Semula dalam shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat pandangannya ke langit. Lalu turunlah ayat:
“(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalat mereka.” (Al-Mu’minun: 2)
Beliau pun menundukkan kepala beliau. (HR. Al-Hakim 2/393. Al-Imam Al-Albani rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini di atas syarat Muslim, lihat Ashlu Shifah1/230)
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
دَخَلَ رَسُولُ اللهِ الْكَعْبَةَ مَا خَلَفَ بَصَرُهُ مَوْضِعَ سُجُودِهِ حَتَّى خَرَجَ مِنْهَا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk Ka’bah (untuk mengerjakan shalat, pen.) dalam keadaan pandangan beliau tidak meninggalkan tempat sujudnya (terus mengarah ke tempat sujud) sampai beliau keluar dari Ka’bah.” (HR. Al-Hakim 1/479 dan Al-Baihaqi 5/158. Kata Al-Hakim, “Shahih di atas syarat Syaikhan.” Hal ini disepakati Adz-Dzahabi. Hadits ini seperti yang dikatakan keduanya, kata Al-Imam Albani rahimahullah. Lihat Ashlu Shifah 1/232)
Ulama berbeda pendapat, ke arah mana sepantasnya pandangan orang yang shalat tertuju. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya menyebutkan: “Bab Raf’ul bashar ilal imam fish shalah (mengangkat pandangan ke imam di dalam shalat). Lalu beliau membawakan beberapa hadits yang menunjukkan bahwasanya para shahabat dahulu melihat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan shalat pada beberapa kejadian yang berbeda-beda. Seperti riwayat Abu Ma’mar, ia berkata: Kami bertanya kepada Khabbab radhiallahu ‘anhu, “Apakah dulunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Qur’an saat berdiri dalam shalat dhuhur dan ashar?” Khabbab menjawab, “Iya.” “Dengan apa kalian mengetahui hal tersebut[1]?” Khabbab menjawab lagi, “Dengan melihat gerakan naik turunnya jenggot beliau.” (no. 746)
Demikian pula kabar tentang shalat gerhana matahari seperti yang diberitakan Abdullah bin Abbas c. Di dalamnya disebutkan bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, dalam shalat tadi kami melihatmu mengambil sesuatu pada tempatmu, kemudian kami melihatmu tertahan (tidak jadi mengambilnya).” (no. 748)
Al-Imam Malik rahimahullah berpendapat, pandangan diarahkan ke kiblat. Adapun Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan orang-orang Kufah berpandangan disenanginya orang yang shalat melihat ke tempat sujudnya karena yang demikian itu lebih dekat kepada kekhusyuan.
Al-Hafizh rahimahullah berkata, “Memungkinkan bagi kita memisahkan antara imam dan makmum. Disenangi bagi imam melihat ke tempat sujudnya. Demikian pula makmum, kecuali bila ia butuh untuk memerhatikan imamnya (guna mencontoh sang imam, pen.). Adapun orang yang shalat sendirian, maka hukumnya seperti hukum imam (yaitu melihat ke tempat sujud). Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 2/301)
Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata, “Dengan perincian yang disebutkan Al-Hafizh rahimahullah di atas dapat dikumpulkanlah hadits-hadits yang dibawakan oleh Al-Bukhari dalam babnya dan hadits-hadits yang menyebutkan tentang melihat ke tempat sujud. Ini merupakan pengumpulan yang bagus. Wallahu ta’ala a’lam.” (Ashlu Shifah 1/233)
Memejamkan mata ketika shalat
Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Yang benar, memejamkan mata di dalam shalat adalah perkara yang dibenci, karena menyerupai perbuatan orang-orang Majusi dalam peribadatan mereka terhadap api, di mana mereka memejamkan kedua mata. Dikatakan pula bahwa hal itu termasuk perbuatan orang-orang Yahudi. Sementara menyerupai selain muslimin minimal hukumnya haram, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam rahimahullah.
Oleh karena itu, memejamkan mata dalam shalat minimalnya makruh, kecuali jika di sana ada sebab, seperti misalnya di sekitarnya terdapat perkara-perkara yang bisa melalaikannya dari shalat kalau dia membuka matanya. Dalam keadaan seperti itu, dia boleh memejamkan mata untuk menghindari kerusakan tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3/41)
Larangan melihat ke langit/ ke atas ketika shalat
Melihat ke langit/ke atas adalah perkara yang diharamkan dan termasuk dari dosa besar, sebagaimana hadits Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقوَامٌ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرجِعُ إِلَيهِم
“Hendaklah orang-orang itu sungguh-sungguh menghentikan untuk mengangkat pandangan mereka ke langit ketika dalam keadaan shalat, atau (bila mereka tidak menghentikannya) pandangan mereka itu tidak akan kembali kepada mereka.”
