Penyebab rusaknya ittiba’ dan tersebarnya bid’ah serta kesalahan-kesalahan dalam beribadah adalah karena adanya hadits-hadits dlaif dan maudlu’ yang tidak ada sandarannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di samping itu juga dikarenakan sikap taqlid dan ta’ashub pada salah satu madzhab tertentu tanpa mengindahkan hadits-hadits shahih dari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam rangka menghidupkan sunnah yang lurus inilah, dalam edisi ini, kami ingin menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan shalat Ied (baik Iedul Fithri maupun Iedul Adl-ha). Hal itu agar kita dapat melaksanakan ibadah ini dengan sebenar-benarnya sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara hal-hal yang berkaitan dengan shalat Ied adalah:
Tempat Shalat untuk Dua Ied
Telah masyhur baik dari kalangan huffadh (ulama) maupun ahli hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –dalam ucapan dan perbuatan-perbuatannya— terus meneru melakukan shalat Ied (Iedul Fithri dan Iedul Adl-ha) di mushalla (tanah lapang). Pendapat para ulama ini didasarkan pada dalil hadits-hadits shahih yang ada dalam Shahihain, kitab-kitab Sunan, kitab-kitab sanad dan lainnya yang diriwayatkan dari banyak jalan.
Untuk itu untuk lebih meyakinkan pembaca atas pendapat para ulama tersebut, akan kami bawakan hadits-hadits yang berkaitan dengannya. Hadits-hadits tersebut kami nukilkan beserta takhrij dan tahqiqnya serta penjelasannya dari kitab Syaikh Al-Albani yang berjudul Shalatul ‘Iedain fil Mushalla Hiya Sunnah.
Hadits Pertama
عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَ اْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى. فَأَوَّلُ شَيْئٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَ النَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ، فَيَعِظُهُمْ وَ يُوْصِيْهِمْ وَ يَأْمُرُهُمْ. فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ، أَوْ يَأْمُرُ بِشَيْئٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ، قَالَ أَبُوْ سَعِيْدٍ: فَلَمْ يَزَلِ النَّاسُ عَلَى ذَلِكَ…. (رواه البخاري ٢/٢٥٩-٢٦٠ و مسلم ٣/٢٠ و النسائي ١/٢٣٤ و المحاملى في كتاب العيدين جـ ٢ رقم ۸٦ و أبو نعيم في مستخرجه ٢/١٠/٢ و البيهقي في سننه ٣/٢۸٠)
Dari Abi Sa’id Al-Khudri radliallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar menuju mushalla pada hari Iedul Fithri dan Adl-ha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling.” Abu Said berkata: “Maka manusia terus menerus melakukan yang demikian….” (HR. Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, Nasa`i 1/234; Lihat Al-Muhamili di dalam Kitab Iedain 2/76, Abu Nu’aim dalam Mustakhraj 2/10/2, dan Baihaqi dalam Sunannya 3/280)
Hadits Kedua
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ صلى الله عليه و سلم يَغْدُوْ إِلَى الْمُصَلَّى فِي يَوْمِ الْعِيْدِ، وَ الْعَنَزَةُ تُحْمَلُ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَإِذَا بَلَغَ الْمُصَلَّى نُصِبَتْ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا. وَ ذَلِكَ أَنَّ الْمُصَلَّى فَضَاءً لَيْسَ فِيْهِ شَيْءٌ يَسْتَتِرُ بِهِ. (رواه البخاري ١/٣٥٤ و مسلم ٢/٥٥ و أبو داود ١/١٠٩ و النسائي ١/٢٣٢ و ابن ماجه ١/٣٩٢ و أحمد رقم ٦٢۸٦ و المحاملي في كتاب العيدين جـ ٢ رقم ٢٦-٣٦ و أبو القاسم الشحامى في تحفة العيد رقم ١٤-١٦ و البيهقي ٣/٢۸٤-٢۸٥)
Dari Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpagi-pagi (menuju) ke mushalla pada hari Ied, sedangkan ‘anazah dibawa di depannya. Ketika beliau sampai di sana (‘anazah tadi) ditancapkan di depan beliau dan beliau shalat menghadapnya. Hal ini karena mushalla itu terbuka, tidak ada yang membatasinya. (HR. Bukhari 1/354, Muslim 2/55, Abu Dawud 1/109, An-Nasa`i 1/232, Ibnu Majah 1/392, Ahmad 6286, Al-Muhamili 2/26-36, Abul Qasim As-Syaukani[1] di dalam Tuhfatul Ied 14-16 dan Al-Baihaqi 3/284-285)
‘Anazah (sebagaimana yang diterangkan di dalam An-Nihayah) bentuknya seperti setengah tombak atau lebih besar sedikit. Di ujungnya ada mata lembing seperti mata tombak dan paling mirip dengan bentuk tongkat.
