Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
TADABBUR SURAT AL-INSAAN AYAT 1-6
– AYAT PERTAMA
(1)هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا
Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (1)
Allah mengingatkan kepada para manusia, bahwa dulunya mereka (dalam masa yang sangat lama) tidak ada. Tidak pernah disebut atau diingat, karena belum ada wujud, tidak ada fisik, ruh, bahkan nama.
– AYAT KEDUA
(2) إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dari nutfah (mani) yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), maka kami jadikan ia mendengar dan melihat (2)
Disebutkan dalam ayat ini asal penciptaan manusia adalah percampuran mani laki dan wanita.
Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah menjelaskan –setelah memaparkan hadits-hadits- bahwa ada 2 unsur yang ditentukan dengan pencampuran itu, yaitu:
Kemiripan (wajah atau fisik), ditentukan oleh lebih dahulu mana yang keluar/ memancar. Jika yang keluar lebih dulu adalah dari laki-laki, maka kemiripan kepada ayahnya.
Jenis kelamin, ditentukan oleh mana yang mendominasi (lebih banyak). Jika yang lebih banyak adalah dari laki-laki maka jenis kelamin janin itu akan laki-laki juga.
(disarikan dari Tuhfatul Mauduud bi Ahkaamil Mauluud karya Ibnul Qoyyim halaman 275).
Dengan demikian, ayat ini merupakan bantahan terhadap anggapan sebagian orang bahwa penciptaan manusia hanya ditentukan oleh mani laki-laki saja.
Allah kemudian menjadikannya sebagai makhluk yang bisa mendengar dan melihat untuk diuji dengan perintah dan larangan.
Hal ini memberikan faidah kepada kita bahwa sesungguhnya nikmat pendengaran dan penglihatan adalah ujian, apakah kita mau taat atau bermaksiat kepada Allah. Apakah kita tergerak untuk memanfaatkan pendengaran dan penglihatan untuk mengkaji perintah-perintah Allah dan melaksanakannya, atau justru masa bodoh tidak mau tahu dan tidak peduli dengan ilmu Dien.
Pemberian anugerah pendengaran dan penglihatan itu adalah sebagai nikmat dari Allah, kasih sayang Allah kepada mereka, dan hujjah bagi mereka (Tafsir atThobary).
– AYAT KETIGA
(3) إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُور
Sesungguhnya Kami telah berikan petunjuk kepadanya jalan (yang lurus) ada yang bersyukur dan ada yang ingkar (3)
Allah telah perjelas kepada manusia mana jalan kebaikan dan mana jalan keburukan, mana yang haq dan mana yang batil, mana yang mengarah kepada Jannah (surga) dan mana yang mengarah pada anNaar (neraka). Penjelasan Allah tersebut dengan diturunkannya Kitab (al-Quran) dan diutusnya Rasul sehingga menjelaskan isi al-Quran dengan Sunnah-sunnah beliau. Hingga semuanya menjadi terang benderang bagi yang mau mengkajinya.
Sesungguhnya Nabi kita telah meninggalkan petunjuk yang terang benderang. Sangat terang bahkan, hingga ‘malamnya bagaikan siangnya’.
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ
“Sungguh aku telah tinggalkan kalian di atas (cahaya) yang putih, malamnya bagaikan siangnya. Tidaklah akan menyimpang sepeninggalku kecuali ia akan binasa” (H.R Ibnu Majah dan Ahmad)
Tidak cukup hanya menjelaskan mana jalan yang benar dan mana yang salah, Allah juga berikan janji kenikmatan-kenikmatan yang memotivasi seseorang untuk mengikuti jalan kebaikan, sekaligus memberikan ancaman adzab bagi yang memilih jalan keburukan (disarikan dari Tafsir as-Sa’di).
Namun demikian, manusia ada yang bersyukur dengan mengikuti jalan ketaatan itu dan ada pula yang ingkar (kufur) hingga mengikuti jalan kemaksiatan itu.
Sejak keluar rumah saja, seseorang akan memilih jalan bersama Malaikat, atau bersama syaithan.
