ويتهمهم بما ورد في السؤال من أنهم علماء الحيض والنفاس فهذا من جهله,الحيض والنفاس أحكامهما جاءت في كتاب الله ,فالذي يقلل من شأن هذا العلم هذا رد على الله ورسوله ,والذي يقول هذه الكلمة إن كان يعني ما يقول والله يخشى عليه من الكفر ,إن كان يظن أن الرجل ينتقص بمجرد علمه للحيض والنفاس ,لو صرنا كما صار غيرنا ورآ تلك الكتب الفكرية التي لا تجد فيها مسألة في العقيدة ولن تجد مسألة تبين الحكم الشرعي في المسألة الفقهية وإنما كلها آراء وتصورات وأفكار وخوض في السياسة وكلامهم مبني على كلام الناس لا تجد في كتبهم آية ولا حديث وإنما هو في آراء لو سار الناس هذا السير والله سيأتي على الناس زمان لايعرفون كيف يصلون ,ولكن الناس لا يعرفون فساد هذه الكتب لأن معهم علماء والعلم منتشر لكن والله لو ذهب الناس أو ذهب أهل السنة ولم يبق في الناس إلا هؤلاء لم يبق من دين الله شيئ ,وأما أهل السنة فالخير قد اجتمع فيهم إن سألت عن العلن فهو فيهم وإن سألته عن الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر فهو فيهم وإن سألت عن العبادة والاجتهاد فهو فيهم وإن سألت عن طاعة ولاة الأمر في حدود الضوابط الشرعية فهو فيهم وإن سألت عن أهل المنناصحا لولاة الأمر فهم أهل السنة فالخير اجتمع في أهل السنة ,وهذا لا يعني أن يكون الرجل معصوما منه.لكن هم بمجموعهم لا يخرج الحق عنهم .
وأما ما ورد في السؤال من ذكر الأناشيد وهي ما يسمى بالأناشيد الإسلامية فهذه ليست من السنة وإذا كانت هذه كما يعتقد البعض أنها وسيلة من وسائل الدعوة فأين الدليل على هذا من هدي النبي صلى الله عليه وسلم فإن وسائل الدعوة التعبدية كلها قد دلت عليها الأدلة وينبغي أن يفرق بين الوسائل التعبدية والعادية .الوسائل التعبدية هي الوسائل التعبدية التي لا يسع الخروج عنها مثل أن يكون الهجر منهج ومسلك من مسالك الدعوة التأليف مسلك العلم مسلك النصح والبيان وإزالة الشبه والمجادلة بالتي هي أحسن من مسالك الدعوة الصحيحة ,فمن أنكر شيئا من هذا فهو مبتدع,
وأما الوسائل العادية مثل استخدام المكبر واستخدام الشريط واستخدام الكتاب,وجود الجامعات الآن ,وجود الوسائل فهذه الوسائل العادية ولا نقول أنه تدخل البدع فيها فمهما أحدث الناس من هذه الوسائل فاستخدامها مشروع لأنها وسائل عادية وليست تعبدية.