Hadits Ketiga
عَنِ الْبَرَّاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يَوْمَ أَضْحَى إِلَى الْبَقِيْعِ (وفي رواية: الْمُصَلَّى) فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَ قَالَ: إِنَّ أَوَّلَ نُسُكِنَا فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نَبْدَأَ بِالصَّلاَةِ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرُ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ وَافَقَ سُنَّتَنَا، وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلَ ذَلِكَ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْئٌ عَجَّلَهُ ِلأَهْلِهِ، لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيْئٍ. (رواه البخاري ٢/٣۷٢ وأحمد ٤/٢۸٢ والمحاملى ٢ رقم ٩٠، ٩٦ والرواية الأخرى لهما بسند حسن)
Dari Al-Barra’ bin ‘Azib, ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju ke Baqi’ (dalam riwayat lain: mushalla) pada hari Iedul Adl-ha. Di sana beliau shalat dua rakaat, setelah itu beliau menghadapkan wajahnya kepada kami seraya berkata: “Sesungguhnya awal ketaatan dan ibadah pada hari kita ini adalah kita memulai dengan shalat, kemudian pulang dan berkurban. Barangsiapa melaksanakan yang demikian itu, sungguh dia telah mencocoki sunnah kami. Dan barangsiapa berkurban sebelum itu, maka itu sesuatu yang dia tergesa-gesa untuk keluarganya, tidak ada sedikitpun nilai ibadahnya.” (HR. Bukhari 2/372, Ahmad 4/282, Al-Muhamili 2/96, bagi keduanya ada riwayat lain dengan sanad hasan)
Hadits Keempat
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قِيْلَ لَهُ: أَشَهِدْتَ الْعِيْدَ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم؟ قَالَ: نَعَمْ، وَلَوْلاَ مَكَانِي مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ، حَتَّى أَتَى الْعَلَمَ الَّذِيْ عِنْدَ دَارِ كَثِيْرِ بْنِ الصَّلَتْ فَصَلَّى ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَ مَعَهُ بِلاَلٌ فَوَعَظَهُنَّ وَ ذَكَّرَهُنَّ وَ أَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَرَأَيْتُهُنَّ يَهْوِيْنَ بِأَيْدِيْهِنَّ يَقْذِفْنَهُ فِي ثَوْبِ بِلاَلٍ ثُمَّ انْطَلَقَ هُوَ وَ بِلاَلٌ إِلَى بَيْتِهِ. أخرجه البخاري ٢/٣۷٣ و مسلم ٢/١۸-١٩ و ابن أبي شيبة ٢/٣/٢ و المحاملى رقم ٢۸، ٢٩ و الفريابى رقم ۸٥، ٩٣ و أبو نعيم في مستخرجه ٢/۸/٢-٩/١٠ و زاد مسلم في رواية عن ابن جريج: قُلْتُ لِعَطَاءٍ: أَحَقًّا عَلَى اْلإِمَامِ اْلآنَ أَنْ يَأْتِيَ النِّسَاءَ حِيْنَ يَفْرَغُ فَيُذَكِّرُهُنَّ؟ قَالَ: أَيْ لَعُمْرِي إِنَّ ذَلِكَ لَحَقٌّ عَلَيْهِمْ وَمَا لَهُمْ لاَ يَفَعَلُوْنَ ذَلِكَ؟!
Dari Ibnu Abbas, beliau ditanya: “Apakah engkau menghadiri shalat Ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab: “Ya, dan kalaulah bukan karena tempatku yang kecil ini tidaklah aku menyaksikannya hingga beliau datang ke ‘alam (sebidang tanah) yang berada di sisi (sebelah) rumah Katsir bin As-Shalt. Maka beliau shalat kemudian berkhutbah dan datang ke para wanita bersama Bilal. Beliau memberi pelajaran, mengingatkan dan memerintah mereka untuk bershadaqah. Maka aku lihat mereka merentangkan tangan-tangan mereka untuk melemparkannya (shadaqah) pada baju Bilal. Kemudian beliau pergi bersama Bilal ke rumahnya. (HR. Bukhari 2/373, Muslim 2/18-19, Ibnu Abi Syaibah 2/3/2, Al-Muhamili 38-39, Al-Firyaabi no. 85, 93 dan Abu Nu’aim di dalam Mustakhrajnya 2/8/2-9/10 dan Muslim menambahkan di dalam riwayatnya dari Ibnu Juraij: “Aku berkata kepada Atha’: Apakah benar bagi imam sekarang untuk mendatangi para wanita jika telah selesai (shalat) dan mengingatkan mereka?” Beliau menjawab: “Ya, demi Allah sesungguhnya yang demikian itu haq. Kenapa mereka tidak melakukan yang demikian?”)
Demikianlah hadits-hadits yang merupakan hujjah yang kokoh dan jelas tentang sunnahnya melakukan shalat Ied di mushalla (tanah lapang). Oleh karena itu jumhur ulama mengatakan di dalam Syarhus Sunnah (Imam Al-Baghawi 3/294): “Termasuk sunnah bagi imam untuk keluar (ke mushalla) guna melaksanakan dua shalat Ied. Kecuali jika ada udzur, maka (boleh) shalat di masjid, yaitu masjid di dalam negeri-(nya).”
Al-‘Allamah Ibnul Haaj Al-Maliki berkata: “Sunnah yang berlangsung pada dua shalat Ied adalah dilakukan di mushalla (tanah lapang), karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Shalat di masjidku ini lebih utama dari seribu shalat di tempat lain selain Masjidil Haram.” (HR. Bukhari 1190 dan Muslim 1394). Walaupun ada fadlilah yang besar seperti ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih juga keluar (ke mushalla) dan meninggalkannya (masjid).” (Al-Madkhal 2/283).
Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata di dalam Al-Mughni (2/229-230): “Termasuk dari sunnah adalah shalat Ied di mushalla. Ali radliallahu ‘anhu memerintahkan yang demikian dan Al-Auza’i serta Ashhabur Ra’yi menganggapnya baik. Inilah ucapan Ibnul Mundzir.”
Mengomentari hadits pertama, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani (Fathul Bari 2/450) berkata: “Dari hadits ini diambillah dalil atas sunnahnya keluar ke tanah lapang untuk shalat Ied. Sesungguhnya yang demikian itu lebih utama daripada shalat Ied di masjid karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukan yang demikian. Padahal shalat di masjid beliau memiliki banyak keutamaan.”
