Ketika dua kelompok yang bertikai dalam perang shiffin sepakat memilih dua penengah yaitu Abu Musa al ‘Asyari radhiallahu ‘anhu dan ‘Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu, kaum khawarij keluar dan berlepas diri dari dua kelompok tersebut. Mereka mengangkat mushaf di ujung-ujung pedang mereka seraya berkata :
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ
Tidak ada hukum kecuali milik Allah. (al-An’aam: 57)
Melihat keadaan ini, berkatalah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu :
كَلِمَةُ حَقٍّ أَرَادُ بِهَا الْبَاطِلَ
Kalimat yang hak, tapi yang mereka maukan adalah kebathilan. (Lihat as-Syariah oleh Al-Ajurri). Inilah syubhat berikutnya dari kaum khawarij, yaitu menganggap bahwa mengangkat seseorang sebagai hakim untuk menengahi suatu pertikaian termasuk berhukum kepada selain Allah. Akhirnya mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu, Abu Musa Al ‘Asyari, Amr bin Ash dan seluruh para sahabat yang ikut dalam dua pasukan tersebut. Demikian pula terhadap seluruh kaum muslimin yang ridha pada dua hakim penengah yang telah ditunjuk. Dalil yang mereka jadikan sandaran adalah ayat Allah subhanahu wata’ala:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. (al-Maidah: 44)
Kemudian merekapun menghalalkan darah para shahabat dan menggerakan masa untuk menentang dan memberontak kepada mereka dengan alasan demi keadilan, amar ma’ruf nahi munkar, jihad dan seterusnya. Seperti yang pernah mereka lakukan pada Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu sebelumnya.
Ayat ini pula yang dipakai KGB (khawarij gaya baru) seperti NII dan Pecahannya, JI dan seluruh kelompoknya, Ikhwanul Muslimin (IM) dan seluruh sempalannya, serta semua kelompok yang menganut quthbisme seperti Muhammad surur, dan masy’ari yang merencanakan peledakan di Riyadh, dan lain-lain dalam mengkafirkan penguasa-penguasa muslimin dan menghalalkan darah mereka.
Tidak hanya sampai di sini, bahkan mereka membela para pendahulu mereka dari kalangan khawarij yang membunuh Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Seperti ucapan Sayyid Qutb berikut :”… tetapi barang siapa yang melihat dengan kacamata Islam dan menilai kejadian dengan ruhul Islam tentu akan menganggap bahwa pemberontakan tersebut secara umum lebih dekat kepada ruhul Islam dan arahnya daripada sikap Utsman bin Affan atau lebih tepatnya sikap Marwan dan orang-orang yang di belakangnya dari kalangan Bani Umayyah. (lihat Keadilan Sosial Dalam Islam, cet.5).
Syubhat mereka ini telah terbantah dengan ucapan pada edisi yang lalu, yaitu bahwa kekufuran ada dua macam: kufur amali dan kufur i’tiqadi. Oleh karena itu perlu dilihat dengan teliti tafsir ayat di atas menurut para shahabat dan para Ulama setelahnya. Agar jangan kita menyimpang dari jalan mereka dan melenceng dari apa yang dimaukan oleh Allah dengan ayat tersebut.
Syaikh al-Albani dalam kitabnya Fitnatut Takfir wal Hakimiyah, hal. 31. menukilkan ucapan Ibnu Abbas: “Yang dimaksud kafir pada ayat ini adalah kufrun duna kufrin (kafir yang tidak mengeluarkan dari Islam)”.
Dalam riwayat lain disebutkan ketika seseorang menyampaikan ayat ini kepada Ibnu Abbas, beliau menyatakan: “Jika dia melakukan demikian, maka dia telah berbuat kekufuran, tetapi bukan seperti kafir kepada Allah dan hari akhir”. (Riwayat ath-Thabari, juz 6, hal. 256)
Dalam riwayat lain, beliau menyatakan: “Itu adalah kekufuran, tapi bukan kekufuran kepada Allah dan malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya”.
Thawus bin kisan seorang tabiin juga mengatakan hal yang sama seperti ucapan Ibnu Abbas di atas. (lihat Tafsir Ibnu Katsier, juz 2/80)
Atha bin Abi Rabah berkata:”Itu adalah kufrun duna kufrin, dzulmun duna dzulmin dan fisqun duna fisqin.” (lihat Tafsir Ibnu Katsier, juz 2/80)
Yang maksudnya juga sama, yaitu kekafiran, kedhaliman dan kefasikan yang tidak mengeluarkan dari agama.
