Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

tawassul

12 tahun yang lalu
baca 8 menit

Setelah kita mengetahui bahaya kesyirikan yang sangat besar di dunia dan akhirat, kita perlu mengetahui secara rinci bentuk-bentuk kesyirikan yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Di antara bentuk-bentuk yang banyak terjadi pada mereka adalah berdo’a dan meminta pada kuburan-kuburan yang dianggap keramat, kepada orang-orang shalih yang telah mati atau kepada jin-jin dan malaikat-malaikat. Banyak pula di antara mereka yang bertawassul (mengambil perantara) dengan ruh atau kedudukan nabi dan bertawassul dengan kemuliaan para wali dan orang-orang shalih (yang sudah mati).
Jika kita mencermati nash-nash dalam al-Qur’an maupun sunnah, maka akan kita dapati pula hal demikian ini pada zaman jahiliyah dulu ketika Rasulullah diutus.
Kaum musyrikin di zaman jahiliyah dulu ataupun pada zaman kita ini selalu beralasan bahwa mereka tidak menyembah sesembahan-sesembahan tadi melainkan hanya sebagai taqarruban (mendekatkan diri) dan wasilah (perantara) kepada Allah. Allah mengkisahkan jawaban mereka ketika diperingatkan dari kesyirikan dalam firman-Nya:
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar: 3)
Siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang meminta sesuatu kepada selain Allah dimana mereka tidak mungkin akan dapat mengabulkannya sampai hari kiamat. Mereka telah mati, telah terputus hubungannya dengan kita dan berbeda alamnya. Bahkan Mereka di alam barzakh (alam kubur-red.)disibukkan dengan urusannya sendiri.
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do’a) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do’a mereka?” (QS. Al Ahqaaf: 5)
Mengapa tidak meminta secara langsung kepada yang Maha Mendengar dan Maha Melihat?
“Dan Rabb-mu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Az-Zumar: 60)
Mereka yang dianggap oleh sebagian masyarakat dapat menyampaikan harapannya kepada Allah, dalam keadaan sedang sibuk mendekatkan diri mereka sendiri kepada-Nya, mengharapkan rahmat dari-Nya dan takut akan adzab-Nya. Dan mereka tidak dapat mendengarkan do’a mereka. Bahkan jika mereka adalah orang-orang yang shalih ketika hidup di dunia, tentu akan mengingkari kesyirikan ini pada hari kiamat kelak.
“Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (QS. Faathir: 14)
Maka yang akan terjadi pada hari kiamat adalah mereka saling salah-menyalahkan sebagaimana dalam kelanjutan ayat dalam surat Al Ahqaaf di atas:
“Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al Ahqaaf: 6)
Untuk itu perlu kita bahas makna tawassul dan wasilah. Karena jika terjadi kesalahan dalam masalah ini dapat menjerumuskan seseorang dalam kesyirikan besar yang dapat menggugurkan seluruh amalannya.

Definisi tawassul
Tawassul berasal dari kata الوسيلة yaitu suatu sebab yang dapat menghantarkan pada tercapainya tujuan. Wasilah juga mempunyai makna yang lain, yaitu kedudukan di sisi raja, atau derajat dan kedekatan. Di dalam hadits berikut ini kata wasilah dipakai untuk pengertian “kedudukan tinggi di surga”.
Apabila kamu mendengar (ucapan) muadzin, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkannya. Kemudian bershalawatlah kepadaku karena sesungguhnya orang yang membaca satu shalawat kepadaku, maka Allah akan membalasnya sepuluh kali. Kemudian mintalah kepada Allah untukku wasilah, karena ia adalah kedudukan di surga yang tidak layak kecuali bagi seorang hamba di antara hamba-hamba Allah dan aku berharap menjadi orang tersebut. Barangsiapa meminta untukku wasilah tersebut ia berhak memperoleh syafaat. (HR. Imam Muslim).
Itulah makna wasilah secara bahasa.
Adapun makna wasilah menurut al-Qur’an adalah sebagaimana firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 35)
Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah ketika mengutip penafsiran Ibnu Abbas, Mujahid, Abu Wail, Al-Hasan, Abdullah bin Katsir, Asuddi, Ibnu Zaid dan lainnya- berkata bahwa wasilah di dalam ayat ini (Al Maidah ayat 35) ialah peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Beliau juga menukil perkataan Qatadah mengenai ayat tersebut: “Mendekatkan kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengerjakan amal yang membuat-Nya ridha”.
Maka tawassul atau wasilah adalah mencari jalan kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan beribadah kepadanya dengan cara yang diajarkan oleh Rasul-Nya. Dengan demikian hendaklah orang yang berdo’a mengambil perantara agar dikabulkan do’anya dengan perkara-perkara yang dicintai dan disukai oleh Allah, yaitu yang diajarkan oleh Rasulullah. Bukan dengan kebid’ahan yang membuat Allah benci, bukan pula dengan kesyirikan yang membuat Allah murka!