Imam Muhyiddin An-Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim ketika mengomentari hadits pertama: “Hadits ini adalah dalil bagi orang yang menyatakan sunnahnya menuju ke mushalla untuk shalat Ied. Dan ini lebih afdlal (utama) daripada dikerjakan di masjid. Hal ini berlaku bagi kaum muslimin di seluruh negeri. Adapun mengenai penduduk Mekah yang selalu melaksanakan shalat Ied di masjid sejak awal, di kalangan kami ada dua pendapat:
1. (Shalat Ied) di tanah lapang lebih afdlal berdasarkan hadits ini.
2. Yang ini lebih benar menurut kebanyakan mereka bahwa di masjid lebih afdlal kecuali jika masjidnya sempit.”
Mereka (para pengikut Imam Nawawi) berkata: “Sesungguhnya penduduk Mekah shalat di masjid karena luasnya, sedangkan keluarnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke mushalla karena sempitnya masjid. Hal in menunjukkan bahwa shalat di masjid lebih utama apabila masjid itu luas (lapang).”
Bantahan terhadap Alasan bahwa Shalat Ied di Tanah Lapang dengan sebab Sempitnya Masjid
Pernyataan para pengikut dan murid Imam Nawawi ini perlu ditinjau lagi. Sebab jika permasalahannya sebagaimana yang mereka nyatakan, maka tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus menunaikannya di tanah lapang. Beliau tentu tidak akan terus menerus dalam melakukan suatu ibadah, kecuali karena itulah yang paling utama. Jadi, pendapat yang menyatakan bahwa hal itu dilakukan karena sempitnya masjid adalah pendapat yang tidak ada dalilnya.
Yang menguatkan bantahan terhadap pendapat mereka adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat Jum’at di masjid, sedangkan yang datang untuk shalat adalah seluruh penduduk Madinah dan sekitarnya. Beliau shalat Jum’at bersama mereka di masjid tersebut. Tidak jelas perbedaan jumlah antara dua kelompok ini, yakni kelompok yang hadir pada shalat Jum’at dan kelompok yang hadir pada shalat Ied, sehingga dikatakan: Masjid ini cukup luas untuk yang ini (shalat Jum’at) dan tidak cukup untuk yang itu (shalat Ied). Barangsiapa yang mengatakan demikian, maka dia harus mendatangkan dalilnya dan kami yakin dia tidak akan menemuinya.
Kalau misalnya, shalat Ied yang dilakukan di masjid lebih utama daripada dilakukan di tanah lapang karena kondisi masjid saat itu sempit, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bergegas untuk memperluasnya sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah-khalifah sesudah beliau. (Hal itu) dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pantas sebagai orang yang pertama memperluasnya dibandingkan dengan mereka, kalau memang tidak cukup dipakai untuk shalat Ied. Walaupun demikian beliau meninggalkannya, sehingga tidak mungkin pernyataan tersebut diterima. Hal ini hanyalah merupakan anggapan seseorang yang ingin menolak. Dan tidaklah aku menyangkan ada seseorang yang alim berani atas tanggapan seperti ini. Kalau dia melakukan yang demikian, maka kami mendahuluinya dengan firman Allah Ta’ala yang artinya: “Katakanlah, tunjukkanlah bukti kalian jika kalian orang-orang yang benar.” (Al-Baqarah: 111)
Dengan demikian pernyataan di atas sudah terbantah. Adapun (tentang pendapat) Imam Nawawi yang bermadzhab Syafi’i, kita nukilkan ucapan Imam Syafi’i sendiri: “Telah sampai kepada kami (riwayat) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar ke tengah lapang pada dua hari Ied di Madinah. Demikian pula orang-orang sesudah beliau, kecuali jika ada udzur hujan dan selainnya. Demikian juga kebanyakan negeri-negeri, kecuali penduduk Makkah.” Selanjutnya beliau mengisyaratkan bahwa sebab yang demikian adalah karena luasnya masjid dan sempitnya pinggiran-pinggiran Mekah dengan ucapannya: “Jika suatu negeri yang makmur (banyak orang) dan masjid mereka mencukupi untuk shalat Ied, aku tidak berpendapat bahwa mereka harus keluar darinya (masjid). Sedangkan kalau masjidnya tidak mencukupi mereka, aku memakruhkan shalat di dalamnya dan tidak ada pengulangan.” (Al-Umm 1/287).
Alasan yang dikehendaki dari keterangan tersebut berkisar tentang luas dan sempitnya masjid, bukan tentang keluarnya ke tanah lapang, karena yang dikehendaki adalah terkumpulnya masyarakat. Apabila di masjid sudah mencukupi, lebih-lebih masjid yang ada keutamaannya maka lebih afdlal.
Mengenai perkataan Imam Syafi’i ini, Imam As-Syaukani mengomentari dengan ucapannya: “Dalam perkataannya (Imam Syafi’i) bahwa alasan dengan sempit dan luasnya masjid ini hanya kira-kira dan prasangka saja. Untuk itu tidak boleh digunakan sebagai dalih untuk tidak mencontoh kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam perkara “keluar ke tanah lapang” sesudah diketahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukannya. Adapun pengambilan dalil yang demikian (luas dan sempitnya masjid) sebagai alasan untuk shalat Ied di masjid Makkah, dapat dijawab dengan kemungkinan tidak dilakukannya keluar ke tanah lapang (di Makkah), karena sempitnya pinggiran-pinggiran kota Makkah, bukan karena luasnya masjid.”
Syaikh Al-Albani berkata: “Kemungkinan yang disebutkan oleh Imam Syaukani ini diisyaratkan juga oleh Imam Syafi’i sendiri dengan ucapannya: ‘Sesungguhnya apa yang aku katakan ini adalah tidak lain karena tidak adanya keluasan di sekeliling rumah-rumah kota Makkah, keluasan yang lebar (tanah lapang).'” (Al-Umm 1/207)
Hal ini menguatkan pendapat Imam Syaukani: “Alasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya di masjid, karena sempit adalah hanya kira-kira saja.”
