Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam adalah sebaik-baik manusia, tidak ada yang melebihi beliau dalam hal kemuliaan dan kehormatan. Oleh karena itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan beliau sebagai suri tauladan terbaik bagi umat manusia. Allah berfirman (artinya): “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam itu suri tauladan bagi kalian.” (Al Ahzab: 21)
Beliaulah yang harus kita cintai melebihi kecintaan terhadap diri kita sendiri, orang tua, anak, istri dan seluruh umat manusia. Namun Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam melarang umatnya dari sikap berlebihan, terkhusus sikap pengkultusan terhadap diri beliau Shalallahu’alaihi Wassallam. Sebagaimana beliau bersabda:
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مِرْيَمَ ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ ، فَقُوْلُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
“Janganlah kalian mengkultuskan diriku, sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Hanyalah aku ini seorang hamba, maka katakanlah: “(Aku adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya.” (H.R Al Bukhari)
Sangatlah disayangkan ternyata kaum Sufi merupakan kaum yang paling gencar melanggar perintah Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam tersebut. Sekian banyak bukti pengkultusan mereka terhadap Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam
terdapat dalam karya tulis tokoh-tokoh tersohor mereka. Sampai-sampai pengkultusan tersebut menjerumuskan mereka ke dalam jurang kesyirikan, baik dalam hal rububiyah, uluhiyah, ataupun asma’ wa sifat.
DIANTARA BUKTI PENGKULTUSAN KAUM SUFI TERHADAP RASUL Shalallahu’alaihi Wassallam
Gambaran pengkultusan kaum Sufi terhadap Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam sangatlah beraneka ragam, yang kesemuanya bermuara dari kedustaan, khayalan atau kebodohan. Dapatlah kita simak gambaran-gambaran tersebut melalui bukti-bukti berikut ini :
1. Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam Diciptakan Dari Nur (Cahaya) Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Diantara tokoh Sufi yang berpendapat demikian adalah Ibnu Arabi di dalam Al Futuhat Al Makkiyyah 1/119, Abdul Karim Al Jaili di dalam Al Insaanul Kaamil 2/46 dan beberapa yang lainnya.
Demi memudahkan penyebaran aqidah sesat ini, mereka memunculkan hadits yang tidak diketahui asal usulnya yang didustakan atas nama Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam yaitu:
أَنَّ اللهَ تَعَالى خَلَقَ نُوْرِ نَبِيِّهِ مِنْ نُوْرِهِ
“Bahwasanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan cahaya nabi-Nya dari cahaya-Nya”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala membantah keyakinan keji ini dengan menyatakan bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam adalah seorang manusia sedangkan manusia itu diciptakan dari tanah bukan dari cahaya. Allah berfirman (artinya):
“Katakanlah (wahai Muhammad) :” Maha Suci Tuhanku, aku tidak lain adalah seorang manusia dan rasul.” (Al Israa’: 93)
Dia juga berfirman (artinya): “Dan Allah menciptakan kalian (manusia) dari tanah, kemudian nuthfah lalu menjadikan kalian berpasang-pasangan.” (Faathir: 11)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam diciptakan dari unsur tanah dan tidak ada satupun manusia yang diciptakan dari cahaya. Disamping itu, keutamaan sebagian makhluk dibanding makhluk lainnya bukanlah karena unsur diciptakannya. Bahkan Nabi Adam beserta anak keturunannya yang shalih itu lebih utama dari malaikat walaupun malaikat tersebut diciptakan dari cahaya. (Disarikan dari Majmu’ Fatawa 11/94-95)
2. Seluruh Alam Semesta Diciptakan Dari Nur (cahaya) Muhammad (Aqidah Nur Muhammadi)
Abdul Karim Al Jaili berkata: “Dan tatkala Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan seluruh alam semesta ini dari nur Muhammad, maka hati Muhammad Shalallahu’alaihi Wassallam itu merupakan bagian yang malaikat Israfil diciptakan darinya –lalu dia mengatakan– sesungguhnya Al Aqlu Al Awwal yaitu Muhammad Shalallahu’alaihi Wassallam, Allah ciptakan darinya Jibril sehingga Muhammad Shalallahu’alaihi Wassallam adalah ayah Jibril dan asal usul dari seluruh alam.” (Al Insaanul Kaamil 2/26-27).
Dari dua jenis keyakinan kufur ini, dapat disimpulkan bahwa Allah menciptakan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam dari cahaya-Nya, kemudian dari cahaya tersebut terciptalah seluruh alam semesta. Sehingga tidaklah yang ada di alam semesta ini melainkan bagian dari Dzat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Muncullah dari sini keterkaitan kedua keyakinan itu dengan aqidah Manunggaling Kawula Gusti. Sebuah skenario yang benar-benar keji. Wallahul Musta’an!!
3. Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam Memiliki Beberapa Sifat Ketuhanan (Rububiyyah) Sehingga Berhak Diibadahi
Keyakinan kufur ini tidaklah terlepas dari konsekuensi yang diraih ketika mereka menyatakan tentang aqidah Manunggaling Kawula Gusti. Dan inilah yang ditegaskan sendiri oleh pujangga-pujangga syair tersohor mereka.
Al Bushiri berkata di dalam syairnya yang terkenal:
Maka sesungguhnya diantara kedermawananmu (Muhammad) adalah adanya dunia dan akhirat
Dan diantara ilmumu adalah ilmu tentang Lauhul Mahfudh dan Al Qalam (yaitu ilmu tentang segala takdir di alam semesta ini)
(Burdatul Madiih hal. 35 yang terkenal dengan Qasidah Burdah).
Yusuf An Nabhani menukil perkataan Syamsuddin At Tuwaji Al Mishri:
Wahai utusan Allah, sesungguhnya aku ini lemah
Maka sembuhkanlah aku karena sesungguhnya engkau adalah pangkal kesembuhan
Wahai utusan Allah, bila engkau tidak menolongku
Maka pada siapa lagi menurutmu aku akan bersandar
(Syawaahidul Haq hal. 352)
Betapa jauhnya penyimpangan mereka dari aqidah yang benar?!!, padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya):
“Katakanlah (wahai Muhammad): “Aku tidaklah memiliki manfaat atau dapat mencegah bahaya dari diriku sendiri kecuali yang Allah kehendaki. Kalau seandainya aku mengetahui yang ghaib maka tentunya aku dapat memperbanyak kebaikan untukku dan tidak ada satupun bahaya yang menimpaku”. (Al A’raaf:188)
“Dan bila Allah menimpakan kepadamu suatu kejelekan maka tidak akan ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia saja. Dan apabila Dia mendatangkan kebaikan kepadamu maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Al An’aam:17)
4. Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam Dapat Dilihat Di Dunia Dalam Keadaan Terjaga (Setelah Beliau Meninggal Dunia)
Keyakinan ini mereka ambil berdasarkan hikayat-hikayat dusta yang berasal dari tokoh-tokoh tarekat mereka.
Asy Sya’rani menyatakan bahwa Abul Mawaahib Asy Syadzali berkata: “Aku pernah melihat Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam lalu berkata kepadaku tentang diri beliau: “Aku sebenarnya tidaklah mati. Hanyalah kematianku (sekarang ini) sebagai persembunyianku dari orang-orang yang tidak mengerti tentang Allah.” Maka akupun melihat beliau dan beliaupun melihat aku.” (Thabaqatul Kubra 2/69 karya Asy Sya’rani).
Bahkan dengan tegas Abul Mawaahib membawakan sabda Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam
dengan dusta bahwa barangsiapa yang tidak percaya dengan pertemuan dirinya dengan beliau, kemudian dia mati, maka dia mati dalam keadaan sebagai seorang Yahudi, Nashrani atau Majusi!! (Thabaqatul Kubra 2/67)
Sebagian murid Khaujili bin Abdirrahman (seorang tokoh Sufi jaman ini) menceritakan bahwa gurunya ini pernah melihat Rasulullah sebanyak 24 kali dalam sehari sedangkan dia dalam keadaan sadar. (Thabaqat Ibni Dhaifillah hal. 190)
Hikayat-hikayat yang mereka ceritakan ini sebenarnya mengandung beberapa perkara yang batil, diantaranya:
a. Jasad Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam yang ada di kubur dapat kembali ke alam dunia. Padahal Allah Subhanahu Wa Taala berfirman (artinya): “Dan di belakang mereka terdapat dinding (pemisah antara alam kubur dengan alam dunia) sampai hari mereka dibangkitkan (hari kiamat)”. (Al Mu’minuun: 100)
b. Rasulullah sekarang ini tidak meninggal dunia. Allah Subhanahu Wa Taala membantah hal ini dengan firman-Nya (artinya): “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan merekapun akan mati (pula).” (Az Zumar: 30)
Kedua kandungan ini cukuplah sebagai bukti tentang sikap berlebihan (pengkultusan) mereka terhadap pribadi Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam.