ولهذا لا نقول بأن الدعوة تنحصر في المكبر وأنه ليست هناك دعوة صحيحة إلا لرجل لا بد أن يستخدم المكبر أو يستخدم الإذاعة أو غيرها ,إنما هي وسيلة لإيصال الكلمة,وليست غاية.وأما الوسائل الشرعية فلا يسع الخروج عنها ,لو جاء رجل فقال: لا يهجر المخالف والله نبدعه ونتهمه في دينه لأنه خالف هدي النبي صلى الله عليه وسلم ,ولكن لو جاء رجل الآن قال: أنا لن أستخدم المكبر في الدعوة إلى الله عز وجل وإنما أخاطب الناس وأرفع صوتي حتى يسمعني الناس,هل نقول :أنت مبتدع؟ لا يقال فيه,لأن هذه وسيلة عادية, فمن اسخدم هذه الوسائل أو تركها لا يحرج عليه.فالأناشيد ليست وسيلة شرعية .ومن اعتقد أنها وسيلة فإنه مبتدع خالف هدي النبي صلى الله عليه وسلم ,وأما إن كان المقصود بها اللهو واللعب فمعلوم أن اللهو واللعب ليس من دين الله وأما من يعتقد أن هذه الأناشيد هي مرحلة ننتقل بها من الناس من سماع الأغاني إلى سماع الأناشيد ثم إلى سماع القرآن فهذه والله من الجهل وهو ألا يدعى الناس إلى الحق وإنما يدعى الناس إلى مرحلة قبل الحق .فالناس لا يمكن أن تصدق توبتهم وتصح توبتهم حتى يترك المخالفة إلى السنة وإلى الحق فكيف ننقله إلى مرحلة دون الحق ثم لو مات وهو في هذه المرحلة فمن الذي يتحمل إثمه ,انت تدعو وتقول: اتقول الله ودعوا الأغاني واسمع الأناشيد,ومعلوم أن هذه الأناشيد فيها من المخالفات الكثيرة ,منها: التلذذ بأصوات المنشدين من الشباب ومن غيرهم وكم فتن من فتن بهؤلاء حتى كأنها كلأغاني وأصبحت شغل الناس الشاغل ,ومن داوم عليها فإنه يضعف سماعه للقرآن .فإن أشكل عليكم شيئ فارجعوا إلى علماءنا الكبار,هل ألفوا الفرق للإنشاد بين يدي دروسهم ؟,وفي المساجد أم أنهم عكفوا يعلمون الناس العلم ويبينون الناس السنة ,هذه لم تأت إلا من بعض المخالفين من الجهلة أو من أهل البدع ,قد يكون الرجل له مقصد حسن,لكن من ظن أن هذه وسيلة للدعوة فهو مخطئ .
(مفرغ من شريط عن ضوابط الهجر)
“Sebagaimana yang aku sebutkan bahwa (istilah) ahlus sunnah bukanlah sesuatu yang manusia dapat berijtihad padanya dengan hawa nafsu mereka bahwa ia termasuk ahlus sunnah atau ahlul bid’ah, sebab jika demikian, maka banyak dari kalangan ahlul bid’ah yang mengaku diri mereka sebagai ahlus sunnah, dan yang menyelisihi mereka sebagai ahlul bid’ah. Ini merupakan perkara tauqifi (bersandar kepada nash), ahlus sunnah adalah yang menegakkan sunnah secara ilmu, amal, dan dakwahnya. Kembalilah kepada nash-nash yang ada, siapa yang amalannya sesuai dengan amalan Nabi shallallahu alaihi wasallam maka dia termasuk dari kalangan ahlus sunnah, dan siapa yang menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu alaihi wasallam maka dia termasuk dari kalangan ahlul bid’ah yang keluar dari sunnah. Maka sunnah merupakan perkara yang dimaklumi, prinsip-prinsip sunnah juga telah diketahui, dalam masalah tauhid, masalah takdir, masalah iman, tentang sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, tentang penguasa, tentang bergaul dengan para ulama, tentang mengajak kepada jalan Allah Azza wajalla. Dakwah ahlus sunnah jelas dan tidak tersamarkan, demi Allah, jika sekiranya manusia mengenal sunnah dan para pemeluknya, maka tidak seorang pun yang akan memusuhinya. Akan tetapi manusia jahil terhadap sunnah, dan jahil terhadap hakekatnya, sehingga mereka memusuhinya karena kejahilan mereka, padahal sunnah merupakan kemaslahatan yang besar di dunai dan akhirat bagi setiap orang. untuk kemaslahatan penguasa, dan kemaslahatan rakyat, untuk kemaslahatan orang tua, dan juga untuk kemaslahatan anak-anak, untuk kemaslahatan para lelaki, dan juga para wanita, untuk kemaslahatan orang-orang miskin dan juga orang-orang kaya, tidak ada satu pun dari elemen umat ini melainkan dengan sunnah sebagai