Ibnul Jauzi dalam kitabnya Zaadul Maasir Fi ‘Ilmit Tafsir berkata: ”Yang dimaksud dengan kekafiran dalam ayat tersebut ada dua pendapat. Pertama kufur kepada Allah dan yang kedua kufur kepada hukum tersebut yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Kesimpulannya, adalah bahwa seorang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan dengan menentangnya dalam keadaan dia tahu Allah subhanahu wata’ala telah menurunkannya seperti apa yang dilakukan oleh Yahudi, maka dia kafir. Adapun orang yang berhukum tidak dengan hukum Allah karena kecenderungan hawa nafsu dengan tidak menentangnya maka dia adalah dhalim atau fasik.
Al-Baghawi dalam tafsirnya Ma’alimut Tanzir berkata:”Berkata para Ulama bahwa yang demikian adalah jika menolak nash-nash hukum Allah dengan terang-terangan dan sengaja. Adapun jika karena tersamar baginya atau keliru atau dengan takwilan-takwilan (alasan-alasan yang di-buat-buat) maka tidak kafir. (hal. 241)
Imam Al-Qurthubi dalam Tafsirnya Al-Jami’ Li Ahkamil Quran berkata : ”…. Adapun seorang muslim dia tidak dikafirkan walaupun melakukan dosa besar. Di sini ada yang tersembunyi, yaitu siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah subhanahu wata’ala turunkan yakni menolak Al-Quran dan menentang ucapan Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam maka dia kafir. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Mujahid. Maka ayat ini umum dalam hal ini. Berkata Ibnu Mas’ud dan Al-Hasan: ”Ayat ini umum mencakup setiap orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah subhanahu wata’ala turunkan apakah dari kalangan muslimin , Yahudi ataupun orang-orang kafir”. Yakni jika menentang dengan keyakinannya dan menghalalkannya. Adapun jika dia melakukannya dengan tetap meyakini bahwa dia telah melanggar keharaman maka dia adalah orang-orang fasik dari kalangan muslimin. Urusannya diserahkan kepada Allah, kalau Allah kehendaki Allah ampuni dia dan kalau Allah kehendaki Allah hukum dia. Dalam satu riwayat Ibnu Abbas mengatakan: ”Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka dia telah melakukan perbuatan yang menyerupai perbuatan orang-orang kafir”. (Juz VI, hal. 190)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa berkata: ”Seseorang, kapan dia menghalalkan yang haram yang telah disepakati keharamannya secara ijma’, atau mengharamkan yang halal yang telah disepakati kehalalannya secara ijma’, atau mengganti syariat yang sudah disepakati secara ijma’ maka dia kafir murtad dengan kesepakatan para ahli fiqih. Untuk yang sejenis inilah Allah subhanahu wata’ala turunkan ucapannya –menurut salah satu pendapat-:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. (al-Maidah: 44)
Yakni orang-orang yang menganggap halal berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan”.
Kemudian beliau berkata: ”Dan tidak ragu lagi bahwa orang yang tidak meyakini wajibnya berhukum dengan apa yang Allah turunkan kepada rasulnya maka dia kafir”. (juz III/267-268; lihat pula Minhajus Sunnah, juz III/32)
Ibnu Qayyim Al-Jauziah dalam kitabnya Madarikus shalikin berkata: ”ada pun kekufuran itu ada dua macam yaitu kufur akbar dan kufur asghar. Kufur akbar adalah yang menyebabkan pelakunya kekal dalam neraka, sedangkan kufur as-ghar adalah yang tidak mengekalkan dalam neraka”. (Juz I/335)
Kemudian beliau berkata tentang ayat di atas bahwa di antara para ulama ada yang menafsirkan dengan berbagai macam tafsiran:
– Bahwa ayat ini adalah mengenai orang yang meninggalkan hukum dengan apa yang Allah subhanahu wata’ala turunkan dengan menentangnya terang-terangan (juhud), seperti ucapan Ikrimah.
– Di antara mereka ada yang menafsirkan bahwa ayat tersebut mengenai orang yang meninggalkan hukum dengan apa yang Allah turunkan secara keseluruhan, termasuk didalamnya berhukum dengan tauhid dan keislaman. Ini merupakan pendapatnya Abdul Azis Al-kinani.