Ketika aqidah rusak mereka ini mulai terkuak, maka muncullah beragam pendapat lagi di dalam mengkaburkan maksud kalimat “melihat Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam dalam keadaan terjaga”. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam bisa dilihat dengan menjelma sebagai seorang syaikh terekat mereka, bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam bisa dilihat dengan mata hati bukan mata kepala, Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam bisa dilihat dalam keadaan antara tidur dan terjaga ataupun yang dilihat itu adalah ruh beliau bukan jasadnya. Pendapat terakhir ini diucapkan oleh tokoh Sufi jaman sekarang yaitu Muhammad Alwi Al Maliki dalam kitab Adz Dzakhaa’ir Al Muhammadiyah hal. 259 (Khasha’ishul Musthafa hal. 217-218).
Ternyata keyakinan ini –yang sebenarnya telah terkuak kebatilannya– dijadikan kaum Sufi sebagai salah satu jembatan untuk memunculkan ajaran-ajaran baru (bid’ah) yang belum pernah diajarkan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam di masa beliau masih bersama para sahabatnya dahulu. Satu lagi skenario jahat untuk menodai ajaran agama suci ini.
Demikian pula pernyataan sesat yang dilontarkan Umar Al Fuuti bahwa Ahmad At Tijani (pendiri tarekat At Tijaniyah) pernah diijinkan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam untuk mengajari manusia setelah bersemedi, kemudian beliau menetapkan sebuah wirid tertentu kepada dirinya, yang sebelumnya beliau mengabarkan tentang kedudukan Ahmad At Tijani yang tinggi, keutamaan wirid tersebut dan janji Allah kepada siapa saja yang mencintai Ahmad At Tijani dari kalangan pengikutnya (Rimaahu Hizbirrahiim 1/191).
Muhammad As Sayyid At Tijani mengungkapkan bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam bersama para Al Khulafaur Rasyidin pernah menghadiri majelis wirid Ahmad At Tijani. Lalu beliau Shalallahu’alaihi Wassallam memberikan syafa’at kepada hadirin ketika itu. (Al Hidayah Ar Rabbaniyah hal. 12)
WIRID-WIRID BID’AH KAUM SUFI
Mereka tidak hanya menuangkan pengkultusan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam melalui pendapat ataupun untaian-untaian syair saja, tetapi juga melalui wirid dalam bentuk shalawat nabi. Bahkan, dengan shalawat inilah banyak sekali kaum muslimin –walaupun tidak terikat dengan ajaran mereka– terjatuh ke dalam jeratan mereka. Hal ini disebabkan beberapa perkara, diantaranya:
a. Mereka tidak jarang membawakan ayat-ayat ataupun hadits-hadits shahih yang masih bersifat umum yang menganjurkan seorang muslim untuk bershalawat atau berdzikir.
b. Hikayat-hikayat dusta yang menceritakan tentang keutamaan-keutamaan membaca shalawat tertentu.
Di antara shalawat yang sangat terkenal di tengah kaum muslimin adalah shalawat Al Faatih yang apabila membacanya mendapatkan keutamaan seperti membaca Al Qur’an sebanyak 6000 kali, shalawat Nariyah yang apabila membacanya sebanyak 4444 kali maka hajatnya akan terpenuhi atau terlepas dari kesulitan, dan juga beberapa shalawat lainnya yang kental dengan nuansa kesyirikan di dalam kitab Dalaailul Khairaat karya Muhammad bin Sulaiman Al Jazuli yang sering dibaca sebagian kaum muslimin terutama pada hari Jum’at.
(Untuk lebih rincinya, insya Allah akan diangkat topik “Sufi dan Shalawat-shalawat Bid’ah Mereka”)
HADITS-HADITS LEMAH DAN PALSU YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT
Hadits Ibnu Umar :
مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ
“Barangsiapa yang menziarahi kuburku maka berhak baginya syafa’atku”
Keterangan:
Hadits ini mungkar karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Musa bin Hilal Al ‘Abdi. Beberapa ulama ahli hadits seperti Abu Hatim, Al Bukhari, An Nasai, Al Hakim, Ibnu Abdil Hadi, Ibnu Hajar dan Al Baihaqi sendiri (yang meriwayatkan hadits tersebut) mengkritik perawi tersebut. Asy Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits tersebut mungkar. (Irwa’ul Ghalil no. 1128)
Hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas kerapkali dibawakan para tokoh Sufi didalam mengajak kaum muslimin untuk meyakini adanya keutamaan tertentu di dalam menziarahi makam beliau, sampai akhirnya mengkultuskan beliau seperti bertawasul atau berdoa kepada beliau dan mengkeramatkan makam beliau.
Adapun ziarah ke kubur beliau dan juga selain beliau maka hal ini diperbolehkan selama dengan tujuan dan cara yang diajarkan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam.
(Sumber : Buletin Islam Al Ilmu Edisi 49/II/III/ 1426, Jember.
Dikirim via email oleh al Al Akh Hardi Ibn Harun.)