Dalam satu riwayat:
أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ
“Atau sungguh-sungguh akan disambar pandangan-pandangan mereka.” (HR. Muslim no. 965, 966)
Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, “Hadits ini menunjukkan larangan yang ditekankan dan ancaman yang keras dalam masalah tersebut.” (Al-Minhaj, 4/372)
Larangan menoleh dalam shalat
Aisyah radhiallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menoleh ketika sedang shalat. Beliau menjawab:
هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ الْعَبْدِ
“Menoleh dalam shalat adalah sambaran cepat, di mana setan merampasnya dari shalat seorang hamba.” (HR. Al-Bukhari no. 751)
Abu Dzar radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَزَالُ اللهُ مُقْبِلًا عَلَى الْعَبْدِ فِي صَلاَتِهِ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ، فَإِذَا صَرَفَ وَجْهَهُ انْصَرَفَ عَنْهُ
“Terus-menerus Allah menghadap kepada seorang hamba yang sedang mengerjakan shalat selama si hamba tidak menoleh. Bila si hamba memalingkan wajahnya, Allah pun berpaling darinya.” (HR. Abu Dawud no. 909. Dishahihkan dalam Shahih At-Targhib no. 552)
Menoleh karena sesuatu yang mengejutkan atau karena suatu kebutuhan
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkisah, “Tatkala kaum muslimin sedang mengerjakan shalat fajar, tak ada yang mengejutkan mereka kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang ketika itu sedang sakit sehingga tidak dapat hadir shalat berjamaah bersama mereka, pen.) tiba-tiba menyingkap tabir penutup kamar Aisyah, lalu memandang mereka dalam keadaan mereka berada dalam shaf-shaf. Beliau pun tersenyum lalu tertawa. Abu Bakr radhiallahu ‘anhu yang saat itu mengimami manusia hendak mundur untuk bergabung dengan shaf di belakangnya, karena ia menyangka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin keluar (untuk mengimami mereka). Kaum muslimin pun hampir-hampir terfitnah dalam shalat mereka karena gembiranya mereka melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ternyata Rasulullah memberi isyarat kepada mereka yang bermakna, “Sempurnakanlah shalat kalian.” Setelah itu beliau mengulurkan kembali tabir penutup kamar Aisyah. Ternyata beliau wafat di akhir hari tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 754)
Hadits di atas menunjukkan bahwa tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap tabir kamar Aisyah yang posisinya di kiri kiblat, para sahabat g menoleh ke arah beliau. Karena menolehlah mereka dapat melihat isyarat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Dengan tolehan tadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan mereka untuk mengulang shalat mereka, bahkan menetapkan shalat mereka dengan isyarat agar mereka melanjutkannya. (Fathul Bari, 2/306)
Suatu ketika, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terlambat datang untuk mengimami manusia karena ada keperluan yang ingin beliau selesaikan. Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu pun diminta menjadi imam. Di tengah shalat, datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergabung dalam shaf. Orang-orang pun bertepuk tangan ingin memperingatkan Abu Bakr radhiallahu ‘anhu tentang keberadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara Abu Bakr radhiallahu ‘anhu tidak pernah menoleh dalam shalatnya. Namun tatkala semakin ramai orang-orang memberi isyarat dengan tepuk tangan, Abu Bakr radhiallahu ‘anhu pun menoleh hingga ia melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Bakr radhiallahu ‘anhu ingin mundur, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat yang bermakna,“Tetaplah engkau di tempatmu.” (HR. Al-Bukhari no. 684)
Hadits di atas menunjukkan Abu Bakr radhiallahu ‘anhu menoleh dalam shalatnya karena suatu kebutuhan, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh Abu Bakr radhiallahu ‘anhu mengulang shalatnya, bahkan mengisyaratkan agar melanjutkan keimamannya.
Dengan demikian, menoleh dalam shalat tidaklah mencacati shalat tersebut terkecuali bila dilakukan tanpa ada kebutuhan. (Fathul Bari, 2/305)
Dalil lain yang juga menunjukkan bolehnya menoleh bila ada kebutuhan adalah hadits yang berisi perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuh ular dan kalajengking bila didapati oleh seseorang yang sedang mengerjakan shalat. Sementara membunuh hewan ini berarti membutuhkan gerakan-gerakan di luar gerakan shalat dan mungkin butuh untuk menoleh. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
أَمَرَ رَسُولُ اللهِ بِقَتْلِ الْأَسْوَدَينِ فِي الصَّلاَةِ: الْحَيَّةِ وَالْعَقْرَبِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh dua yang hitam di dalam shalat, yaitu ular dan kalajengking.” (HR. At-Tirmidzi no. 390, dishahihkan dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Setelah membawakan hadits di atas, Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Ini yang diamalkan oleh sebagian ahlul ilmu dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka. Dengan ini pula Al-Imam Ahmad rahimahullah berpendapat, demikian pula Ishaq. Sebagian ahlul ilmi yang lain membenci untuk membunuh ular dan kalajengking di dalam shalat. Kata Ibrahim An-Nakha’i, “Sesungguhnya dalam shalat itu ada kesibukan.” Namun pendapat pertama yang lebih shahih/benar.” (Sunan At-Tirmidzi, Kitab Ash-Shalah, Bab Ma ja’a fi qatlil hayyah wal ‘aqrab fish shalah)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. (insya Allah bersambung)
[1] Karena tidak terdengar suara disebabkan shalat dhuhur dan ashar adalah shalat sirriyah.
Sumber : asysyariah.com