au tanya tentang ayat yang ada kata sajada apa disunnahkan untuk sujud? Kalau iya, lalu bacaannya apakah tiap-tiap ayat berbeda, cara melakukannya bagaimana? Terima kasih sebelumnya.
Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi
Menanggapi pertanyaan tersebut, kami sampaikan bahwa sujud tersebut dinamakan sujud tilawah, tilawah artinya bacaan atau disebut juga sujudul Qur’an. Jadi sujud tersebut adalah sujud yang disebabkan karena bacaan.
Bacaan yang dimaksud adalah bacaan pada ayat-ayat yang disebut ayat sajdah. Ayat sajdah bukanlah setiap ayat yang disebutkan padanya kata sajada (سجد), akan tetapi ayat-ayat tertentu yang Nabi n atau para sahabatnya pernah melakukan sujud tilawah padanya. Ayat-ayat tersebut kemudian dikumpulkan oleh para ulama.
Ibnu Hazm t menyimpulkan, jumlah ayat sajdah ada empat belas, yaitu:
1. Al-A’raf: 206
2. Ar-Ra’du: 15
3. An-Nahl: 49
4. Al-Isra: 107
5. Maryam: 58
6. Al-Hajj: 18
7. Al-Furqan: 60
8. An-Naml: 25—26
9. As-Sajdah: 15
10. Shad: 24
11. Fushshilat: 37
12. An-Najm: 62
13. Al-Insyiqaq: 21
14. Al-Alaq: 19
Terdapat beberapa perbedaan pendapat pada penentuan beberapa ayat, akan tetapi mayoritas yang tersebut di atas telah disepakati. Biasanya, dalam cetakan mushaf ada tanda pada tiap-tiap ayat sajdah tersebut.
Adapun bacaannya, terdapat sebuah riwayat yang menerangkannya. Aisyah x mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ n يَقُولُ فِى سُجُودِ الْقُرْآنِ بِاللَّيْلِ يَقُولُ فِى السَّجْدَةِ مِرَارًا: سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ
“Adalah Rasulullah n membaca dalam sujud al-Qur’an pada malam hari, ia membaca dalam sujud berulang-ulang, (artinya): Telah sujud wajahku untuk yang menciptakannya dan membuka penglihatan serta pendengarannya dengan kemampuan dan kekuatan-Nya.” (Sahih, HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)
Ibnu Abbas c berkata,
كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ n فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ: إِنِّي رَأَيْتُ الْبَارِحَةَ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ كَأَنِّي أُصَلِّي إِلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ فَقَرَأْتُ السَّجْدَةَ فَسَجَدْتُ فَسَجَدَتِ الشَّجَرَةُ لِسُجُودِي فَسَمِعْتُهَا تَقُولُ: اللَّهُمَّ احْطُطْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا وَاكْتُبْ لِي بِهَا أَجْرًا وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ:فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ n قَرَأَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ مِثْلَ الَّذِى أَخْبَرَهُ الرَّجُلُ عَنْ قَوْلِ الشَّجَرَةِ.
Aku berada di sisi Nabi n, datanglah seseorang lalu berkata, “Sesungguhnya semalam aku melihat seperti halnya seorang yang bermimpi, seakan-akan aku melakukan shalat menghadap pangkal sebuah pohon. Aku membaca ayat sajdah, lalu aku sujud dan pohon itu ikut sujud. Aku mendengar pohon itu mengucap (artinya), ‘Ya Allah, gugurkanlah dariku dosaku dengan sujud ini, dan tulislah pahala bagiku dengan sujud ini, serta jadikanlah sujud ini tabungan untukku di sisi-Mu’.”
Ibnu Abbas c berkata, “Lalu aku melihat Nabi membaca ayat sajdah lalu sujud. Aku mendengar beliau mengatakan dalam sujudnya seperti yang diberitakan oleh orang tersebut tentang apa yang dibaca oleh pohon itu.”
Apakah Disyaratkan dalam Keadaan Suci ketika Melakukan Sujud?
Sujud tilawah bisa dilakukan dalam shalat, bisa pula di luar shalat. Dalam shalat, tentu dalam keadaan suci, adapun jika sujud di luar shalat tidak dipersyaratkan suci.
Al-Imam al-Bukhari t menyampaikan sebuah riwayat dalam Shahihnya dari Ibnu Umar c bahwa beliau dahulu sujud tidak dalam keadaan suci (wudhu). (“Abwabu Sujudil Qur’an”, Bab “Sujudul Muslimin Ma’al Musyrikin”)
Ibnu Hazm t mengatakan, “Sujud tilawah dilakukan dalam shalat fardhu dan sunnah, dan pada selain shalat, di setiap saat, (walaupun) saat terbit matahari, saat tenggelamnya dan saat matahari di tengah siang, menghadap kiblat atau tidak, dalam keadaan suci atau tidak.” (al-Muhalla, 5/157, “Kitabush Shalah”, bab “Sujudul Qur’an”)
Ibnu Taimiyyah t juga mengatakan dalam kitabnya, al-Ikhtiyarat, “Sujud tilawah bukanlah shalat sehingga tidak dipersyaratkan dalam hal ini syarat-syarat shalat. Bahkan, boleh dilakukan tidak dalam keadaan suci. Ibnu Umar c pun dahulu sujud tidak dalam keadaan suci. Pendapat inilah yang dipilih oleh al-Bukhari t. Akan tetapi, sujud dengan syarat-syarat shalat lebih baik. (al-Fatawa al-Kubra)
Apakah Dipersyaratkan Takbir?