pertolongannya, tidak seorang pun yang meninggalkannya dan yang mengingkarinya. Maka As-sunnah adalah apa yang disunnahkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wasallam, dan apa yang para khulafa ar-rasyidin berada di atasnya dari setelahnya, sementara bid’ah adalah selain itu, sebagaimana yang diberitakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Kemudian para ulama menyebut ketentuan dalam masalah ini, karena banyak yang mengaku bahwa mereka berdalil dengan nash-nash dari Al-kitab dan As-sunnah, dan mereka mengatakan: berfirman Allah, bersabda Rasul-Nya Shallallahu alaihi wasallam. Namun para ulama menyebutkan ketentuan yang penting dalam permasalahan ini, mereka berkata: berdalil dengan nash-nash dari Al-kitab dan As-sunnah dengan pemahaman pendahulu umat ini. Ketika kami mengatakan: berdalil dengan Al-kitab dan As-sunnah, maka termasuk didalamnya kelompok khawarij. Khawarij menyangka bahwa mereka berdalil dengan Al-kitab dan As-sunnah, namun apakah diatas pemahaman pendahulu umat ini?, apakah mereka termasuk ahlus sunnah? Tidak, mereka tidak mengambil faedah dari Ali, dan mereka tidak mengambil manfaat ilmu darinya, bahkan mereka mengkafirkannya. Jadi,mereka ini keluar dari sunnah, sebab mereka tidak berdalil dengan Al-kitab dan As-sunnah yang dibangun diatas pemahaman pendahulu umat ini. Ahlus sunnah, jika ingin menafsirkan sebuah ayat, maka ia merujuk kepada tafsir ahlus sunnah. Apa yang diucapkan Ibnu Abbas, apa yang diucapkan oleh Mujahid, apa yang diucapkan oleh Qatadah, lalu dia membangun pemahamannya diatas pendapat para ahli ilmu. Sedangkan ahlul bid’ah, adalah yang mendatangkan nash-nash dan berdalil dengannya, dan dibangun diatas pemahamannya.Terkadang dia membangun pendapatnya diatas dalil-dalil, namun yang ditinjau adalah pemahaman.
Oleh karenanya, berkata Syeikhul Islam: kesesatan dapat terjadi dari dua arah:
Adakalanya dia berdalil dengan yang bukan dalil, atau dia salah dalam memahami dalil. Apabila dapat terpenuhi dua perkara, maka dia selamat dari kesalahan, yaitu keshahihan dalil dan benarnya pemahaman. Dalam hal benarnya pemahaman, tidak mungkin seseorang dari kita mengklaim demikian, karena setiap orang selalu menyangka bahwa akalnya adalah yang terbaik, dan pemahamannya adalah yang terbaik. Namun yang menjadi ketentuan dalam hal ini, adalah engkau kembali kepada pemahaman sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, dan pemahaman pendahulu umat ini, apa yang mereka katakan dalam menjelaskan makna ayat ini, apa yang mereka jelaskan dalam makna hadits ini. Jika kita telah berpegang dengan prinsip ini, maka mereka adalah ahlus sunnah. Kemudian setelah itu, bisa terjadi kesalahan, namun kesalahan ini tidak mungkin membatalkan prinsip-prinsip tersebut. Barangsiapa yang menmpuh jalan ini,dan sampai kepada tingkatan ini dalam mencari dalil,dia berdalil dengan dalil yang shahih dan dibangun diatas pemahaman yang shahih,iya,terkadang terjadi padanya kesalahan dalam sebagian perkara, sebagaimana yang dialami kaum salaf, namun tidak mungkin membatalkan prinsip dari prinsip-prinsip ahlus sunnah wal jama’ah, inilah ketentuan As-sunah dan ahlus sunnah. Dan tidak setiap orang yang berkata :Allah berfirman, bersabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, berarti dia benar dalam pemahamannya, walaupun firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah haq, namun yang ditinjau adalah pemahaman yang benar.