Kemudian dengan alasan tadi, mereka (murid-murid Imam Nawawi) berargumentasi dengan riwayat Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra (3/310) dari jalan Muhammad bin Abdul Aziz bin Abdurrahman dari Utsman bin Abdurrahman At-Taimi, ia berkata: Hujan deras turun di Madinah pada hari Iedul Fithri pada masa pemerintahan Aban bin Utsman. Maka beliau mengumpulkan manusia di masjid dan tidak keluar ke tanah lapang, di mana beliau biasa shalat Iedul Fithri dan Adl-ha padanya. Kemudian beliau berkata kepada Abdullah bin Amir bin Rabi’ah: “Berdirilah dan khabarkan kepada manusia apa yang kamu khabarkan kepadaku.” Abdullah bin Amir berkata: “Sesungguhnya manusia di jaman Umar bin Khaththab radliallahu ‘anhu kehujanan, sehingga mereka terhalang untuk keluar ke tanah lapang. Lalu Umar pun mengumpulkan manusia ke masjid dan shalat bersama mereka. Kemudian beliau berdiri di atas mimbar seraya berkata: ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar bersama manusia ke tanah lapang untuk shalat (Ied), karena tanah lapang lebih memberi manfaat dan lebih leluasa untuk mereka. Dan bahwasanya masjid beliau tidak mencukupi mereka. Namun, apabila turun hujan maka masjid lebih bermanfaat.'”
Jawaban terhadap argumentasi ini, Syaikh Al-Albani berkata: “Riwayat ini dlaif jiddan (lemah sekali) karena di dalam sanadnya ada Muhammad bin Abdul Aziz. Dia adalah Muhammad bin Abdul Aziz bin Umar bin Abdurrahman bin Auf Al-Qadli. Bukhari berkata tentangnya: ‘Dia munkarul hadits (munkar haditsnya).’ An-Nasa`i berkata: ‘Dia matruk (ditinggalkan haditsnya).’ Imam Syafi’i telah mengeluarkan riwayat ini di dalam al-Umm (1/707) dari jalan yang lain dari Aban secara mauquf. Bersamaan dengan itu, sanadnya juga lemah sekali karena riwayatnya dari Ibrahim guru Imam As-Syafi’i dan dia adalah Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya Al-Aslami. Dia seorang pendusta (banyak dusta dalam periwayatan). Imam Malik berkata: ‘Dia tidak dipercaya di dalam hadits dan agamanya.'” Oleh karena itu Al-Hafidh berkata tentangnya di dalam At-Taqrib: “Ditinggalkan riwayat hadits darinya.”
Dari keterangan yang telah lewat terlihat batilnya alasan dengan sempitnya masjid dan rajih (kuat)nya ucapan para ulama yang memastikan bahwa shalat Ied di tanah lapang adalah sunnah dan disyariatkan di setiap jaman dan negeri, kecuali karena darurat. Dan aku (Al-Albani) tidak mengetahui seorang pun dari kalangan para ulama yang mumpuni dalam ilmunya menyelisihi yang demikian itu.
Demikian pula Ibnu Hazm di dalam Al-Muhalla (5/81) berkata: “Adapun sunnahnya shalat dua Ied adalah keluarnya penduduk di setiap desa atau kota ke tanah lapang yang luas pada waktu sesudah meningginya matahari dan ketika mula bolehnya shalat sunnah.”
Beliau berkata lagi (hal. 86): “Jika mereka mempunyai masyaqqah (keberatan/udzur), maka mereka shalat jamaah di masjid.” Selanjutnya beliau menyambung (hal. 87): “Kami telah meriwayatkan dari Umar dan Utsman radliyallahu ‘anhuma, bahwasanya keduanya shalat Ied di masjid bersama manusia karena terjadi hujan di hari Ied. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ke tanah lapang untuk shalat dua Ied. Maka perkara shalat di tanah lapang ini lebih utama sedangkan selainnya (selain di tanah lapang, yaitu di masjid) juga diganjar, karena shalat di lapangan adalah perbuatan Rasulullah, bukan perintah.”
Al-‘Allamah Al-‘Aini Al-Hanafi berkata di dalam Syarah Bukhari ketika mengambil hukum dari hadits Abi Said (6/280-281): “Di dalam hadits tersebut ada dalil untuk menampakkan diri dan keluar ke tanah lapang dan tidak boleh shalat di masjid kecuali karena darurat.”
Ibnu Ziyad meriwayatkan dari Imam Malik, beliau berkata: “Termasuk sunnah adalah keluar ke tanah lapang, kecuali penduduk Makkah, maka di masjid.” Di dalam Fatawa Al-Hindiyah (1/118) disebutkan: “Keluar ke tanah lapang pada shalat Ied adalah sunnah, walaupun masjid jami’ masih lapang. Demikianlah pendapat para ulama dan inilah yang shahih (benar).”
Dalam Al-Mudawwanah (1/171) yang diriwayatkan dari Malik, beliau berkata: “Tidak boleh shalat dua Ied di dua tempat dan tidak boleh di masjid mereka, akan tetapi hendaklah mereka keluar sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar. Dari Ibnu Wahab dari Yunus dari Ibnu Syihab, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar ke mushalla (tanah lapang) kemudian disunnahkan hal itu kepada penduduk negeri-negeri.”
Dengan ucapan-ucapan dan bantahan-bantahan yang kami nukilkan dari para ulama, maka terbantahlah ucapan-ucapan atau kesalahan di atas.
Sunnah nabawiyah yang tercantum di dalam hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua Ied di tanah lapang di luar daerah. Terus menerus pekerjaan ini berlangsung sejak jaman pertama dan mereka tidak melakukan shalat Ied di masjid, kecuali kalau ada darurat yaitu hujan atau yang lainnya. Ini adalah madzhab imam yang empat dan selain mereka dari para ulama ridwanullahu alaihim.