Tawassul yang Disyariatkan
Ada beberapa macam tawassul yang disyari’atkan dan dicontohkan oleh Rasulullah, yaitu:
1. Bertawassul dengan nama-nama Allah ta‘ala, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya
“Hanya milik Allah asmaaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu …” (QS. Al Anfaal: 18)
Di antara tawassul dengan nama-nama Allah adalah ucapan Rasulullah:
Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu yang laki-laki dan anak hamba-Mu yang perempuan. Ubun-ubunku ada di tangan-Mu. Hukum-Mu telah berlaku atasku. Ketentuan-Mu telah adil bagiku. Aku memohon kepada-Mu, ya Allah, dengan semua nama yang Engkau miliki yang Engkau namakan diri-Mu dengannya. Atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu. Atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu. Atau yang Engkau khususkan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu. Jadikanlah Al Qur’an Al Adhim sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, penghilang kesedihan dan kegelisahanku. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Di antara tawassul dengan menyebutkan sifat-Nya adalah doa beliau:
Aku berlindung dengan kemuliaan dan kekuasaan Allah dari kejelekan yang aku jumpai dan aku takuti. (HR. Muslim)
Dan di antara tawassul dengan perbuatan-perbuatan Allah adalah shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah yang dikenal dengan shalawat Ibrahimiyah yaitu:
Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarganya.
Kalimat “kama Shallaita” dalam hadits di atas yang artinya “sebagaimana Engkau memberi shalawat” merupakan salah satu perbuatan Allah.
2. Bertawassul dengan keimanan kepada Allah dan rasul-Nya
“Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Rabb-mu”, maka kami pun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.” (QS. Ali Imran: 193)
Dari ayat di atas disebutkan bahwa dengan sebab keimanan kami kepada rasul-Mu maka ampunilah dosa kami. Maka jadilah iman ke-pada Allah dan rasul-Nya menjadi wasilah atau sebab diampuni dosa-dosa.
3. Bertawassul dengan keadaan orang yang berdo’a.
Yaitu seorang yang berdo’a bertawassul dengan keadaannya, seperti pernyataan seseorang ketika berdo’a:
Ya Allah, sesungguhnya aku ini faqir sangat membutuhkanmu. Ya Allah sesungguhnya aku ini tawanan (budak) milikmu….
Adapun dalilnya adalah firman Allah:
“Ya Rabb-ku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. Al Qashash: 24)
4. Bertawassul dengan do’anya orang yang mungkin dikabulkan doanya.
Adapun dalilnya adalah ketika seseorang yang meminta Rasulullah untuk berdo’a kepada Allah agar diturunkan hujan, orang itu berkata: “Wahai Rasulullah, telah binasa harta benda kami dan terputus jalan-jalan maka mohonkanlah kepada Allah agar menurunkan hujan”. Maka Rasulullah mengangkat kedua tangannya, lalu berdoa: “Ya Allah turunkanlah hujan, ya Allah turunkanlah hujan”. (HR. Muslim)
Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa syarat orang yang diminta untuk berdo’a adalah:
1. Hadir atau dapat mendengar permintaan orang tersebut.
2. Masih hidup dan dapat melakukan do’a tersebut.
3. Hati harus tetap yakin bahwa Allah-lah yang akan menentukan segala sesuatunya. Tidak ada kecenderungan hati kepada selain-Nya.
Adapun meminta dido’a-kan atau meminta disampaikan keinginannya kepada orang yang telah mati atau kepada kuburan-kuburan, atau kepada orang yang tidak hadir dan tidak mendengar walaupun masih hidup, maka yang demikian merupakan kesyirikan yang nyata.
5. Bertawassul dengan amal shalih
Yakni menyebutkan dalam do’anya amal shalih yang pernah dikerjakannya. Hal itu seperti yang ditunjukkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar, bahwa ada 3 orang laki-laki yang terkurung di dalam gua. Kemudian mereka berdoa dengan menyebutkan amalan shalihnya masing-masing agar dibukakan pintu gua tersebut dari batu yang menutupinya. Akhirnya Allah mengabulkan doa mereka, dan mereka dapat keluar dari gua tersebut .
Demikianlah uraian ringkas tentang tawassul yang disyari’atkan dan peringatan terhadap bentuk-bentuk tawassul yang dapat menjerumuskan kita dalam kesyirikan. Semoga Allah senantiasa menjauhkan kita dari segala macam kesyirikan sehingga akan selamatlah amalan-amalan kita. Amin.
Wallahu a’lam

Oleh:
Admin
Sumber Tulisan:
TAWASSUL