Adapun orang yang bersikap loyal kepada ahlul bid’ah, dan menguatkan mereka, dan menyimpang dari ahlus sunnah, maka ini termasuk tanda yang paling besar yang disebutkan oleh para ulama bahwa itu termasuk tanda ahlul bid’ah, mereka mengatakan: diantara tanda ahlul bid’ah adalah mencela ahlul atsar (para tokoh ahlus sunnah,pen). Kamu tidak mendapati seseorang (dari ahlus sunnah) yang mencela Bukhari, Muslim, Ahmad, Malik dan para imam hadits, dan mencela ulama ahlus sunnah yang hidup dimasa sekarang dan yang selainnya. Kita mengetahui dari ulama zaman kita seperti Syekh Abdul aziz Bin Baaz, Ibnu Utsaimin, Al-Albani, mereka ini demi Allah, kami tidak mengatakan bahwa mereka itu ma’shum, namun kami tidak mengenal yang semisal mereka dalam hal menghidupkan sunnah, menegakkannya, dan mendakwahkannya. Kami tidak mengetahui seseorang yang menyimpang dari mereka melainkan dia berada diatas kadar penyimpangannya, telah terjatuh kedalam bid’ah. Dan bukan pula yang dimaksud menyimpang dari mereka, bila ada seorang mujtahid alim dari sahabatnya mengatakan: telah salah si fulan, dan benar si fulan. Ini bukan penyimpangan, namun dia adalah orang yang mencintai yang memberi nasehat, namun yang merendahkan mereka dan menuduh mereka dengan bid’ah, dan menuduh mereka seperti apa yang terdapat dalam pertanyaan, bahwa mereka adalah ulama haid dan nifas, maka ini menunjukkan kejahilannya. Haid dan nifas, hukum keduanya terdapat dalam kitabullah. Yang menganggap remeh kedudukan ilmunya, termasuk penolakan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Dan yang mengatakan ucapan ini, jika memang demikian yang dia ucapkan, demi Allah dikhawatirkan atasnya kekafiran ,jika orang tersebut merendahkannya disebabkan karena ilmunya tentang haid dan nifas. Jika sekiranya kita seperti yang lainnya yang melihat buku-buku yang didasari atas pemikiran semata, yang engkau tidak mendapati di dalamnya ada permasalahan dalam akidah, dan engkau tidak mendapati permasalahan yang menjelaskan hukum syar’i dalam masalah fikih, dan yang ada hanyalah pendapat, pandangan, pemikiran, terjun dalam politik, ucapannya dibangun di atas ucapan manusia, engkau tidak mendapati dalam kitab-kitab mereka ayat ataupun hadits, namun hanya sekedar menggunakan akal. Jika sekiranya manusia menjalani cara ini, demi Allah akan muncul satu zaman dimana manusia tidak lagi mengetahui bagaimana cara mereka shalat. Namun mereka tidak mengetahui kerusakan buku-buku ini, sebab mereka masih bersama para ulama, dan ilmu masih menyebar. Akan tetapi jika ahlus sunnah telah pergi, dan tidak lagi ada yang tinggal kecuali mereka ini, maka tidak ada lagi yang tertinggal dari agama Allah. Adapun ahlus sunnah, maka kebaikan telah terkumpul pada mereka, jika engkau bertanya tentang ilmu, maka ada pada mereka, jika engkau bertanya tentang amar ma’ruf dan nahi mungkar, maka ada pada mereka, jika engkau bertanya tentang ibadah dan kesungguhan, maka ada pada mereka, jika engkau bertanya tentang keta’atan terhadap penguasa dalam batasan-batasan syari’at, maka ada pada mereka, jika engkau bertanya tentang mereka yang selalu memberi nasehat kepada penguasa, maka merekalah ahlus sunnah. Maka kebaikan terkumpul pada ahlus sunnah. Dan ini bukan berarti bahwa seseorang tersebut ma’shum, namun mereka secara menyeluruh, kebenaran tidak keluar dari mereka.