Aku (Al-Albani) tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihinya (di atas), kecuali ucapan Syafi’i radliyallahu ‘anhu tentang memilih shalat di masjid apabila mencukupi penduduk negeri. Bersamaan dengan ini beliau berpendapat tidak apa-apa shalat di tanah lapang walaupun masjid cukup untuk menampung mereka. Telah jelas pula dari beliau bahwasanya beliau memakruhkan shalat Ied di masjid jika masjid tidak cukup oleh penduduk negeri.
Begitulah yang terdapat di dalam hadits-hadits yang shahih. Perbuatan ini terus menerus dilakukan pada jaman pertama (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan demikian pula ucapan para ulama. Semua itu menunjukkan bahwasanya dua shalat Ied yang dilakukan sekarang di masjid-masjid adalah bid’ah. Demikian pula sampai kepada kita perkataan Syafi’i yang menyatakan tidak didapati satu masjid pun di sebuah negeri yang dapat menampung seluruh penduduk negeri.
Hikmah Shalat di Tanah Lapang
Sunnah dua shalat Ied di tanah lapang mempunyai hikmah yang agung yaitu: kaum muslimin mempunyai dua hari di dalam satu tahun di mana penduduk negeri dapat berkumpul pada hari itu baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak untuk menghadapkan hati-hati mereka kepada Allah. Mereka berkumpul pada kalimat yang satu, shalat di belakang imam yang satu, bertahlil, bertakbir dan berdoa kepada Allah dengan keikhlasan seakan-akan mereka satu hati. Mereka bergembira dan bahagia dengan nikmat Allah atas mereka. Maka hari Ied tersebut di sisi mereka adalah hari besar.
Hukum Shalat Ied
Sebagian manusia meremehkan hukum shalat Ied. Mereka mengatakan bahwa hukumnya adalah sunnah sehingga mereka tidak menunaikannya di tanah lapang. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyuruh para wanita untuk keluar ke tanah lapang guna menunaikan shalat Ied. Dalam permasalahan ini Imam As-Syaukani berkata: “Ketahuilah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus mengerjakan dua shalat Ied ini dan tidak pernah meninggalkannya satu pun dari beberapa Ied. Dan beliau memerintahkan manusia untuk keluar padanya, hingga menyuruh wanita yang merdeka, gadis-gadis pingitan dan wanita yang haidl. Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta panggilan kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak mempunyai jilbab agar saudaranya meminjamkan jilbabnya. Semua ini menunjukkan bahwasanya shalat ini wajib, wajib yang ditekankan atas individu, bukan fardlu kifayah.” (As-Sailul Jarar 1/315).
Syaikh Masyhur Hasan Salman mengomentari ucapan ini: “Syaukani rahimahullah mengisyaratkan kepada hadits Ummu ‘Athiyah radliallahu ‘anha:
عَنْ أُمِّ عَطِيَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَ اْلأَضْحَى: الْعَوَاتِقَ وَ الْحِيَّضَ وَ ذَوَاتِ الْخُدُوْرِ فَأَمَّا الْحِيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ. وفي لفظ: الْمُصَلَّى، وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! إِحْدَنَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ! قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا. (أخرجه البخاري في الصحيح رقم ٣٢٤، ٣٥١، ٩۷١، ٩۷٤، ٩۸٠، ٩۸١، و ١٦٥٢ ومسلم في الصحيح رقم ٩۸٠ وأحمد في المسند ٥/۸٤ و ۸٥ والنسائي في المجتبى ٣/١۸٠ وابن ماجه في السنن رقم ١٣٠۷ والترمذي في الجامع رقم ٥٣٩)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kami untuk mengeluarkan mereka pada Iedul Fithri dan Adl-ha (yakni) wanita-wanita yang merdeka, yang haid dan gadis-gadis pingitan. Di dalam lafadh (lain): (Keluar) ke mushalla (tanah lapang) dan mereka menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Aku (Ummu Athiyah) berkata: Wahai Rasulullah. Salah seorang dari kami tidak mempunyai jilbab? Beliau berkata: (Suruh) agar saudaranya memakaikan jilbabnya.” (HR. Bukhari di dalam Shahihnya no. 324, 351, 971, 974, 980, 981, 1652, Muslim di dalam Shahihnya 980, Ahmad di dalam Musnadnya 5/84-85, An-Nasa`i di dalam Al-Mujtaba 3/180, Ibnu Majah di dalam As-Sunan 1307 dan At-Tirmidzi di dalam Al-Jami’ no. 539)
Perintah untuk keluar (pada saat Ied) mengharuskan perintah untuk shalat bagi orang yang tidak mempunyai udzur. Inilah sebenarnya inti dari ucapan Rasul, karena keluar ke tanah lapang merupakan perantara pada shalat. Maka wajibnya perantara mengharuskan wajibnya tujuan dan dalam hal ini laki-laki lebih diutamakan daripada wanita (Al-Mauidlah Al-Hasanah hal. 43).