Ibnu Taimiyyah t berkata, “Tidak disyariatkan padanya takbiratul ihram, tidak pula salam. Inilah sunnah yang dikenal dari Nabi n dan diamalkan oleh kebanyakan as-salaf (para pendahulu).” (al-Fatawa al-Kubra, 5/340)
Akan tetapi, tampaknya ucapan beliau ini apabila melakukan sujud di luar shalat.
Meskipun demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa sujud ini dimulai dengan takbir, seperti Abu Qilabah dan Ibnu Sirin rahimahumallah.
Adapun di dalam shalat, para ulama juga berbeda pendapat.
1. Asy-Syaikh al-Albani menyebutkan dalam kitabnya, Tamamul Minnah, sebuah riwayat dari Abu Hanifah yang berpendapat bahwa sujud ini tanpa takbir. Inilah yang beliau pegang. Beliau mengatakan, “Sekelompok sahabat telah meriwayatkan sujud tilawah Nabi n dalam banyak ayat, dalam banyak kesempatan, namun tidak seorang pun dari mereka menyebutkan takbir untuk sujud. Oleh karena itu, kami condong kepada pendapat tidak adanya takbir.”
2. Adapun pendapat yang kedua menyebutkan adanya takbir pada saat sujud dan bangkit darinya.
Ini adalah pendapat mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Hal ini berdasarkan keumuman hadits Nabi n dari Abu Hurairah z berikut.
أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي بِهِمْ، فَيُكَبِّرُ كُلَّمَا خَفَضَ وَرَفَعَ، فَإِذَا انْصَرَفَ قَالَ: إِنِّي لَأَشْبَهُكُمْ صَلاَةً بِرَسُولِ اللهِ n
Beliau (Abu Hurairah z) shalat bersama mereka, lalu beliau mengucapkan takbir setiap kali turun dan setiap kali naik. Ketika selesai, beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah orang paling serupa shalatnya dengan Rasulullah n di antara kalian.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitabul Adzan”, Bab “Itmamut Takbir fir Ruku”)
Hukum Sujud Tilawah
Para ulama juga berbeda pendapat tentang hal ini.
1. Pendapat pertama mengatakan bahwa sujud tilawah adalah sunnah.
Yang berpegang dengan pendapat ini adalah al-Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, al-Auza’i, al-Laits, Dawud azh-Zhahiri, dan lain-lain.
2. Pendapat kedua, sujud tilawah adalah wajib.
Ini adalah mazhab Hanafi, dan ini yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah.
Yang rajih (kuat) adalah mazhab yang pertama berdasarkan dalil berikut ini.
1. Riwayat dari Atha bin Yasar t
أَنَّهُ سَأَلَ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ z فَزَعَمَ أَنَّهُ قَرَأَ عَلَى النَّبِيِّ n (وَالنَّجْم)ِ فَلَمْ يَسْجُدْ فِيهَا
“Ia bertanya kepada Zaid bin Tsabit z, beliau mengaku pernah membacakan kepada Nabi n surat an-Najm dan beliau tidak sujud.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitab Sujudul Qur’an” Bab “Man Qara’a as-Sajdah wa lam Yasjud”)
2. Rabi’ah t bercerita bahwa Umar z
قَرَأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ بِسُورَةِ النَّحْلِ حَتَّى إِذَا جَاءَ السَّجْدَةَ نَزَلَ فَسَجَدَ وَسَجَدَ النَّاسُ، حَتَّى إِذَا كَانَتِ الْجُمُعَةُ الْقَابِلَةُ قَرَأَ بِهَا حَتَّى إِذَا جَاءَ السَّجْدَةَ قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّا نَمُرُّ بِالسُّجُودِ فَمَنْ سَجَدَ فَقَدْ أَصَابَ، وَمَنْ لَمْ يَسْجُدْ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ. وَلَمْ يَسْجُدْ عُمَرُ z.
وَزَادَ نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ c: إِنَّ اللهَ لَمْ يَفْرِضِ السُّجُودَ إِلاَّ أَنْ نَشَاءَ
“… Pada hari Jum’at membaca di atas mimbar surat an-Nahl, hingga bila sampai pada ayat sajdah beliau turun lalu sujud sehingga orang-orang pun sujud. Saat Jum’at berikutnya, beliau membaca lagi surat tersebut hingga sampai pada ayat sajdah, beliau berkata, ‘Wahai manusia, sesungguhnya kita melewati ayat sajdah. Barang siapa bersujud sungguh ia telah benar, dan barang siapa tidak bersujud maka tiada dosa baginya.’ Dan Umar sendiri tidak bersujud.
Nafi’ t menambahkan dari Ibnu Umar c, (beliau berkata), “Allah l tidak mewajibkan sujud kecuali sekehendak kita.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Abwabu Sujudil Qur’an”, Bab “Man Ra’a anna Allah lam Yujib as-Sujud”)
http://asysyariah.com/sujud-tilawah.html