Para pembaca hafizhakumullahu wa yarhamukum (semoga Allah ta’ala senantiasa menjaga dan merahmati anda semua). Ketahuilah, banyak pribadi muslim yang menyatakan: “Saya cinta kepada Allah ta’ala.” Dan mereka pun ingin mendapatkan kecintaan Allah ta’ala. Peryataan tersebut sangat mudah untuk diucapkan, akan tetapi dalam pengamalannya tentu saja memerlukan pengorbanan yang besar.
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakanlah (wahai Muhammd): ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat yang mulia ini adalah hakim (yang mengadili) bagi setiap orang yang mengaku cinta pada Allah ta’ala namun dia tidak berada di jalan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuannya hingga dia mengikuti ajaran Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/467)
Oleh karena itu, ketika kita mengeluarkan pernyataan tersebut sementara kita jauh dari ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka kita termasuk orang yang berdusta atas pernyataan kita. Al-Hasan Al-Bashri dan ulama salaf lainnya rahimahumullah berkata: “Sekelompok kaum telah menyangka bahwasanya mereka mencintai Allah h maka Allah ta’ala menguji mereka dengan ayat ini (yang tersebut di atas).” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/467)
Maka dari sinilah hendaknya kita melihat kembali kepada apa yang telah kita lakukan! Apakah kita telah mengikuti Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam dengan sebenar-benarnya ataukah belum?
Kaitannya dengan pengamalan ayat di atas, kami paparkan ke hadapan anda suatu risalah ringkas tentang sahur dan ifthar (buka puasa) serta sunnah-sunnahnya, sehingga dalam sahur dan ifthar kita benar-benar sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Makna Sahur
Dalam bahasa Arab, as-sahur (السَّحُوْرُ) dengan mem-fathah huruf sin adalah benda makanan dan minuman untuk sahur.
Adapun as-suhur (السُّحُوْرُ) dengan men-dhommah huruf sin adalah mashdar yakni perbuatan makan sahur itu sendiri. (An-Nihayah, 2/347)
Hukum Sahur
Hukum makan sahur adalah sunnah, berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Para ulama telah bersepakat tentang sunnahnya makan sahur dan bukan suatu kewajiban.” (Syarh Shahih Muslim, 7/207)
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu alaihi wasallam mendorong kita untuk tidak meninggalkan makan sahur meskipun hanya dengan seteguk air. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ …
“Makan sahur adalah barakah maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah seorang di antara kalian hanya minum seteguk air.” (HR. Ahmad, hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/686 no. 3683)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Sahur dapat diperoleh seseorang yang makan dan minum meskipun hanya sedikit.” (Fathul Bari, 4/166)
Keutamaan Sahur
Adapun mengenai keutamaan sahur, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskannya dalam beberapa hadits di bawah ini:
1. Dalam sahur terdapat barakah
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
Dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitabnya (Fathul Bari, 4/166): “Dan yang utama (dari tafsiran “barakah” yang terdapat dalam hadits) sesungguhnya barakah dalam sahur dapat diperoleh dari beberapa segi, yaitu:
a. Mengikuti Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.
b. Menyelisihi ahli kitab.
c. Menambah kemampuan untuk beribadah.
d. Menambah semangat.
e. Mencegah akhlak yang buruk yang timbul karena pengaruh lapar.
f. Mendorong bersedekah terhadap orang yang meminta pada waktu sahur atau berkumpul bersamanya untuk makan sahur.
g. Merupakan sebab untuk berdzikir dan berdoa pada waktu mustajab.
h. Menjumpai niat puasa bagi orang yang lupa niat puasa sebelum tidur.