Termasuk dalil wajibnya dua shalat Ied adalah bahwasanya shalat Ied menggugurkan kewajiban shalat Jum’at apabila bertepatan waktunya. Telah jelas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya ketika berkumpulnya shalat Ied dan Jum’at pada hari yang sama, beliau bersabda:
اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمْعَةِ، وَإِنَّا مُجْمَعُوْنَ. (أخرجه الفريابي في أحكام العيدين رقم ١٥٠ وأبو داود في السنن رقم ١٠۷٣ وابن ماجه في السنن رقم ١٣١١ وابن الجارود في المنتقى ٣٠٢ والحاكم في المستدرك ١/٢۸۸ والبيهقي في السنن الكبرى ٣/٣١۸ وابن عبد البر في التمهيد ١٠/٢۷٢ والخطيب في تاريخ بغداد ٣/١٢٩ وابن الجوزي في الواهيات ١/٤۷٣ والحديث صحيح لشواهده انظر (سواطع القمرين في تخريج أحاديث أحكام العيدين) للشيخ مساعد بن سليمان بن راشد، ص ٢١١ وما بعده)
Telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa yang ingin (melakukan shalat Ied) maka dia telah tercukupi dari shalat Jum’at dan sesungguhnya kita telah dikumpulkan. (Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Firyabi dalam Ahkamul Iedain no. 150, Abu Dawud di dalam Sunannya no. 1073, Ibnu Majah di dalam As-Sunan no. 1311, Ibnul Jarud di dalam Al-Muntaqa 302, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak 1/288, Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra 3/318, Ibnu Abdil Barr di dalam At-Tamhid 10/272, Al-Khatib di dalam Tarikh Baghdad 3/129, Ibnul Jauzi di dalam Al-Wahiyat 1/473. Hadits ini SHAHIH dengan syahid-syahidnya (hadits-hadits penguat). Lihat kitab Sawathi’ Al-Qamarain fi Takhriji Ahaditsi Ahkamil Iedain karya Syaikh Musa’id bin Sulaiman bin Rasyid hal. 211.
Telah diketahui bahwa bukanlah sesuatu yang wajib kalau tidak menggugurkan sesuatu yang wajib. Dan sungguh telah jelas bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melaksanakannya dengan berjamaah sejak disyariatkannya sampai beliau meninggal. Dan beliau menggandengkan perintahnya kepada manusia dengan terus menerusnya ini agar mereka keluar ke tanah lapang untuk shalat (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 24/212 dan 23/161, Ar-Raudlah An-Nadiyah 1/142, Nailul Authar 3/282-283 dan termasuk Tamamul Minnah 344).
Inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan ucapannya: “Kami menguatkan pendapat bahwa (hukum) shalat Ied adalah wajib atas individu (fardlu ‘ain) sebagaimana ucapan Abu Hanifah (lihat Hasyiah Ibnu ‘Abidin 2/1661) dan selainnya. Hal ini juga merupakan salah satu dari ucapan-ucapan Imam Syafi’i dan salah satu di antara dua pendapat madzhab Ahmad bin Hanbal (Hanbali).
Adapun ucapan orang yang berkata bahwa shalat Ied tidak wajib, ini sangat jauh (dari kebenaran). Sesungguhnya shalat Ied itu termasuk syiar Islam yang sangat agung. Manusia berkumpul pada saat itu lebih banyak daripada shalat Jum’at, serta disyariatkan pula takbir di dalamnya. Sedangkan ucapan orang yang menyatakan bahwa shalat Ied itu fardlu kifayah ini pun tidak jelas (Majmu’ Fatawa 23/161).
Sifat/Cara Shalat Ied
Pertama, jumlah (Shalat Ied) adalah dua rakaat, berdasarkan riwayat Umar radliallahu ‘anhu bahwa shalat safar, shalat Iedul Adl-ha dan shalat Iedul Fithri adalah dua rakaat dengan sempurna tanpa qashar atas lisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (Dikeluarkan oleh Ahmad 1/37, An-Nasa`i 3/183, At-Thahawi di dalam Syarhul Ma’anil Atsar 1/421 dan Al-Baihaqi 3/200 dan sanadnya shahih).
Kedua, rakaat pertama –seperti semua shalat— dimulai dengan takbiratul Ihram, selanjutnya membaca takbir padanya tujuh kali. Sedangkan pada rakaat kedua takbir lima kali, selain takbir perpindahan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah radliallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam takbir di shalat Iedul Fithri dan Adl-ha pada rakaat pertama tujuh kali takbir dan rakaat kedua lima kali takbir selain dua takbir ruku’.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 1150, Ibnu Majah 1280, Ahmad 6/70 dan Al-Baihaqi 3/287 dan sanadnya SHAHIH).
Takbir di atas diucapkan sebelum membaca Al-Fatihah. Al-Baghawi berkata: “Perkataan kebanyakan ahlul ilmi dari kalangan shahabat dan orang yang sesudah mereka, bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam takbir pada shalat Ied pada takbir pertama tujuh kali selain takbir pembukaan. Pada rakaat kedua lima kali, selain takbir perpindahan sebelum membaca (Al-Fatihah). Diriwayatkan yang demikian dari Abu Bakar, Umar, Ali, dan yang lainnya…” (Syarhus Sunnah 4/309, lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Islam 24/220, 221).
Ketiga, Tidak shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan takbir-takbir shalat Ied (Lihat Irwa’ul Ghalil 3/12-114). Akan tetapi Ibnul Qayyim berkata: “Ibnu Umar, yang beliau sangat bersemangat dalam ittiba’ (kepada Rasulullah), beliau mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan setiap takbir (Zadul Ma’ad 1/441).
Tetapi, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan yang demikian (mengangkat tangan) diriwayatkan dari Ibnu Umar dan ayahnya radliallahu ‘anhuma, oleh karenanya hal ini tidak dapat dijadikan sebagai sunnah. Lebih-lebih riwayat Umar dan anaknya ini tidak shahih (Lihat Tamamul Minnah hal. 348-349).
Imam Malik berkata tentang mengangkat tangan pada takbir shalat Ied: “Aku tidak mendengar (riwayatnya) sedikitpun.” (Dikeluarkan oleh Al-Firyabi dalam Ahkamul Iedain no. 137 dengan sanad SHAHIH).