مَا مِنْ خَارِجٍ يَخْرُجُ يَعْنِي مِنْ بَيْتِهِ إِلَّا بِيَدِهِ رَايَتَانِ رَايَةٌ بِيَدِ مَلَكٍ وَرَايَةٌ بِيَدِ شَيْطَانٍ فَإِنْ خَرَجَ لِمَا يُحِبُّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ اتَّبَعَهُ الْمَلَكُ بِرَايَتِهِ فَلَمْ يَزَلْ تَحْتَ رَايَةِ الْمَلَكِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ وَإِنْ خَرَجَ لِمَا يُسْخِطُ اللَّهَ اتَّبَعَهُ الشَّيْطَانُ بِرَايَتِهِ فَلَمْ يَزَلْ تَحْتَ رَايَةِ الشَّيْطَانِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِه
“Tidaklah ada seseorang yang keluar dari rumahnya kecuali di tangannya ada 2 bendera. Bendera di tangan Malaikat dan bendera di tangan syaithan. Jika keluar untuk hal-hal yang diridhai Allah Azza Wa Jalla, maka Malaikat akan mengikuti dengan benderanya. Demikian terus berada pada bendera Malaikat hingga pulang ke rumahnya. Jika ia keluar untuk hal-hal yang dimurkai Allah, maka syaithan akan mengikutinya dengan benderanya. Ia terus berada pada bendera syaithan hingga kembali ke rumahnya” (H.R Ahmad, dinyatakan sanadnya hasan oleh Ahmad Syakir)
– AYAT KE-EMPAT
(4)إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ سَلَاسِلَ وَأَغْلَالًا وَسَعِيرًا
Sesungguhnya Kami sediakan bagi orang-orang kafir: rantai, belenggu, dan api yang menyala-nyala (4)
Allah sediakan 3 hal untuk orang kafir:
– Rantai. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ada yang di neraka dimasukkan rantai sepanjang 7 hasta dari dubur hingga keluar dari mulut sehingga ia tidak bisa berdiri. Keadaannya seperti belalang yang akan dipanggang.
– Belenggu, yang mengikat kedua tangannya hingga terkumpul pada leher.
– Api yang menyala-nyala.
Allah sebutkan 3 hal ini sebagai beberapa contoh yang akan mereka dapatkan, bukan berarti bahwa penduduk neraka hanya akan mendapatkan tiga ini saja.
– AYAT KE-LIMA
(5) إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا
Sesungguhnya orang yang ikhlas dan banyak berbuat ketaatan akan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah Kaafur (kapur surga yang berbeda dengan kapur dunia) (5)
Al-Abroor adalah orang-orang beriman yang jujur dalam keimanannya dan taat kepada Tuhannya (tafsir al-Baghowy).
Sebagian Ulama mengartikan ‘Kaafur’ sebagai kapur sebagaimana yang dikenal, namun kapur surga berbeda dengan kapur dunia, tidak ada unsur kekurangan sedikitpun. Ini adalah pendapat Mujahid (murid Ibnu Abbas) dan dikuatkan oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’di.
Unsur-unsur kapur yang menyebabkan hidangan minuman semakin lezat dan nikmat dipandang atau dirasakan adalah warna putihnya, wanginya, aromanya, dan dinginnya.
Sebagian lagi menyatakan bahwa ‘Kaafur’ itu adalah nama mata air di surga. Ini adalah pendapat dari Atha’ (seorang tabi’i).
Hal ini dikuatkan dengan penjelasan pada ayat berikutnya. Seakan-akan penggalan ayat ini, diperjelas dengan ayat berikutnya (ayat ke-6).
– AYAT KE-ENAM
(6)عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا
Itu adalah mata air yang diminum oleh hamba-hamba Allah, mereka bisa sesuka hati mengarahkan pancaran mata air tersebut ke mana saja (6)
Penghuni surga meminum mata air yang nikmat itu dan mampu dengan sesuka hati mengarahkan pancaran mata airnya kapan saja dan ke arah mana saja, di sekeliling istana-istana mereka.
Bersambung, insya Allah.
Sumber : WA al-I’tishom – Probolinggo melalui WA Salafy Lintas Negara