– Di antara mereka ada yang menafsirannya bahwa ayat tersebut tentang orang yang berhukum dengan sesuatu yang menyeisihi nash dengan sengaja bukan karena kebodohan, kesalahan atau takwil, ini adalah pendapat Al-Baghawai dengan menukil ucapan para ulama secara umum.
– Di antara mereka ada yang menafsirkan bahwa ayat tersebut khusus bagi ahlul kitab. Demikian pendapat Qatadah, Dhahak dan lain-lain.
Kemudian Ibnul Qayyim berkata: ”Yang benar adalah bahwa berhukum degan selain yang Allah subhanahu wata’ala turunkan bisa menyebabkan dua jenis kekufuran, kufur asghar atau kufur akbar sesuai dengan keadaan si pelaku. Jika dia masih tetap meyakini wajibnya berhukum dengan apa yang Allah turunkan tetapi dia menyelisihinya dengan bermaksiat dalam keadaan tetap mengakuinya, maka dia pantas mendapat adzab namun ini adalah kufur kecil.
Adapun jika dia meyakini bahwa berhukum dengan hukum Allah itu adalah tidak wajib, dia bebas memilih padahal dia yakin itu adalah hukum Allah subhanahu wata’ala maka dia adalah kafir dengan kufur akbar. Sedangkan orang yang bodoh atau keliru maka dia adalah orang yang salah dan dihukumi sebagaimana hukumnya orang-orang yang keliru”.
Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi dalam Syarh Aqidah ath-Thahawiyah mengatakan: “Di sini ada perkara yang harus kita pahami dengan benar. Yaitu bahwa berhukum dengan selain apa yang Allah turun-kan bisa menyebabkan seseorang menjadi kafir yang mengeluarkan dari agama, bisa jadi pula merupakan kemaksiatan besar (dosa besar), atau bisa pula dosa kecil. Dikatakan sebagai kekufuran, bisa jadi karena makna kiyas*), bisa jadi kufur kecil sesuai dengan dua pendapat yang tersebut dalam masalah ini. Yang demikian sesuai dengan keadaan si pelaku. Jika dia meyakini bahwa berhukum dengan apa yang Allah turunkan adalah tidak wajib, setiap orang bebas memilih, atau melecehkannya dalam keadaan tahu bahwa itu adalah hukum Allah, maka itu adalah kekufuran yang besar. Namun, jika dia tetap meyakini wajibnya berhukum dengan apa yang Allah turunkan dan ilmunya tentang hal tersebut ada, tetapi dia meninggalkannya dalam keadaan mengakui bahwa perbuatan itu perbuatan yang layak mendapatkan balasan, maka ia adalah orang yang bermaksiat. Dinamakan kafir dengan makna kiyas atau kufur kecil. Adapun jika dia tidak mengerti tentang hukum Allah dalam keadaan telah berusaha dan mengeluarkan segenap ke mampuannya untuk mengenali hukum tersebut namun dia keliru, maka dia adalah seorang yang keliru yang mendapatkan pahala atas usahanya dan kesalahannya diampuni.” (hal. 323 & 324)
Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin dalam Syarh Tsalatsatul Ushul berkata: “Adapun tentang ucapan Allah:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. (al-Maidah: 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka orang-orang dhalim.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الفَاسِقُوْنَ
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka orang-orang fasik.
Apakah tiga sifat ini Allah turunkan untuk mensifati satu golongan?. Dengan makna bahwa setiap orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka dia kafir, dhalim dan fasik sekaligus. Karena Allah mensifati orang-orang kafir juga dengan kedhaliman dan kefasikan seperti dalam firmanya:
وَالْكَافِرُوْنَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
Dan orang-orang kafir itu adalah orang-orang dhalim.
إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُوْنَ
Sesungguhnya mereka orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.
Ataukah sifat-sifat ini turun untuk mensifati beberapa golongan sesuai dengan faktor pendorong mereka tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan? Yang lebih dekat menurut saya adalah yang kedua ini. Wallahu a’lam”. (hal. 157)
Yang dimaksud dengan ucapan syaikh ini adalah bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah belum tentu kafir, bisa jadi kafir, bisa jadi dhalim atau bisa jadi pula dia fasik yang berarti tidak kafir. Wallahu a’lam.
Ust. Muhammad Umar as-Sewed
footnote: *) pendapat yang benar adalah tidak adanya makna kias dalam al-Qur’an dan as-Sunnah lihat Shawa’iqul Mursalah oleh Ibnul Qayyim. Pent.
Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief, Agus Rudiyanto; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Abu Rahmah HP. 081564634143
www.assalafy.org