Keempat, tidak shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dzikir tertentu di antara takbir-takbir Ied. Akan tetapi telah jelas dari Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata tentang shalat Ied: “Di antara tiap dua takbir terdapat pujian dan sanjungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dengan sanad yang kuat).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diam sejenak di antara dua takbir, (namun) tidak dihapal darinya dzikir tertentu di antara takbir-takbir tersebut. Akan tetapi telah disebutkan dari Ibnu Mas’ud bahwasanya beliau berkata: ‘Allah dipuji dan disanjung dan dibacakan shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.'” (Zaadul Ma’ad 1/443).
Kelima, apabila takbirnya sudah sempurna, dimulai membaca surat Al-Fatihah. Setelah itu membaca surat Qaaf pada salah satu dari dua rakaat. Pada rakaat lainnya membaca surat Al-Qamar. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim 891, An-Nasa`i 3/84, At-Tirmidzi 534, Ibnu Majah dari Abi Waqid Al-Laitsi).
Terkadang pada dua rakaat itu beliau juga membaca surat Al-A’laa dan Al-Ghasiyah. (Diriwayatkan oleh Muslim 378, Tirmidzi 533, An-Nasa`i 3/184 dan Ibnu Majah dari shahabat Nu’man bin Basyir radliallahu ‘anhu). Telah shahih keadaan riwayatnya, dan tidak shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selain itu. (Zaadul Ma’ad 1/443 dan lihat Majalatul Azhar 7/194).
Keenam, (setelah melakukan di atas) selebihnya sama seperti shalat-shalat yang biasa, tidak berbeda darinya sedikitpun. (Lihat buku Sifat Shalat Nabi oleh Syaikh Al-Albani dan buku At-Tadzhirah Wudlu`i wa Shalatu Nabi oleh Syaikh Ali Hasan).
Ketujuh, barangsiapa yang luput/tidak mendapati shalat Ied berjamaah, maka hendaklah dia shalat dua rakaat.
Imam Bukhari berkata: “Apabila seseorang tidak mendapati shalat Ied, hendaklah dia shalat dua rakaat.” (Shahih Bukhari 1/134-135).
Atha’ berkata: “Apabila (seseorang) kehilangan Ied, shalatlah dua rakaat (sama dengan di atas).”
Imam Waliyullah Ad-Daklawi berkata: “Madzhab Syafi’i menyatakan bahwa apabila seseorang tidak mendapati shalat Ied bersama Imam, maka hendaklah dia shalat dua rakaat sehingga dia mendapatkan keutamaan shalat Ied, walaupun kehilangan keutamaan berjamaah bersama imam. Adapun menurut madzhab Hanafi, tidak ada qadla untuk shalat Ied. Kalau kehilangan shalat bersama imam, maka telah hilang sama sekali. (Syarhu Taraajimi Abwabil Bukhari 80 dan lihat kitab Al-Majmu’ 3/27-29).
Tidak Ada Shalat Sunnah Sebelum Shalat Ied
Terdapat kesalahan pada sebagian kaum muslimin di kebanyakan negeri mereka, yakni mereka melakukan shalat dua rakaat di tanah lapang sebelum mereka duduk ketika menunggu berdirinya imam untuk shalat Ied. Shalat seperti ini tidak teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan diriwayatkan dari beliau bahwa beliau meninggalkannya. Dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, dia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua rakaat pada hari Ied, tidak shalat sebelumnya dan tidak pula sesudahnya.” (Dikeluarkan oleh Bukhari 945, 989, 1364, Muslim 884, Abu Dawud 1159, At-Tirmidzi 537, An-Nasa`i 3/193, Ibnu Majah 1291, Abdurrazaq 3/275, Ahmad 1/355 dan Ibnu Abi Syaibah 2/177).
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata: “Jadi, kesimpulannya bahwa untuk shalat Ied tidak ada shalat sunnah sebelum dan sesudahnya. Berbeda dengan orang yang menqiyaskan (menyamakan)nya dengan shalat Jum’at.” (Fathul Bari 2/476).
Imam Ahmad berkata: “Tidak ada shalat sebelum dan sesudahnya sama sekali.” (Masa`il Imam Ahmad no. 469).
Beliau berkata juga: “Tidak ada shalat sebelum dan tidak pula sesudahnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar (ke tanah lapang) untuk shalat Ied dan beliau tidak shalat sebelum dan tidak pula sesudahnya. Sebagian penduduk Bashrah shalat sunah Qabliyyah (sebelumnya) dan sebagian penduduk Kuffah[2] shalat sunnah ba’diyah (sesudahnya).”
Ibnul Qayyim berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat tidak pernah shalat apabila sampai ke tanah lapang sebelum shalat Ied dan sesudahnya.” (Zadul Ma’ad 1/443).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila sampai ke tanah lapang, beliau memulai shalat tanpa adzan dan iqamat. (Beliau juga) tidak mengucapkan: “As-Shalatul jami’ah.” Yang demikian ini tidak dikerjakan sama sekali.” (lihat At-Tamhid 10/243). Bahkan para muhaqiqin (peneliti dari para ulama) menyatakan bahwa melaksanakan hal itu adalah bid’ah. (lihat Subulus Salam 2/67).
Khutbah Ied
Termasuk sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berkhutbah Ied sesudah shalat. Dalam permasalahan ini Bukhari memberi bab di dalam kitab Shahihnya bab Khutbah Sesudah Shalat Ied. (Fathul Bari 2/452).
Ibnu Abbas berkata: “Aku menghadiri shalat Ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman radliallahu ‘anhum. Semuanya shalat Ied sebelum berkhutbah. (Diriwayatkan oleh Bukhari 962, Muslim 884 dan Ahmad 1/331, 3461).