2. Pujian Allah Ta’ala dan doa para malaikat terhadap orang-orang yang sahur
السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَالْمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Makan sahur adalah barakah. Maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah satu di antara kalian hanya minum seteguk air. Sesungguhnya Allah ta’ala dan para malaikat-Nya bershalawat atas orang-orang yang sahur.” (HR. Ahmad, hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/686 no. 3683)
3. Menyelisihi puasa ahli kitab
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
Dari ‘Amr bin Al-‘Ash radiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Yang membedakan antara puasa kami (orang-orang muslim) dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Al-Imam Muslim dan lainnya)
Al-Imam Sarafuddin Ath-Thiibi rahimahullah berkata: “Sahur adalah pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahli Kitab, karena Allah ta’ala telah membolehkan kita sesuatu yang Allah Ta’ala haramkan bagi mereka, dan penyelisihan kita terhadap ahli kitab dalam masalah ini merupakan nikmat (dari Allah Ta’ala) yang harus disyukuri.” (Syarhuth-Thiibi, 5/1584)
Waktu Sahur
Waktu yang utama untuk makan sahur adalah dengan mengakhirkan waktunya hingga mendekati terbit fajar. Dan mengakhirkan waktu sahur ini merupakan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagaimana hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radiyallahu ‘anhu, beliau bekata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ. قُلْتُ: كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: خَمْسِيْنَ آيَةً
“Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian (setelah makan sahur) kami berdiri untuk melaksanakan shalat. Aku (Anas bin Malik) berkata: ‘Berapa perkiraan waktu antara keduanya (antara makan sahur dengan shalat fajar)?’ Zaid bin Tsabit radiyallahu ‘anhu berkata: ‘50 ayat’.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan dalam Shahih Al-Bukhari:
بَابُ قَدْرِ كَمْ بَيْنَ السُّحُوْرِ وَصَلاَةِ الْفَجْرِ
“Bab perkiraan berapa lama waktu antara sahur dengan shalat fajar”. Maksudnya (jarak waktu) antara selesainya sahur dengan permulaan shalat Fajar. (Fathul Bari, 4/164)
Dan hal ini sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih Al-Bukhari pada kitab Tahajjud, dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, beliau ditanya:
كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سُحُوْرِهِمَا وَدُخُوْلِهِمَا فِي الصَّلاَةِ؟ قَالَ: قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِيْنَ آيَةً
“Berapakah jarak waktu antara selesainya Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Zaid bin Tsabit radiyallahu ‘anhu makan sahur dengan permulaan mengerjakan shalat (subuh)? Beliau menjawab: ‘Seperti waktu yang dibutuhkan seseorang membaca 50 ayat (dari Al Qur`an)’.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (4/164) menyebutkan: “(Bacaan tersebut) bacaan yang sedang-sedang saja (ayat-ayat yang dibaca), tidak terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek, dan (membacanya) tidak cepat dan tidak pula lambat”.
Bila kita sebutkan dengan catatan waktu maka kira-kira jarak antara keduanya 10-15 menit. Wallahu a’lam.
Tamr (Kurma) Sebaik-baik Makanan Untuk Sahur
Terkadang di antara hidangan makan sahur kita terdapat beberapa jenis makanan dengan beragam rasanya, sehingga kita dapat memilih makanan yang baik dan disukai. Akan tetapi tahukah anda jenis makanan apa yang paling baik untuk sahur? Ketahuilah! Sebaik-baik makanan untuk sahur adalah tamr (kurma), dan sahur dengan tamr merupakan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:
نِعْمَ سَحُوْرِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ
“Sebaik-baik makanan sahur seorang mukmin adalah tamr (kurma).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 562 dan Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1146 no. 6772)
Ketika kita telah mengetahui hal ini maka selayaknyalah bagi kita untuk mengamalkan Sunnah Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Ifthar (Berbuka)
Waktu Berbuka
Allah ta’ala telah menjelaskan pada kita tentang waktu dibolehkannya seseorang yang berpuasa untuk berbuka yaitu dengan tenggelamnya matahari, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam.” (Al-Baqarah: 187)
Demikian pula Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskan dalam haditsnya:
Dari ‘Umar bin Al-Khaththab radiyallahu ‘anhu berkata:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ وَأَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Apabila malam telah datang dan siang telah pergi serta matahari telah terbenam maka sungguh orang yang berpuasa telah berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Makna (sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam di atas) adalah puasanya telah selesai dan sempurna, dan (pada waktu matahari sudah tenggelam dengan sempurna) dia bukan orang yang berpuasa. Maka dengan terbenamnya matahari habislah waktu siang dan malam pun tiba, dan malam hari bukanlah waktu untuk berpuasa.” (Syarh Shahih Muslim, 7/210)
Dari keterangan di atas, dapatlah kita ketahui bahwasanya ketika menjelang malam dan siangpun telah pergi, serta matahari telah tenggelam dengan sempurna, maka itulah saat dibolehkannya bagi kita untuk berbuka puasa.