Adapun yang terdapat dalam pertanyaan tentang nasyid, yaitu yang dinamakan dengan nasyid islami, maka ini bukan dari sunnah. Dan jika ini dianggap sebagai sarana dakwah –sebagaimana yang diyakini oleh sebagian orang- , maka manakah dalil atas hal ini dari petunjuk Nabi Shallallahu alaihi wasallam, karena sesungguhnya sarana dakwah yang bersifat ibadah seluruhnya telah ditunjuki oleh dalil-dalil. Dan hendaklah dibedakan antara sarana dakwah yang bersifat ibadah dengan sarana dakwah yang bersifat adat kebiasaan. sarana dakwah yang bersifat ibadah adalah sarana ibadah yang tidak diperkenankan untuk keluar darinya, misalnya melakukan hajr (pemboikotan) sebagai manhaj, dan diantara yang ditempuh dalam berdakwah, menulis karya termasuk sarana, ilmu termasuk sarana, nasehat dan penjelasan termasuk sarana, menghilangkan syubhat dan berdialog dengan cara yang paling baik, termasuk diantara sarana dakwah yang benar. Maka barangsiapa yang mengingkari sesuatu dari perkara ini maka dia ahlul bid’ah. Adapun sarana yang berupa adat kebiasaan, seperti menggunakan pengeras suara, menggunakan kaset, menggunakan kitab, adanya universitas –universitas sekarang ini, adanya berbagai sarana yang lainnya, maka sarana yang bersifat adat kebiasaan, dan kita tidak mengatakan bahwa bid’ah masuk kedalamnya, sebab bagaimanapun manusia membuat rancangan baru dari berbagai sarana ini, maka menggunakannya adalah perkara yang disyari’atkan, karena sarana ini bersifat adat kebiasaan dan bukan ibadah. Oleh karenanya, kita tidak mengatakan bahwa dakwah hanya dibatasi oleh pengeras suara, dan tidak ada dakwah yang benar kecuali apabila seseorang menggunakan pembesar suara, atau menggunakan radio, atau yang lainnya, namun itu hanyalah sarana untuk menyampaikan ucapan, dan bukan tujuan. Adapun sarana yang bersifat syar’i maka tidak diperkenankan untuk keluar darinya. Bila ada seseorang datang lalu berkata: “orang yang menyelisihi (sunnah) tidak boleh dihajr”, demi Allah kita mentabdi’nya (menuduhnya berbuat bid’ah), dan kita meragukan agamanya, sebab dia telah menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Tapi jika ada seseorang datang dimasa sekarang ini dan berkata: saya tidak akan menggunakan pengeras suara dalam berdakwah dijalan Allah Azza wajalla, namun saya akan berbicara di hadapan manusia dan mengangkat suara saya sampai manusia mendengar suaraku, apakahkita mengatakan padanya: kamu ahlul bid’ah? Tentunya tidak, sebab ini hanyalah sarana yang menjadi kebiasaan setempat, maka barangsiapa yang ingin menggunakan sarana ini atau meninggalkannya, maka tidak ada kesempitan atasnya. Maka nasyid bukanlah sarana yang disyari’atkan, barangsiapa yang meyakini bahwa itu wasilah maka dia ahlul bid’ah, menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Adapun kalau yag dimaksud adalah sebagai permainan dan senda gurau, maka telah diketahui bahwa senda gurau dan permainan bukanlah dari agama Allah. Adapun orang yang meyakini bahwa nasyid-nasyid ini sebagai tahapan yang manusia berpindah dari mendengar nyanyian kepada mendengar nasyid, lalu setelah itu mendengar Al-Qur’an, maka ini –demi Allah- termasuk kejahilan, karena dia tidak mengajak manusia kepada al-haq, namun diajak kepada sebuah tahapan sebelum al-haq, maka seseorang tidak mungkin menjadi benar taubatnya, dan diterima hingga ia meninggalkan perbuatan menyelisihi menuju kepada sunnah dan kebenaran, maka bagaimana mungkin kita memindahkannya menuju sebuah tahapan dibawah sebelum al-haq, lalu jika dia mati dalam keadaan berada pada tahapan ini, maka siapa yang akan menanggung dosanya? anda berdakwah dan mengatakan: bertakwalah kepada Allah, tinggalkan nyanyian dan dengarkanlah nasyid, padahal juga telah dimaklumi bahwa di dalam nasyid banyak terjadi pelanggaran, diantaranya: merasa enak dengan mendengar suara para pelantun nasyid dari kalangan para pemuda dan selain mereka, berapa banyak yang terfitnah disebabkan mereka ini, sehingga terdengar persis seperti nyanyian, dan bahkan telah menjadi kesibukan sebagian manusia, dan barangsiapa yang membiasakan diri dengannya maka hal tersebut akan melemahkannya untuk mendengarkan Al-Qur’an.