Ibnu Umar berkata: Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar, mereka shalat Ied sebelum khutbah. (Dikeluarkan oleh Bukhari 963, Muslim 888, At-Tirmidzi 531, An-Nasa`i 3/183, Ibnu Majah 1286 dan Ahmad 2/12,38).
Waliyullah Ad-Dahlawi mengomentari terhadap bab Bukhari di atas dengan ucapannya: “Bahwasanya sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang dikerjakan oleh khulafa`ur rasyidin adalah khutbah sesudah shalat. Adapun penggantian yang terjadi –yakni mendahulukan khutbah atas shalat dengan mengqiyaskan dengan shalat Jum’at-, hal itu adalah bid’ah yang bersumber dari Marwan bin Hakam bin Abil Ash (Syarah Taraajim Abu Bukhari 79).
Imam Tirmidzi berkata: “Ahlul ilmi dari kalangan shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengamalkan seperti ini. Mereka melakukan shalat Iedain sebelum khutbah. Sedangkan pertama kali orang yang khutbah sebelum shalat adalah Marwan bin Hakam. (lihat kitab Al-Umm 1/235-236 karya Imam As-Syafi’i dan Tuhfatul Ahwadzi 3/3-6 karya Al-Qadli Ibnul Arabi Al-Maliki).
Di samping itu termasuk bid’ah Marwaniyah adalah mengeluarkan mimbar ke tanah lapang sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Said. Beliau berkata: “Terus menerus manusia atas yang demikian (khutbah sesudah shalat Ied) sampai aku keluar bersama Marwan. Dia –sebagai amir Madinah- ke lapangan pada Iedul Adl-ha dan Fithri. Tatkala kami sampai ke tanah lapang, tiba-tiba ada mimbar yang dibuat oleh Katsir bin As-Shalt. Ketika Marwan ingin menaikinya sebelum shalat, aku menarik bajunya, (namun) diapun menariknya. Kemudian dia naik dan berkhutbah sebelum shalat. Aku berkata kepadanya: “Demi Allah, engkau telah merubah (sunnah).” Dia menjawab: “Wahai Abu Said! Sungguh telah hilang apa-apa yang engkau ketahui.” Aku berkata: “Demi Allah, apa-apa yang aku ketahui lebih baik daripada yang tidak aku ketahui.” Dia menjawab: “Sesungguhnya manusia tidak mau duduk bersama kami sesudah shalat, maka aku berkhutbah sebelum (dimulainya) shalat.”
Menghadiri Khutbah Bukan Merupakan Kewajiban
Dari Abu Said Al-Khudri dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar ke tanah lapang pada hari Iedul Fithri dan Adl-ha. Pertama kali yang beliau mulai adalah shalat, kemudian berpaling. Selanjutnya beliau menghadap manusia, dimana manusia dalam keadaan duduk pada shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat dan perintah kepada mereka. (Dikeluarkan oleh Al-Bukhari 958, Muslim 889, An-Nasa`i 3/187, dan Ahmad 3/36, 54).
Khutbah Ied, sebagaimana khutbah-khutbah lainnya, dibuka dengan sanjungan dan pujian kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membuka semua khutbahnya dengan pujian kepada Allah. Tidak ada satu haditspun yang dihapal (hadits yang shahih yang menyatakan) bahwa beliau membuka khutbah dua Ied dengan takbir. Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah di dalam Sunannya 1287 dari Said Al-Quradli, muadzin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau memperbanyak bacaan takbir di sela-sela khutbah Iedain, hal itu tidak menunjukkan bahwa beliau membuka khutbah dengan takbir….” (Zaadul Ma’ad 1/447-448).
Menghadiri khutbah Ied tidak wajib seperti shalat. Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abdullah bin As-Suaib, dia berkata: “Aku menghadiri Ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika selesai shalat beliau berkata: ‘Sesungguhnya kami (akan) berkhutbah, barangsiapa suka untuk duduk (mendengarkan), maka duduklah dan barangsiapa yang suka untuk pergi maka pergilah.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 1155 dan sanadnya SHAHIH, lihat Irwa`ul Ghalil 3/96-98).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan terhadap orang yang menghadiri Ied untuk duduk (mendengarkan) khutbah atau pergi.” (Zadul Ma’ad 1/448).
Termasuk dari kesalahan-kesalahan (yang banyak dilakukan oleh para) khatib shalat Ied adalah menjadikan dua khutbah dan memisahkan antara keduanya dengan duduk. (Padahal) semua riwayat yang menerangkan adanya dua khutbah pada shalat Ied adalah dlaif. Imam Nawawi berkata: “Tidak tsabit sama sekali (dari Rasulullah) pengulangan khutbah.” (Lihat Fiqhus Sunnah 1/322 dan Tamamul Minnah hal. 348).
Demikianlah keterangan-keterangan dari Rasulullah dan para ulama dari kalangan shahabat dan orang yang sesudahnya tentang masalah shalat dan khutbah Ied. Kami uraikan hal-hal yang demikian, agar kita mengamalkan Islam di atas bashirah (ilmu) dan hujjah yang mantap dan agar kita selamat dari bid’ah dan kesalahan.
Wallahu A’lam.
Maraji’:
1. Shalatul Iedain fil Mushalla Hiyas Sunnah, Syaikh Al-Albani.
2. Ahkamul Iedain fis Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali Hasan.
3. Al-Qaulul Mubin fi Akhtha`il Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Salman.
Sumber: SALAFY edisi XIII/Sya’ban-Ramadlan/1417/1997 rubrik Ahkam.
________________________________________
[1] Namanya berbeda dengan yang tertulis di tulisan arabnya, kemungkinan ada kesalahan, wallahu a’lam. (nas.)
[2] Dua kota yang banyak terjadi fitnah di dalamnya dan banyak bermunculan padanya firqah-firqah bid’ah. (ed.)