Hal-hal yang Disunnahkan ketika Berbuka
1. Bersegera ifthar (berbuka) ketika telah tiba waktunya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka menyegerakan ifthar (berbuka).” (Muttafaqun ‘alaih dari shahabat Sahl bin Sa’d z)
Al-Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied t mengatakan: “Dalam hadits ini merupakan bantahan terhadap orang-orang Syi’ah yang mengakhirkan buka puasa hingga tampak bintang-bintang.” (disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 4/234)
Keutamaan bergegas untuk berbuka ketika telah tiba waktunya:
a. Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
b. Bersegera untuk berbuka ketika telah tiba waktunya merupakan akhlak para Nabi ‘alaihissalam.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abud-Darda’ shallallahu alaihi wasallam sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ثَلاَثٌ مِنْ أَخْلاَقِ النُّبُوَّةَ تَعْجِيْلُ اْلإِفْطَارِ وَتَأْخِيْرُ السُّحُوْرِ وَوَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلاَةِ
“Tiga (perkara) termasuk akhlak kenabian (yaitu): mensegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. Ath-Thabrani, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/583 no. 3038)
c. Menyelisihi Yahudi dan Nashrani
Mengakhirkan berbuka hingga tampak bintang-bintang merupakan perbuatan Yahudi dan Nashrani (Syarhuth-Thiibi, 5/1584 dan Fathul Bari, 4/234). Sedangkan kita dilarang menyerupai mereka, oleh karena itu bersegera untuk berbuka puasa ketika telah tiba waktunya termasuk menyelisihi perbuatan mereka. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah z dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:
لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ
“Agama ini senantiasa tampak, selama manusia bersegera untuk berbuka puasa karena Yahudi dan Nashrani mengakhirkan (ifthar/berbuka).” (Hadits hasan, riwayat Abu Dawud dan lainnya, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/58 no. 2353 dan Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1272 no. 7689 dan Al-Misykah, 1/622 no. 1995)
Al-Imam Sarafuddin Ath-Thiibi t berkata: “Dalam sebab ini (yang terdapat dalam hadits ‘karena Yahudi dan Nashrani mengakhirkan (ifthar)’) menunjukkan bahwa penopang agama yang lurus ini dengan menyelisihi musuh-musuh (agama Islam) dari Yahudi dan Nashrani, dan sesungguhnya mencocoki mereka merupakan keretakan dalam agama.” (Syarhuth-Thiibi, 5/1589 no. 1995)
2. Bacaan ketika berbuka
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radiyallahu ‘anhuma beliau berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam apabila berbuka beliau mengatakan:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
“Rasa haus telah pergi dan urat-urat telah terbasahi serta mendapat pahala insya Allah.” (Hadits hasan, riwayat Abu Dawud, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2357 dan Al-Irwa’, 4/39 no. 920)
3. Berbuka dengan ruthab (kurma yang setengah matang), bila tidak dijumpai maka berbuka dengan tamr (kurma), dan bila tidak ada maka dengan minum air.
Sebagaimana mengikuti amalan Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik z beliau berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٍ فَعَلَى ثَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berbuka dengan ruthab sebelum melaksanakan shalat (Maghrib), maka jika tidak ada ruthab (beliau berbuka) dengan tamr, jika tidak ada (tamr) maka beliau berbuka dengan meneguk air.” (Hadits hasan shahih, riwayat Abu Dawud dan lainnya, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2356 dan Al-Irwa, 4/45 no. 922)
Keutamaan Memberi Buka Orang Puasa
Suatu kenikmatan yang sangat besar apabila dengan rizki yang telah Allah ta’ala karuniakan, kita dapat menyisihkan sebagiannya untuk memberi makanan berbuka kepada orang-orang yang berpuasa dikarenakan pahalanya yang sangat besar. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barang siapa memberi makanan berbuka seorang yang puasa maka baginya (orang yang memberi buka) semisal pahala (orang yang puasa) tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang puasa.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya, dari Zaid bin Khalid z)
Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Hadits ini hasan shahih.” (Al-Jami’ush Shahih, 3/171 no. 807) dan Asy-Syaikh Al-Albani t menshahihkan hadits ini, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1095 no. 6414)
Setelah memandang begitu besarnya pahala yang akan didapatkan oleh orang-orang yang memberi makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, selayaknyalah bagi kita untuk berlomba-lomba dalam meraih keutamaan yang sangat besar ini dengan menyisihkan rizki yang Allah ta’ala karuniakan kepada kita untuk memberi makanan berbuka orang yang berpuasa. Sekalipun kita hanya mampu memberikan kepada satu atau dua orang saja. Atau mungkin kita hanya mampu memberi satu biji kurma atau sekedar air minum. Maka janganlah kesempatan yang baik ini kita sia-siakan!
Doa Orang yang Diundang Makan/ Minum untuk Orang yang Mengundang
Ketika kita diundang untuk makan/ minum, maka disunnahkan bagi yang diundang untuk mendoakannya ketika telah selesai makan/ minum dengan doa yang telah dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam :
أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ
“Semoga orang-orang yang puasa berbuka di sisi kalian dan orang-orang yang shalih lagi bertakwa makan makanan kalian serta para malaikat mendoakan kalian.” (Hadits shahih riwayat Abu Dawud, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/459 no. 3854 dan Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/253 no. 1137)
Juga perlu diingat bahwa dalam makan baik sahur atau berbuka, kita dilarang berlebih-lebihan, Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-An’am: 141)
Demikian yang dapat kami haturkan ke hadapan anda mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sahur dan ifthar serta sunnah-sunnahnya.
Wallahu a’lam.
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Hariyadi, Lc, judul asli Sahur dan Berbuka. URL Sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=302)