Jika kalian menemukan satu problem, maka kembalilah kepada para ulama kita, apakah mereka pernah membuat tim untuk para pelantun nasyid disela-sela pelajaran mereka?, dan dimasjid-masjid? Ataukah mereka tetap mengajari manusia ilmu dan menjelaskan kepada manusia tentang sunnah. Hal ini tidaklah datang kecuali dari sebagian orang-orang yang menyelisihi (al-haq) dari kalangan orang-orang bodoh, atau dari kalangan ahlul bid’ah. Mungkin saja seseorang memiliki niat yang baik, namun barangsiapa yang menyangka bahwa hal ini termasuk sarana dalam berdakwah maka sungguh dia telah keliru”.
(dari kaset yang menjelaskan tentang dhawabit fil hajr, terdiri dari dua kaset, dan Tanya jawab ini terdapat pada kaset yang kedua, pada sesi Tanya jawab. Kasetnya ada pada kami).
Perhatikan beberapa ucapan beliau yang bergaris miring, lalu cocokkan dengan apa yang diucapkan oleh Abdurrahamn Abdul Khaliq pada penukilan sebelumnya, maka anda akan mendapati bahwa sifat yang beliau sebutkan ini sangat tepat diterapkan kepada Abdurrahman Abdul Khaliq, dan orang-orang yang sepemikiran dengannya.Wallahul musta’an.
(BERSAMBUNG INSYA ALLAH)
Catatan :
(1) Yakni Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin telah mengtaqridh kitab Madarikun Nazhar dan memberikan pengantar. Dalam pengantar kitab tersebut beliau menyinggung beberapa orang, yakni yang beliau maksud di situ adalah : ‘Aidh Al-Qarni, Salman Al-‘Audah, Safar Al-Hawali, dan Nashir Al-‘Umar, mereka adalah tokoh-tokoh utama kelompok Sururiyyah dan Quthbiyyah. Bagi yang pernah membaca kitab Madarikun Nazhar pasti tahu perkara ini.
(2) Yaitu pemikiran yang selalu digembar-gemborkan oleh Safar dan Salman, dan Abdurrahman Abdul Khaliq.
(3) Yakni bukan yang dimaukan syaikh : rifqan (bersikap lembutlah) wahai ahlus sunnah terhadap ikhwanul muslimin, atau rifqan wahai ahlus sunnah terhadap orang-orang yang gandrung dengan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb, rifqan wahai ahlus sunnah terhadap pergerakan-pergerakan hizbiyyah …dst Tapi yang dituju dan dimaukan oleh syaikh dengan kitab tersebut adalah sesama/intern ahlus sunnah.
(4) Potongan dari ceramah beliau ketika datang berkunjung ke Indonesia. Karena terlalu panjang,kami tidak menukil semua yang beliau katakan, namun kami hanya menukil yang menjadi sebab beliau membela organisasi ini. Namun ada beberapa hal yang perlu kami bahas berkenaan tentang Tanya jawab tersebut, insya Allah akan kita bahas dikesempatan yang lain.
(5) Sengaja kami tidak memotong fatwa beliau, dan kami sebutkan secara lengkap, agar kita mendapatkan faedah dari beberapa hal lain yang menjadi kegiatan para hizbiyyin.